Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

37 | Yang Fana Adalah Waktu, Bukan?

When did the world decided

to hide the real tears with fake smiles?

(Atticus)

⏱️

Waktu berlalu seperti merangkak.

Seminggu pertama tak ada tanda-tanda yang berarti dari Mahesa. Begitupun minggu kedua, ketiga, keempat dan seterusnya. Pemuda itu tetap kaku, terpejam di atas bangkar rumah sakit.

Orang-orang di sekeliling Mahesa sudah mulai melanjutkan hidup, namun jelas segalanya sudah berubah. Geraldi tidak langsung tinggal di Jakarta, pria itu di inapkan Prama di sebuah shelter di Bali. Ia perlu berdamai dengan masa lalunya, mengobati lukanya, memaafkan dirinya sendiri, juga belajar menerima kepergian istrinya.

Entah berapa lama waktu yang Geraldi perlukan, yang jelas, Geraldi hanya boleh pulang jika hatinya sudah bisa memaafkan.

Di sisi lain, Azalea Prameswari juga pontang-panting menata hatinya sendiri. Gadis itu berdiri tegak, berpura-pura bahwa ia sudah baik-baik saja. Lea melakukan kegiatan seperti biasanya. Ia kuliah, belajar dan tertawa.

Sesekali Lea menyempatkan diri menjenguk Mahesa, bercerita pada pemuda itu tentang banyak hal. Tentang Bryan, tentang Kania, tentang Maminya, tentang Papanya. Tentang apa saja kecuali tentang Kenandra Januar.

Sekilas, orang-orang akan mengira bahwa Lea memang sudah ikhlas menerima, tapi orang-orang terdekatnya tentu tahu, bahwa gadis itu hanya berusaha menyembunyikan luka.

Bagaimana bisa Lea baik-baik saja, sementara tawa di bibirnya tak selaras dengan hampa di matanya? Bagaimana bisa Lea baik-baik saja, jika sesekali Kania dan Bryan menemukan Lea yang berpura-pura ke kamar mandi dan kembali dengan mata merah? Bagaimana bisa Lea baik-baik saja, jika Prama dan Kinara sendiri yang menyaksikan anak gadisnya kerap merintih di tengah tidurnya?

Tapi begitulah cara Lea menghadapi patah hatinya. Dengan bersikal segalanya baik-baik saja. Bukan untuk orang lain, topengnya hanya untuk dirinya sendiri.

Tiga bulan berlalu, dan mereka mulai putus asa menunggu. Keadaan Mahesa tetap tak menunjukan perkembangan, kecuali pada lukanya yang mengering.

Satu-persatu dokter menyerah. Luka Mahesa terlalu parah. Mereka mengatakan bahwa hanya keajaiban yang bisa membawa pemuda itu kembali tanpa satupun cacat.

Kenyataan menyakitkan itu menghantam mereka sekali lagi. Memburuknya keadaan Mahesa, sama dengan memburuknya keadaan Geraldi. Prama menghabiskan waktunya bulak-balik Jakarta-Bali untuk memantau pasien ayah dan anak itu sendiri.

Kinara sudah lelah menangis, ia sengaja mengurangi intensitas berkunjungnya ke rumah sakit, karena tiap kali ia menatap wajah kaku keponakannya, seketika itu pula rasa bersalah merudungnya tanpa ampun.

Mungkin, diantara mereka semua, Lea lah yang tetap konsisten dengan perannya. Sebagai pencerita yang bersikap seolah Mahesa hanya sedang tertidur sebentar.

Dalam urusan menipu diri sendiri, ia memang juaranya.

Sampai suatu hari, sebuah telepon sampai di ponselnya. Maminya terisak di ujung sana, tak perlu penjelasan, Lea tahu jantungnya baru saja mencelos di dalam dada. Ponsel Lea meluncur ke atas lantai  begitu pula dengan tubuhnya yang tertarik gravitasi bumi.

Keriuhan di sekitarnya seketika senyap ditelan keheningan dalam kepalanya. Seperti sebuah film yang diputar cepat, gadis itu berlari tak tentu arah. Lea tak tahu apa yang ia lakukan, ia tak ingat bagaimana ia bisa sampai di rumah sakit tempat Mahesa di rawat.

Suara monoton dari bedside monitor dan permohonan putus asa dalam hatinya seolah berkejaran di dalam tempurung kepalanya.

Tapi mungkin memang begitulah cara Tuhan menunjukan keajaiban. Saat manusia telah nyaris lelah menerbangkan doa, saat manusia sudah tak berani berharap apa-apa, saat manusia telah sampai di titik keputus-asaan. Ia datang menunjukan kekuasaan-Nya. Menunjukan pada manusia bahwa Ia tak pernah ingkar akan janji-Nya. Bahwa Ia memiliki tahta tertinggi untuk memutar balikkan takdir manusia.

Di dalam kamar Mahesa, orang-orang telah berkerumun. Ada Papanya, Maminya, dokter-dokter yang selama ini merawat Mahesa Januar.

Pemuda itu menolehkan kepalanya, menatap nanar ke arah Azalea.

Azalea pun tersenyum ke arahnya, dengan setetes air mata yang meluncur jatuh dari sudut matanya.

Doanya didengar, Mahesa bangun dan Azalea bersyukur karenanya.

Tapi mungkin, ini juga perwujudan nyata dari semua mimpi buruknya. Mahesa bangun, namun tidak dengan Kenandra Januar.

⏱️

Satu minggu sebelum Mahesa terbangun...

Entah sudah berapa lama pemuda di hadapannya ini terpejam. Lea sudah berhenti menghitung pagi yang ia lewati tanpa kehadiran Mahesa maupun Kenandra di sekitarnya.

Lea menarik ujung selimut Mahesa yang sebenarnya sudah rapi, gerakannya luwes seperti sudah terlatih setiap hari. Gadis itu menata ulang meja, meski sebenarnya tak ada satupun benda yang berpindah dari posisinya yang kemarin.

Kalau sudah begini, artinya Lea sedang memasuki dunianya sendiri. Dunia dimana penyangkalan adalah satu-satunya cara untuk menjaga kewarasan.

"Ck, gue baru tahu lo itu hobi banget tidur," Lea berdecak sebal, gadis itu menempatkan dirinya di samping bangkar. Kalimatnya berupa gerutuan, tapi senyum lebar terkembang di bibirnya.

"Ken, bangun dong, nggak bosen apa tidur terus?"

Ah, hari ini Kenandra. Hari ini Lea ingin menganggap pemuda itu sebagai Kenandra, jadi tolong biarkan saja.

"Ken, tau nggak, masa ya si Bryan sekarang kalau ke kampus ngikutin gaya lo tau, sampai heran gue, memang nggak ada role model yang lain apa buat dijadiin panutan?"

Tak terjawab, komunikasi itu berlangsung satu arah seperti biasanya.

"Terus ya, masa kemarin gue lihat di taman ada anak kecil pakai topi kucing sambil megang ayam sepuh, gue jadi inget elo deh." Lea terkekeh pelan, lantas melanjutkan ceritanya. "Dan ya Ken, gue dapet tiket Dufan loh dari seminar kemarin, dua! Lo nggak mau ikutan? Nanti kita naik gajah bledug deh, belom kesampean kan lo naik gajah bledug?"

Suara Lea lagi-lagi hanya disahut oleh suara teratur dari bedside monitor dan hembusan dari pendingin ruangan. Bahkan jarum jam sepertinya tak berani berdetak.

Ah, bukan tidak berani, waktu kan memang senang melambat lajunya kalau manusia sedang tersiksa.

"Oh iya, kemarin gue nonton acara puisi gitu, nah ada yang bacain puisi Sapardi Djoko Damono, mereka baca puisi 'Yang Fana adalah Waktu', bagus banget Ken! Asli! Lo harus nonton juga, tapi Ken—," Lea menjeda kalimatnya sejenak, raut ceria yang sejak tadi ia tampakkan surut tak bersisa. "kata si pembaca puisi, isi puisi itu sebenarnya bentuk sarkasme, mereka bilang penulisnya nulis puisi itu justru untuk menyindir manusia, yang lupa kalau hidup nggak abadi."

Lea mengadahkan kepalanya, menahan air mata yang menggenang dipelupuk matanya.

"Katanya juga, kalau dia pribadi lebih suka menginpretasikan puisi itu sebagai puisi yang bercerita tentang menipu diri sendiri, karena seromantis apapun kata-kata yang dirangkai, di akhir puisi tetap ada tanda tanya. 'Yang fana adalah waktu bukan?'"

Lea tertawa hambar mendengar kalimatnya sendiri. Tanda tanya tak pernah jadi suatu genap baginya. Tanda tanya selalu membutuhkan jawaban sebagai pelengkapnya. Sayangnya tak semua tanya di takdirkan sebagai suatu yang utuh, seringnya tanda tanya dibiarkan mengambang, tanpa kepastian.

Tanda tanya adalah simbol keragu-raguan.

"Sok tau ya dia, kesel deh gue, gara-gara dia gue nggak mau baca buku puisi lagi ah! Sebel!"

Tawa itu mereda, Lea menghela napasnya perlahan.

Tak ada lagi air mata, hanya sebuah tanda sebuah keputus-asaan.

"Lo beneran nggak niat bangun?" Lea tersenyum tapi kesedihan tergambar jelas di matanya. "Lo nggak sendirian sekarang, lo punya gue, lo punya nyokap gue, lo punya bokap gue, lo punya Bryan dan Kania, bahkan lo punya Ayah lo sendiri."

Gadis itu mengatupkan bibirnya.

"Nggak ada lagi pukulan, nggak ada lagi kesepian, nggak ada lagi sendirian. Lo nggak lagi harus berjuang sendiri, di sini, semua orang akan membantu lo."

"Sebagai Mahesa, Rully ataupun Kenandra ... tolong bangun."

Setelah kalimat terakhir yang lolos dari bibirnya, keheningan memeluk mereka erat.   Lea masih ingin menikmati kebisuan itu, tapi suara langkah kaki Prama meretakannya begitu saja.

"Kita doakan saja, semoga ada perkembangan," Prama mengulang lagi kalimat yang biasa ia ucapkan. Tangannya meremas bahu Azalea, sebelum menarik kursi untuk duduk di samping putrinya.

"Azalea?"

"Iya, Pa?" Lea mengangkat kepalanya, sebisa mungkin mengontrol raut wajahnya.

"Setelah Mahesa bangun nanti, Papa mungkin membutuhkan bantuan kamu."

"Apa, Pa?"

Prama tak langsung menjawab pertanyaan putrinya, pandangannya terbagi antara pemuda yang terbaring kaku di atas bangkar, dengan raut letih Azalea.

Ia tak tahu, apa sekarang waktu yang tepat untuk mengatakan segalanya. Tapi, memperlambat juga tidak akan memperbaiki apapun. Mereka sudah terlanjur kacau.

"Setelah Mahesa bangun nanti, bantu dia untuk melepaskan Ken."

Lea bergeming mendengar kalimat Papanya. Papanya mengatakannya dengan lugas, seolah-olah Ken tak pernah berarti untuk mereka.

Sorot kecewa yang Azalea layangkan membuat Prama harus menekan letupan di dadanya. Pria itu menghembuskan napas pelan, lalu menatap anak gadisnya lamat-lamat.

"Bagaimana pun, Ken tidak pernah ada Lea. Ken lahir atas sebuah kesakitan, Mahesa harus melepaskan Kenandra untuk bisa sembuh. Insiden yang menimpa kalian kemarin adalah salah satu konsekuensi atas kekalahan Mahesa atas dirinya sendiri. Ketidak mampuannya mengontrol diri, bukan hanya menghancurkan dirinya sendiri, tapi juga orang lain. Kamu dan Radin adalah contohnya. Kalau kita terus membiarkan Mahesa seperti ini, bukan nggak mungkin suatu saat nanti dia akan membunuh dirinya sendiri lewat alter egonya. Ken sudah melakukannya beberapa kali, terakhir ia menenggelamkan dirinya di dalam kolam renang."

Lea terkesiap mendengar kalimat Prama, sebuah gumpalan pahit kembali terjebak di tenggorokannya. Gadis itu mengatupkan bibirnya, meremas ujung kemejanya.

Prama meraih tangan putrinya, menatap Azalea tetap di manik mata. "Kita harus melakukannya Azalea, atau kita justru akan kehilangan mereka semua."

Setengah mati hati Lea menjerit, menolak semua permintaan Papanya. Tapi satu-satunya hal yang Lea lakukan adalah mengangkat wajahnya, tersenyum lalu menganggukan kepalanya.

"Apapun Pa, asal Mahesa selamat, Lea akan melakukannya."

Tanpa mereka sadari tubuh yang terbaring kaku di hadapan mereka turut mendengarnya, jarinya begerak, tapi matanya tetap terpejam.

Sayang tubuh itu tidak tahu bahwa gadis di sampingnya juga sedang mematahkan hatinya sendiri.

Sudah dibilang kan, urusan menipu diri sendiri Azalea Prameswari memang juaranya.

——————
A/n:

Nyaw!

Nih ya w update nih, w update.

Gimana part 37?

Ada yang berharap Ken masih ada? Ahahahha

Tenang-tenang, kan masih ada 5 part + epilog lagi.

Nggak tahu kenapa, gue makin ke sini, makin berat buat update. Soalnya makin ke sini, makin 'sesayang' itu sama mereka. Apalagi setelah menyelesaikan epilognya.

Rasanya tuh kayak apa ya...

Omg, ternyata AF bisa juga jadi project paling menguras tenaga gue.

Kayak nggak mau pisah tapi jadinya wkwk.

Yang nanya, About Forever belum selesai ya gengs, belum diterbitkan juga, jadi belum ada PO-POan.

Doain aja semuanya lancar, karena menulis project ini butuh kehati-hatian. Percaya atau enggak, gue bahkan merombak akhir kisahnya.

Karena yang sebelunya agak...

Ada deh hahaha.

Yaudah dey itu aja.

Terimaaci.

Semoga syuka.

Kesayangan Ken x Esa.


Alhamdulillah kamu bangun juga.


Tapi tidak dengan kamu. :)

Padahal kamu dah bonyok. Ehehe.

Salam sayang,

Innayah Putri.

——
12 Juni 2018.
Bekasi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro