Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

I

Hai hai hallo
Selamat menikmati awal kisah dari Dinda dan Nanda

+++++

Seperti hari-hari biasanya, bangunan bernama mall jarang didapati sepi oleh pengunjung, baik lokal maupun mancanegara. Beda tipis dengan tempat wisata lainnya. Pantai, salah satu contoh nyata. Mulai dari yang memang berniat berbelanja ria sampai yang hanya sekadar cuci mata.

Di sebuah meja salah satu restoran, terdengar derai tawa renyah yang berasal dari mulut tiga orang perempuan. "Udah-udah, perut gue sakit." Salah satu di antaranya yang mengenakan jilbab pashmina bersandar di sandaran kursi sembari menutup mulutnya dengan tangan kanan. Sedangkan tangan kirinya diletakkan ke atas perut.

 "Kalian aja ngakak begini. Apalagi gue yang nyaksiin sendiri waktu itu coba," kata perempuan berambut sebahu yang tengah berusaha menghentikan tawanya.

Di samping perempuan berjilbab tadi, seorang perempuan berambut sepinggang menggelengkan kepalanya dengan sisa-sisa tawa. Takjub atas cerita yang baru saja mengalir dari mulut sahabatnya yang duduk persis di depan keduanya. Tersekat meja. "Dosa nggak sih, Num, kita ngetawain orang begini?" tanyanya kemudian.

 "Cih! Si Hanum aja ikut ngakak begitu, buat apa lo tanyain, Din?" sahut perempuan berambut sebahu di depan mereka.

 "Astaghfirullah. Lo sih, Ra, pakai nyeritain yang begituan. Kan, gue jadi keikut ketawa. Dosa dah ini!" rutuk Hanum sembari meminum jus miliknya.

 "Malah nyalahin gue! Harusnya, lo tahan iman, Num." Tidak mau disalahkan, Nora menyahut cepat.

 "Gue baru proses hijrah, Nora. Yaaa sebagai sahabat, kalian wajib mengingatkan gue." Begitu Hanum menanggapi perkataan Nora barusan.

 "Dan sebagai sahabat terbaik, gue tadi secara nggak langsung udah mengingatkan lo. Iya, 'kan?" Setelah menelan kunyahan roti bakar milik Nora, Dinda menyahut. Menatap sang sahabat dengan mimik sok polos.

 "Kalau emang lo sahabat terbaikkk, ada baiknya lo izin dulu sama si pemilik roti yang lo makan barusan."

Hanum tertawa kecil melihat ekspresi Nora yang tengah menatap sebal Dinda. Si pelaku.

 "Orang ikhlas disayang Allah. Iya nggak, Num?" Dinda menoleh ke arah Hanum, mencari pembelaan.

 "Tapi nggak salah, kok, kalau lo izin dulu." Mendengar jawaban Hanum yang diucapkan dengan nada lembut, tapi penuh sindiran, tawa Nora pecah. Nampak amat bahagia sembari menikmati ekspresi wajah Dinda yang jelas kalah telak.

 "Dasar sahabat–Akh!" Belum selesai Dinda mengumpati kedua sahabatnya, perempuan itu sudah memekik kaget karena lengan dan pahanya ditumpahi kopi panas. "Aw!" ringisnya sembari mengipas-ngipasi tangan dan pahanya. Sakit, perih, juga hatinya merasa dongkol terhadap si pelaku.

 "Oh my God!" Nora memekik tak kalah kaget. "Woi! Lo punya mata nggak, sih?!"  bentak Nora pada seorang laki-laki yang menjadi pelaku seraya berdiri dari duduknya. Menatap tajam si pelaku yang sudah membuat sahabatnya kini meringis kesakitan.

 "Sorry-sorry, gue nggak sengaja. Sini, biar gue bersihin. Lecet, nggak?" Mungkin karena merasa bersalah, laki-laki tersebut refleks berjongkok setelah mengambil beberapa lembar tisu dan bersiap akan membersihkan rok dan kemeja Dinda sebelum tangan Hanum lebih dulu menepisnya.

 "Nggak usah cari-cari kesempatan, deh!" semprot perempuan itu sambil membersihkan kemeja dan rok Dinda menggunakan tisu yang ia sambar dari genggaman laki-laki asing di depan mereka. Enak saja laki-laki itu ingin menyentuh sahabatnya.

Apa yang baru saja terjadi, tentu menarik perhatian para pengunjung restoran. Seketika, keempatnya menjadi sorotan banyak pasang mata. Penasaran sudah pasti dengan apa yang baru saja terjadi. Beberapa bahkan nampak melemparkan tatapan kesal, karena menganggap mereka telah merusak suasana.

 "Gue mau balik," lirih Dinda dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Kepalanya menunduk, antara menahan sakit, kesal, juga malu. Tidak pernah terbayangkan, hal seperti ini akan terjadi pada dirinya. Menjadi pusat perhatian karena sebuah hal memalukan, bukan membanggakan. Mau ditaruh di mana wajah cantik Dinda, jika sudah begini?

 "Ada apaan, Nanda?" Seorang perempuan datang menghampiri, lantas bertanya kepada si laki-laki tadi. Matanya sekilas melirik Dinda dan Hanum juga Nora.

 "Ini, nggak sengaja kopi gue tumpah ke dia." Ekspresi laki-laki itu nampak merasa bersalah, namun juga sedikit kesal. Mungkin, karena dirinya yang memang sungguh tidak sengaja, tapi dipandang sengaja oleh ketiga perempuan di depannya. Dua perempuan, lebih tepatnya. Karena Dinda yang sejak tadi tidak berkomentar apa pun.

Mendengar jawaban dari Nanda, perempuan yang kemungkinan teman laki-laki itu sontak kaget. "Kok, bisa?"

 "Tadi ada yang nyenggol. Jadi deh, begini."

 "Mbak-mbak, maafin temen saya, ya. Tapi, Mbak-nya nggak apa-apa?" tanya perempuan tadi kepada Dinda. Sedikit meringis pelan, begitu melihat rona kemerahan di lengan Dinda.

 "Nggak apa-apa mata lo katarak?! Lo nggak lihat sahabat gue sampe mau nangis gitu?!" semprot Nora tanpa tedeng aling-aling. "Dan satu lagi! Kita bukan kakak lo! Jangan asal manggil Mbak, ya!" tambahnya lagi sembari mendelik kesal ke arah perempuan yang entah siapa namanya itu.

 "Udah, ah. Kita balik sekarang. Kasihan Dinda." Hanum menengahi sembari membantu Dinda berdiri. "Bisa jalan?" tanyanya sarat akan kekhawatiran dan rasa perhatian.

Kepala Dinda mengangguk. "Tapi, perih banget," adunya dengan suara bergetar. Dinda tidak berbohong. Ia bahkan tidak bisa membayangkan, apakah nanti kulitnya akan tetap mulus seperti sebelumnya atau tidak. Meski mulutnya tidak mengeluarkan cacian, tapi dalam hati ia terus mengumpati siapa pun laki-laki yang menjadi pelaku atas kejadian ini.

"Kita bantu mapah, sini." Nora mengambil sisi kanan. Bersama Hanum, dia memapah Dinda hingga ke parkiran. Sepanjang perjalanan, bohong besar kalau ketiganya tidak menjadi pusat perhatian. Namun, itu semua tidak lebih penting dibandingkan sang sahabat yang baru saja terkena musibah tidak terduga.

"Ke rumah sakit aja dulu. Setidaknya kita harus mastiin, Dinda beneran nggak apa-apa." Hanum memberi interuksi kepada Nora yang tengah menyetir. Sedangkan dirinya, menemani Dinda duduk di jok belakang. "Sabar ya, Din." Menatap Dinda, Hanum berusaha menahan diri untuk tidak menyimpan kejadian tadi ke dalam hati hingga menjadi dendam. Di harus bisa bersabar. Kalau tidak, semua perjuangannya akan sia-sia. Harapannya untuk meraih ridho Allah juga mungkin akan beralih haluan. Na'udzubillah.

+++AL+++

Ada yang pernah ngalamin kejadian kayak Dinda, nggak?

Nantikan kelanjutannya, yap!!!

See you next part👋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro