Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

About Lavender

Lavender, mungkin banyak yang tahu soal bunga yang satu ini. Menurut kebanyakan orang, lavender itu seakan membawa keberuntungan di rumah mereka masing-masing. Bunga berwarna ungu ini dianggap membawa sejuta manfaat bagi mereka. Namun sayangnya, entah mengapa ada seorang gadis yang  tidak menyukai bunga lavender ini. Menurutnya, bunga itu membawa kesialan, karena gara-gara bunga itu, salah seorang yang dia sayangi itu sudah tiada.

***

Ceritanya, ada seorang gadis yang bernama Leva. Namanya hampir mirip dengan beberapa huruf depan dari bunga Lavender. Awalnya, dia menyukai bunga lavender karena bunga itu dapat meredamkan emosi yang bisa saja memuncak dari dirinya. Dia juga memiliki kebun bunga lavender di belakang rumahnya dan selalu merawat mereka dengan baik, sehingga bunga-bunga lavender itu tumbuh dengan baik pula. Bunga lavender dianggap dapat membuatnya merasakan kebahagiaan di dalam hidupnya.

Namun sayangnya, kebahagiaannya seakan tidak lengkap, ketika dia memiliki seorang sahabat yang sedang tertimpa musibah. Hal itu tentu saja membuat rasa bahagianya si Leva itu hilang dalam sekejap. Sahabat itu bernama Manda, yang saat ini sedang sakit. Diketahui oleh Leva bahwa sahabatnya ini terkena kanker otak sejak beberapa bulan yang lalu, tetapi sayangnya Manda belum pernah mendapatkan perawatan di rumah sakit, karena Manda yang memaksakan dirinya untuk beraktivitas seperti biasanya.

Kadang—bukan terkadang melainkan seringkali—Leva merasa iba akan kondisi dari Manda tersebut. Ingin sekali dia membantu sahabatnya itu dengan donasi berupa uang dan juga memberinya beberapa tangkai bunga lavender. Diketahui pula bahwa Manda juga suka bunga lavender, sama seperti Leva, sehingga persahabatan mereka berdua sudah berjalan sejak lama dikarenakan kesukaan yang sama terhadap bunga lavender.

Pada suatu hari, Leva ingin menjenguk Manda di rumahnya, tetapi sayangnya, dia dihadang oleh seorang lelaki yang sedari tadi berada di rumahnya untuk meminta bantuan gadis tersebut terhadap PR-nya yang menumpuk dan harus dikerjakan oleh lelaki itu.

“Mau kemana kamu, Lev? Bukankah kamu belum selesai mengajari aku Matematika?” tanya lelaki yang bernama Kandi itu.

Sebenarnya Leva ingin sekali mengajarkan Kandi pelajaran Matematika, tetapi sayangnya, ada janji yang harus ditepati oleh Leva dan tidak dapat ditunda lagi. “Sebenarnya aku ingin sekali mengajarimu, tetapi mohon maaf, aku sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa aku harus segera menjenguk sahabatku yaitu Manda, Ndi,” ujar Leva lirih. “Tetapi besok kamu masih boleh datang ke rumahku kok. Kita bisa belajar bersama-sama lagi, ‘kan? Masih ada waktu esok,” lanjut gadis itu.

“Ya sudah. Aku pergi dulu ya, Lev. Terima kasih karena sudah mengajariku, Lev. Engkau gadis yang baik kok,” ujar Kandi seraya memuji Leva, kemudian meninggalkan gadis itu. Gadis si tuan rumah itu hanya tersenyum malu, karena sebenarnya dia tidak ingin dipuji seperti itu oleh si Kandi.

Akhirnya setelah urusannya dengan Kandi selesai, gadis itu segera pergi ke rumahnya Manda sekedar untuk menanyakan kondisi Manda, sahabatnya itu.

***

“Mandaaaa!” seru Leva ketika mengetuk pintu depan rumah sahabatnya itu. Sayangnya, suasananya hening, alias tidak ada jawaban. Kemudian, Leva mengetuk pintu itu kembali seraya meneriaki nama sahabatnya itu lagi. “Mandaaaaaaaa!!! Buka pintumu dong!” seru Leva itu lagi.

Lagi-lagi hening, alias tidak ada jawaban sama sekali. Seketika itu pula, perasaan Leva menjadi gelisah karena dia berpikir bahwa pasti terjadi sesuatu pada Manda. Akhirnya, setelah beberapa kali meneriaki nama ‘Manda’ namun tidak ada jawaban dari dalam, Leva memutuskan untuk mendobrak pintu tersebut dan alhasil, dia menemukan Manda dalam kondisi tidak sadarkan diri alias pingsan.

Terlihat bahwa kondisi Manda saat itu cukup parah. Kedua lubang hidungnya mengeluarkan darah alias mimisan. Dia terjatuh begitu saja di lantai ruang tamu. Seketika itu pula, Leva langsung bergerak cepat untuk menghampiri Manda yang tergeletak lemas di lantai tersebut.

“Manda! Manda! Bangun!!!” teriak Leva sambil mengguncang-guncangkan tubuh Manda yang pingsan.

Sayangnya, tidak ada respon dari Manda. Tidak ada perubahan sama sekali alias kaku.

“Ya Tuhan ... Manda! Tolong respon aku! Ini aku, Leva, sahabatmu. Tolong bangunlah! Aku ada bawakan bunga lavender kesukaanmu lho!” seru Leva tiada henti, tetapi sayangnya tetap tidak ada respon dari Manda. Bahkan jika hanya gerakan tangan, itu tidak mungkin terjadi untuk saat ini.

Akhirnya, Leva meminta bantuan di luar, agar Manda segera dibawa ke rumah sakit, karena dia tahu bahwa tidak ada orang lagi di rumah selain si tuan rumah, Manda. Leva meminta bantuan tetangga di sebelah rumah Manda agar menumpangi Manda dan dirinya ke rumah sakit, agar Manda bisa segera mendapat pertolongan.

“Tolong, Pak, tolong! Tetangga Bapak dalam kondisi pingsan. Bisakah Bapak membantu membawa Manda ke rumah sakit terdekat?” pinta Leva kepada seorang lelaki tua yang sedang bersantai di depan rumah sebelah itu.

Tanpa berkata apapun lagi, bapak itu segera melangkahkan kakinya menuju mobilnya, sedangkan Leva segera mengangkut Manda ke mobil bapak tersebut. Akhirnya, bapak itu memfasilitasi Manda ke rumah sakit, dibantu oleh Leva, satu-satunya sahabat yang Manda punya saat ini.

***

Di rumah sakit, ... seorang dokter keluar dari ruang UGD dan menghampiri Leva yang kini sendirian setelah ditinggal oleh bapak yang membantu mereka tadinya.

“Dok ... jadi bagaimana kondisi teman saya?” tanya Leva kemudian, berharap dokter itu bisa menjawab pertanyaan tersebut.

“Temanmu harus dirawat di rumah sakit. Kanker otaknya sudah memasuki stadium akhir. Kemungkinan besar dia bakal koma selama beberapa hari, entah sampai kapan,” ujar dokter itu lirih. Leva yang mendengar kabar tersebut langsung syok akan hal tersebut. Pasalnya, dia tidak tahu bagaimana caranya agar kabar tentang Manda tersebut bisa sampai ke kedua orangtuanya terlebih dahulu.

Baru saja Leva mengeluarkan ponselnya untuk menelepon kedua orang tua Manda, ternyata mereka sudah hadir di hadapan gadis yang membawa beberapa tangkai lavender itu. “Nak Leva?” Mereka terkejut ketika melihat seorang gadis dengan beberapa tangkai lavender itu sendirian di luar ruang UGD.

“Kami mendengar kabar dari tetangga sebelah bahwa anak kami dibawa ke sini. Apakah ini benar?” tanya ibunya Manda yang hanya dibalas anggukan oleh Leva. Seketika itulah, wanita tua itu langsung syok dan hampir saja dia jatuh pingsan di rumah sakit tersebut. Leva yang melihatnya merasa iba terhadap orangtuanya Manda yang syok akan apa yang dialami anak kesayangan mereka itu.

Mereka hanya berharap satu hal, Manda bisa sadar, itu saja.

***

Hingga beberapa hari berselang, belum ada kepastian akan perubahan kondisinya Manda. Sudah beberapa kali juga si Leva alias sahabat Manda satu-satunya datang menjenguk Manda di ruang ICU. Di sana, terpasang beberapa alat kesehatan di tubuh gadis yang terbaring lemah tersebut. Dia tidak pernah menyadari jika di rak samping tempatnya berbaring itu tersimpan beberapa tangkai lavender yang diberikan oleh Leva itu sendiri.

Lavender tersebut berguna bagi Leva yang ingin meredakan emosinya serta bagi Manda yang ingin mendapatkan kebaikan dari bunga ungu tersebut. Itulah kehebatan lavender yang tentu saja semua orang pasti tidak pernah menduganya. Sekarang, Leva tinggal menunggu kondisi Manda yang mulai pulih setelah beberapa hari dia koma.

“Man ... aku menunggumu. Tolong bangunlah. Aku mohon,” pinta Leva di tengah kesendiriannya dalam menemani sahabat tercintanya itu. Segera saja Leva memegang tangan kirinya Manda yang tidak diberi infus tentunya. Hal tersebut seketika mengundang respon gerakan dari Manda. Tentu saja respon tersebut membuat Leva terkejut.

Apakah dia akan sadar? tanya Leva dalam hatinya.

Beberapa saat kemudian, Manda mencoba untuk membuka matanya. Tidak dapat dipungkiri lagi, dia sudah sadar, hanya saja dia kesulitan untuk membuka matanya, saking lamanya dia dalam keadaan diantara hidup dan mati. Setelah beberapa kali dia mencoba, akhirnya kedua mata itu terbuka.

“Di ... dimana aku?” tanya Manda untuk pertama kalinya setelah dia sadar.

“Manda!!!” seru Leva bahagia. Leva menangis terharu karena bahagia setelah melihat sahabatnya itu bangkit dari tidur panjangnya, sedangkan Manda hanya kebingungan akan apa yang dia lihat di sekitarnya.

“Kau ada di rumah sakit, Man, tetapi kau sudah sadar. Jadi aku senang mendengarnya,” ujar Leva itu lagi. Kali ini dia benar-benar bahagia.

Masih dalam kondisi berbaring, Manda terlihat ingin mengatakan sesuatu. “Lev, mulai sekarang, jangan berikan beberapa tangkai lavender padaku,” ujarnya dingin. Manda tidak ingin mendapat bunga lavender dari siapapun itu, termasuk dari Leva, si gadis penyuka lavender.

Aneh, pikir Leva singkat.

Setelah dia berpikir satu kata tersebut, dia bertanya kepada Manda, “Tetapi kau suka bunga lavender. Mengapa kau tiba-tiba tidak ingin bunga ungu itu lagi?” Sungguh, Leva sangat ingin mendengar jawaban dari Manda, sahabatnya itu.

“Dia bukan pembawa keberuntungan bagiku. Lagipula, sebentar lagi aku bakal pergi untuk selamanya kok,” ujar Manda yang dikira Leva itu adalah ucapan dari orang-orang yang pesimis dalam hidupnya.

Seketika itu pula, Leva langsung berseru, “Tidak, Man. Kau tidak boleh ngomong seperti itu! Kau masih pantas untuk sembuh, Man. Kau masih bisa hidup bahagia dengan lavender-lavender itu tentunya!” Tetapi sayangnya, jiwa pesimis sudah mulai melekat dalam diri Manda. Dia hanya menggelengkan kepalanya secara pelan, pertanda bahwa dia tidak setuju atas apa yang Leva katakan.

“Why? Mengapa kau tidak setuju? Kau tidak ingin hidup lagi di dunia ini?” tanya Leva, berusaha meyakinkan Manda bahwa dia masih punya harapan untuk hidupnya ini.

“Ya,” jawab Manda singkat.

“Tetapi—“

“Aku bilang iya ya iya. Aku tidak ingin hidup lagi. Semuanya sia-sia. Apa yang aku alami ini tidak menuai kesembuhan. Mungkin saja jika aku tidak mengalami kanker otak stadium akhir ini, tentu saja hidupku tidak akan seperti ini, Lev. Asal kau tahulah ya,” ujar Manda kembali dengan perasaan kecewanya.

Leva paham akan kondisinya Manda, apalagi sahabatnya itu putus asa atas penyakit yang Manda derita selama beberapa minggu. Tentu saja Leva tidak mengerti, bagaimana caranya agar gadis tersebut bisa menghibur Manda, mungkin di sisa akhir hidupnya. “Aku tidak mengerti lagi, bagaimana cara menghiburmu, Man, selain bunga-bunga lavender itu,” ujar Leva lirih.

“Kau tidak perlu menghiburku, Lev. Sebentar lagi aku akan pergi,” ujar Manda itu lagi.

“Tetapi Man—“

Belum sempat Leva ingin membantah perkataan tersebut, tanda-tanda kematiannnya Manda sudah datang. Lehernya tercekat, seakan melarangnya untuk berbicara satu kata pun lagi. Melihat kondisi sahabatnya yang sedang menjemput sakaratul maut, Leva itu pun berseru, “Man, Man, kau kenapa? Ya Tuhan! Apakah kau benar-benar ....”

“A ... a ... aku, ben ... benar ... benar ing ... ingin per ... per ... per ... gi,” ucap Manda terbata-bata, namun intinya masih dapat ditangkap oleh Leva. Tentu saja sahabatnya Manda itu tidak terima jika Manda harus pergi meninggalkan Leva. “Tidaaaaak, Man, tolong jangan pergi tinggalkan aku!” Tak disadari, air mata jatuh secara deras dari kedua matanya Leva.

“Ja ... ngan ... me ... nangis ... si ... ke ... per ... gi ... gian ... ku, Lev. Sam ... pai ... ke ... te ... mu ... di ... ke ... ke ... hi ... dupan ... se ... lan ... lanjut ... nya.”

Itulah kalimat terakhir yang Manda ucapkan sebelum akhirnya ... dia tidak bernyawa lagi.

“MANDAAAAAA!!!” teriak Leva kepada manusia yang sudah tidak bernyawa itu lagi.

Manda sudah meninggalkan Leva untuk selama-lamanya. Kini, sahabat yang selama ini berada di sisinya sudah tiada dan pergi ke alam lainnya. Leva sangat bersedih atas hal tersebut dan akhirnya ... dia pasrah karena tidak ada lagi teman yang bisa diajak ngobrol atas dasar kesukaan yang sama terhadap bunga lavender.

***

Setelah Manda dimakamkan di tempat yang tenang, mulai saat itu, Leva berniat ingin membakar kebun lavender. Menurutnya, lavender itu pembawa kesialan bagi hidupnya karena sudah memisahkan Leva dengan Manda. Dia sudah membawa peralatan yang dibutuhkan untuk membakar kebun tersebut. Niatnya itu tidak main-main dan akan segera dilakukan, agar dia tidak teringat lagi akan masa lalunya antara dirinya, Manda, dan juga lavender-lavender itu.

Sebelum akhirnya kebun lavender itu akan terbakar, Leva mengucapkan satu kalimat terakhir buat kebun lavender tersebut, “Selamat tinggal, bunga pembawa sialan.”

Akhirnya, setelah mengatakan satu kalimat itu, dengan alat-alatnya, Leva membakar kebun lavender di belakang rumahnya, tidak peduli terhadap akibat yang akan dia dapatkan.

Goodbye, Lavender.

***

By Caca

Mind to Vote and Comment?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro