Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

31 | Mereka Yang Ditolak Oleh Dunia

The worlds break everyone

and afterward many are strong

at the broken place.

(Ernest Hemingway)

⏱️

Waktu bergulung begitu cepat, kecuali bagi orang-orang yang hidupnya baru saja di porak-porandakan oleh semesta. Tak ada yang mampu menyangkal, luka membuat detik terasa melambat, seolah sengaja ingin menyiksa dalam waktu yang lebih lama.

Tiga hari berlalu sejak kenyataan pahit itu terkuak. Dunia masih berputar pada porosnya, dan orang-orang tetap melangkah seperti tak pernah terjadi apa-apa. Tapi tidak bagi Azalea maupun Mahesa Januar.

Mereka seolah terlempar ke dimensi yang berbeda. Ke tempat dimana masa tak pernah bergerak. Dimana dunia tak lagi berputar. Dimana mereka menjadi mahluk paling tidak berdaya.

Sejak mengetahui kenyataan pahit tersebut, Lea mengunci diri di kamarnya sendiri. Ia biarkan tirai tertutup dan lampu kamarnya tetap padam. Tak peduli siang atau pun malam.

Makanan yang di antar Maminya hanya Lea sentuh sekenanya. Selebihnya, ia memilih membenamkan dirinya di dalam selimut tebal. Meringkuk seperti bayi dalam kandungan.

Gadis itu menggigil di siang hari, dan demam ketika malam datang.

Kenyataan itu seperti badai yang tiba-tiba menggulung dunianya. Azalea bukan sekadar kebingungan gadis itu sudah sampai di tahap terguncang. Dalam mimpi tergelapnya pun tak pernah Lea bayangkan, bahwa sosok yang ia cintai hanya berupa bayangan.

Sementara Lea menghabiskan waktunya dengan keadaan setengah sadar, di rumahnya Mahesa hanya berbaring di kamar tidurnya.

Pelayan yang sesekali mengantar makanan tidak di hiraukannya. Satu-satunya hal yang pemuda itu lakukan adalah menutup matanya, seraya berbaring seolah ia adalah patung porselen yang tidak bernyawa.

Sesekali, alter egonya mengambil alih. Rully akan menghabiskan berbotol-botol alkohol di mini bar, seraya melarikan diri ke pelukan perempuan manapun yang menerimanya. Sementara Ken hanya terbangun sesekali, menghancurkan apapun benda yang ada di lihatnya, sebelum akhirnya ia kelelahan dan merintih sendirian. Tapi, ketika Mahesa kembali mengambil alih, pemuda itu akan kembali ke kamarnya, lalu kembali mengabdikan diri menjadi mayat yang bernapas.

Ia lelah. Sungguh ia lelah dengan dunia yang menolak keberadaannya. Kepada dunia yang mengutuk kelahirannya. Kepada dunia yang tak pernah menginginkan eksistensinya.

Jika saja bisa, Esa tak ingin lagi menjadi inang. Biar saja ia menjadi alter, biar orang lain yang merampas seluruh hidupnya. Segalanya. Semuanya. Karena memang tak ada lagi yang tersisa bagi dirinya.

Ken, Rully, atau siapapun yang bisa membunuhnya. Tolong bunuh saja dia.

⏱️

Siang itu Bryan dan Kania kembali menyambangi rumah Lea. Seperti tiga hari sebelumnya, mereka disambut aura sendu sejak langkah pertama mereka menjejak di rumah ini.

Kinara duduk di sofa ruang keluarga. Perempuan itu tertunduk seraya menatap album foto yang sudah berkali-kali ia pandangi.

"Mami," panggilan Kania sontak membuat Kinara menutup album dipangkuannya. Ia tersenyum lembut kepada dua sahabat putrinya.

Keadaan Kinara sudah jauh lebih baik. Perempuan itu tampak sudah bisa menerima kekacauan yang terjadi di sekitarnya.

"Azalea masih seperti kemarin," ujar Kinara seraya menggeser tubuhnya, menyisakan ruang kosong untuk Bryan dan Kania.

Bryan dan Kania menghela napas pelan. Mereka sudah tahu apa yang terjadi, Maminya Lea sudah menceritakan semuanya. Selama tiga hari ini, mereka berdua rutin menyambangi rumah Lea sepulang kuliah dan selama itu pula obrolan yang mereka lakukan berlangsung satu arah. Lea tak menjawab pertanyaan mereka. Tidak pula menatap mata mereka. Gadis itu bungkam seribu bahasa.

"Ada kabar soal Mahesa, Mami?" tanya Kania ragu.

Kinara menggelengkan kepala. "Tiga hari ini Mahesa benar-benar kacau, Om tidak bisa menghubungi anak itu, tapi yang Mami dengar Mahesa benar-benar dalam keadaan yang tidak stabil. Sehari ia bisa berubah kepribadian hingga 3 kali."

Mata Kinara beralih pada pemuda di hadapannya. Bryan belakangan ini sudah banyak berubah dari Bryan yang selama ini ia kenal, dan kurang lebihnya Kinara tahu karena apa. Kania sudah menceritakannya.

"Bryan, Mami boleh minta tolong?"

"Minta tolong apa Mami?"

"Tolong jenguk Mahesa," Kinara menggengg tangan Bryan erat-erat, matanya menyorotkan permohonan. "Kalau Mami yang datang, keadaan Mahesa bisa semakin buruk. Azalea beruntung bisa memiliki kalian, Mami dan Om, tapi Mahesa nggak punya siapa-siapa selain pelayan di rumahnya. Dia kesepian."

Setitik kristal meluncur bebas di pipi Kinara, yang langsung dihapusnya dengan gerakan kasar. Perempuan itu tersenyum, berusaha menutupi kesedihannya, menatap pemuda di hadapannya nanar.

Bryan menatap Kania sekilas, sebelum menganggukan kepalanya.

Sejujurnya, dibanding Mahesa, ia berharap bisa bertemu Kenandra.

⏱️

Seperti dua hari sebelumnya, kamar Lea gelap gulita. Satu-satunya cahaya yang masuk ke kamar itu hanya berasal dari celah partisi jendela.

Pendingin ruangan yang sudah menyala tiga hari lamanya membuat Kania bergidik sekilas, sebelum berjinjit melangkah ke arah tempat tidur Azalea.

Lea tidak sedang bergelung di dalam selimutnya, gadis itu duduk seraya memeluk lututnya sendiri. Matanya menatap hampa ke langit-langit kamarnya. Seolah benda datar itu bisa mejawab seluruh tanyanya.

"Le," Kania mengusap bahu Lea lembut, namun Lea tetap tidak beranjak.

"Le, yuk keluar, jangan gini terus, Kania sedih lihatnya, Bryan, Mami Kinara sama Om Prama juga sedih lihat Lea begini."

Tetap hening. Tak ada jawaban dari Azalea. Gadis itu bungkam seribu bahasa.

"Le, ayo cerita sama Kania, jangan diam aja," suara Kania mulai bergetar. Biasanya ia bisa berceloteh panjang lebar, tapi kali ini tidak. Semua kata-kata penghibur yang ia siapkan menguap entah kemana. Rasanya sesak melihat Azalea yang biasanya tegar bagai karang kini hancur dan berantakan. "Lea sendiri yang bilang, kalau Ian sama Kania selalu punya Lea. Inget nggak Le, dulu waktu Kania jadi pasien Om Prama karena Kania dibully temen-temen Kania, mereka bilang Kania aneh, Kania gendut, Kania jelek sampai Kania harus muntah setiap lihat makanan? Inget nggak, Lea yang waktu itu bilang kalau Kania cantik kayak gimanapun Kania, kalau Kania harus cerita sama Lea setiap kali temen-temen ada yang jahatin Kania? Lea nggak inget?" Kania menyeka sudut matanya yang mulai berair.

"Waktu orang-orang ngatain Ian banci tanpa tahu yang sebenernya, waktu Ian mulai frustrasi karena dia harus kayak perempuan sedangkan dia laki-laki, Lea lupa apa yang Lea bilang ke Ian? Lea bilang, 'Gimanapun Ian, Ian laki-laki, dan Ian akan tetap jadi laki-laki.' Inget nggak Lea ngomong gitu ke Ian, Le?" Kania merasa dadanya mulai sesak, tapi ia tetap melanjutkannya. Ia tak bisa terus melihat sahabatnya tenggelam dalam kesedihan. Ia pernah berada di titik tersebut, dan Kania tahu bahwa ia selalu berharap ada orang yang memaksa untuk keluar dari sana. Menolongnya dengan sebuah uluran tangan, dan Lea pernah melakukannya untuk Kania.

"Lea yang bantu Kania sama Ian waktu Kania sama Ian ngerasa mau mati, tapi... tapi kenapa sekarang Lea yang kayak gini?" tangis Kania pun pecah, tapi Lea tetap bergeming.

"Ngomong sesuatu Le, please," Kania mencengkram lengan Lea, menatapnya penuh permohonan. Sungguh, ia berharap Lea bisa berbira saat ini. Ia berharap Lea bisa berteriak marah, berseru, atau menangis hingga menjerit.

Apapun. Apapun asal sahabatnya tidak bungkam seperti raga tak bernyawa. Kania masih terisak, ketika suara itu akhirnya terdengar.

"Gue... jatuh cinta sama orang yang salah, K." Lea berbicara dengannya, tapi mata gadis itu menatap lurus ke satu titik. Tetap kosong tanpa jiwa. "Gue... jatuh cinta sama bayangan."


Tak ada air mata, tak ada jeritan, tak ada kemarahan. Bukan karena Azalea tabah, tapi karena ia sendiri sudah tak mampu melakukan apa-apa.

Lea menenggelamkan wajahnya di bantal, tubuhnya berguncang. Azalea Prameswari menangis tanpa suara.

Gadis itu ingin berteriak keras seakan-akan hal itu bisa meluruhkan seluruh rasa sakitnya, tapi ia sudah benar-benar kepayahan.

Kenapa?

Kenapa harus Kenandra?

Kenapa harus Azalea?

Kenapa membunuh orang yang ia cintai adalah satu-satunya pilihan yang Azalea punya?

Tanya itu tak pernah mendapat jawab, sekeras apapun ia membantah, sekencang apapun ia berteriak, selantang apapun ia menolak, tetap saja Lea tak memiliki pilihan lain; selain kehilangan.

⏱️

Rumah berlantai dua itu dijaga ketat oleh para pengawal pribadi. Butuh dua puluh menit dan tiga kali telepon Prama sampai akhirnya Bryan di izinkan untuk masuk ke rumah besar tersebut.

Ia tak sempat terkesima dengan kemewahan istana milik keluarga Januar, kesunyian mencekiknya sejak langkah pertamanya menginjak lantai marmer rumah ini.

Pengawal yang memandunya, membawa Bryan naik ke lantai dua menuju salah satu ruangan. Bryan merasa oksigen di sekitarnya langsung lenyap detik pertama setelah pintu kamar itu terbuka.

Kamar besar itu tampak berantakan seperti baru di hantam badai katrina. Cermin-cermin di dinding sudah pecah dalam pola tak beraturan. Meja dan kursi terbalik di berbagai sudut. Pecahan kaca dan barang porselen tersebar di sepenjuru ruangan.

Namun bukan itu yang membuat Bryan terkesiap, melainkan sosok yang terlentang di atas tempat tidur. Bryan tidak tahu, siapa pemuda itu, Mahesa atau Kenandra, namun yang jelas Bryan tahu pemuda itu tengah tersiksa.

Kedua tangan dan kakinya diikat pada sudut-sudut tempat tidur. Darah dan luka baru tampak di sekujur lengan hingga pipinya. Pemuda itu tampak tidak berdaya, dan lelah berupaya.

"Silakan masuk, dia baru diberi obat penenang," jelas pengawal di samping Bryan. Pria itu meletakan sebuah kursi di samping ranjang sebelum berpamitan. "Waktunya lima belas menit, saya tunggu di luar."

Bryan mengangguk, membiarkan pria itu keluar dan menutup pintu. Pecahan kaca, obat penenang, sampai kakacauan ini pernah ia saksikan di depan matanya bertahun-tahun silam. Tapi sungguh, ia tak pernah menyangka bahwa ia akan melihat Mahesa a.k.a Kenandra akan berada di tengah kekacauan ini.

"Dia... gimana?" suara parau itu menarik Bryan dari ingatan masa lampau. Entah bagaimana, detik itu juga Bryan tahu bahwa ia berhadapan dengan Kenandra.

"Kacau, kayak lo."

Ken menarik sudut bibirnya, lalu tertawa getir. "Mahesa tolol memang! Kalau dia mau ngebohong seharusnya sampai akhir!"

"Ken... lo gimana?" tanya Bryan ragu-ragu.

"Nggak usah ditanya, lo tahu jawabannya. Sejak Lea memilih Mahesa, sejak itu juga gue kalah. Tenang aja, lo nggak usah takut gue gebukin, senang kan lo Ken yang jahat ini ternyata cuma bayangan? Bentar lagi juga mati."

Bryan meneguk ludahnya sendiri, ia tak tahu apa ini bisa menghibur, namun semoga saja lewat cerita ini Ken bisa mengerti.

"Lo mau tahu, kenapa gue dan Kania bisa bersahabat dengan Lea?" tanya Bryan pelan. Ken tidak menjawab, matanya hanya terpancang pada langit-langit kamarnya dengan sorot hampa.

"Ingat pertama kali kita ketemu? Di rumah sakit tempat Papanya Lea?" Kalimat Bryan memanggil ingatan Ken pada beberapa waktu yang lalu. Pada pertemuannya kembali dengan Azalea Prameswari. "Hari itu gue dan Lea baru aja nganter Kania konsul."

"Kania sudah lebih dulu kenal sama Lea dibanding gue, Kania pasien bokapnya Lea, dia penderita anoreksia sekaligus depresi ringan. Penyebabnya bullying. Orang-orang berpikir kalau dia udah baik-baik aja sekarang, padahal enggak. Kenangan ketika dia jadi korban bullying masih membekas sampai sekarang, dia nggak pernah sembuh total. Kania masih sering nggak nafsu makan, dan minum obat tidur. Nggak ada orang yang sama setelah dia dikucilkan." Bryan menjeda sejenak, ia perlu bernapas untuk menceritakan kisahnya sendiri. "Sedangkan gue, seperti yang lo tahu, gue nggak sebelok itu. Gue dulu laki-laki, sampai nyokap gue kehilangan adik perempuan gue. Dia terobsesi menjadikan gue perempuan, setiap kali gue nggak mau nurut, gue akan di pukul, dia akan histeris, dan gue nggak sanggup ngelihat nyokap gue seperti orang gila. Gue menuruti semua mau nyokap. Gue pakai baju perempuan. Gue bergaya seperti perempuan, sampai gue lupa bahwa gue sebenarnya laki-laki.

Beberapa tahun gue menjalani hidup kayak di neraka, di bully, di caci, sampai di ludahi. Gue mulai terbiasa sama semuanya. Sampai nyokap gue jadi pasien bokapnya Lea. Dari sana gue mengenal Azalea, Kania dan keluarganya. Bokapnya mungkin langsung sadar bahwa gue nggak baik-baik saja, tapi Lea... Lea orang pertama yang melepas bando gue terus bilang 'Nyokap lo udah nggak di sini, lo nggak perlu pura-pura lagi'."

Bryan terdiam sesaat, menghapus jejak air mata di sudut matanya. Betapa menyakitkannya mengingat masa-masa itu. Masa-masa yang menyeretnya untuk sampai pada titik ini, titik dimana ia bahkan tak bisa mengenali identitasnya sendiri. Masa yang membawanya sampai titik dimana ia kehilangan jati dirinya sendiri.

Ken tetap diam, tapi matanya mulai menerawang. Ia membayangkan cara Lea mengatakan kalimat tersebut pada Bryan. Ia membayangkan cara Lea hari itu mengulurkan tangannya pada Bryan. Ia sungguh merindukan gadis itu.

"Tapi gue sudah terlalu jauh, gue... tersesat tanpa tahu bagaimana caranya untuk pulang, dan lo mengingatkan gue hal yang berusaha gue kubur rapat-rapat Ken. Seperti Lea yang berusaha menolong gue waktu gue sudah terbiasa, lo pun mengingatkan gue dengan diri gue yang lama setelah sekian lama gue memutuskan untuk lupa. Lo membuat gue ingat, kalau sejak dulu gue ingin kembali jadi laki-laki. Gue ingin bisa hidup normal."

Kalau memang standard kelaki-lakian seseorang hanya diukur dari kapasitas air matanya, maka hari itu Bryan pasti sudah mengaku kalah. Luka lama yang selama ini ia kubur kini kembali mengaga lebar, menawarkan segala kenangan pahit yang sudah lama ingin ia anggap mati.

"Kita... kita semua pasien Ken. Elo, gue, Kania, Mahesa, kita semua pasien. Kita orang yang nggak pernah diharapkan ada di dunia, yang eksistensi nggak pernah dianggap penting bagi yang lainnya, kita orang-orang yang ditolak, tapi Lea ada di sana, Lea nggak menolak kita, Lea membuat gue merasa gue orang yang berharga, terlepas dari segala ketidak sempurnaan gue, kalimat dia pagi itu buat gue merasa gue masih punya harapan untuk bisa hidup di masa depan."

Bryan merasa dadanya menyempit, seluruh percakapan ini menguras habis emosinya. Menggenapkan seluruh kepiluannya. Melengkapkan seluruh kerapuhannya.

"Lea... Lea bukan nggak mau memilih lo, tapi dia nggak bisa Ken. Dia nggak bisa mempertahankan egonya dengan mengorbankan orang lain. Dia nggak mungkin mempertahankan lo dan membiarkan Mahesa menghilang."

"Tapi artinya dia membiarkan gue yang menghilang," sela Ken getir tanpa mengalihkan pandangannya dari langit-langit putih kamar Mahesa.

"Ken..." Bryan tak tahu harus berkata apa, ia sudah kehabisan kalimat. Tak ada kata yang mujarab bagi orang yang sedang patah hati.

"Apapun alasannya, tetap aja yang Lea pilih akhirnya Mahesa bukan gue." Final. Kalimat lirih Ken menutup percakapan mereka. Ken membiarkan setetes air mata luruh dari sudut matanya.

Hanya setetes, tapi tak ada yang tahu seberapa banyak luka yang terkandung di dalamnya.

"Gue mau istirahat, pintu keluarnya ada di sana," ujar Ken seraya menutup matanya dengan gerakan lambat. Tangan dan kakinya tetap terikat, namun pemuda itu terlelap dengan tenang, sebisa mungkin meredakan badai di dalam kepalanya.

Lima belas menitnya belum habis, tapi Bryan tak lagi berkata apa-apa. Ia hanya diam, menyaksikan leburnya seorang Kenandra Januar.

Sekali lagi, mereka tetap menjadi orang yang ditolak dunia.

————————
A/n:

Hola!

Sampai juga kita di part 31. Gue berharap pesan yang ingin gue sampaikan bisa kalian serap dengan bijak. Memahami maksud dari seluruh bagian dari About Forever terutama part ini.

Di dunia ini, mungkin ada banyak sekali Kania, Esa dan Bryan yang lain. Atau mungkin dalam kasus yang berbeda. Tapi sayangnya, mereka jadi orang-orang yang ditolak oleh dunia. Yang dikucilkan dan dibuang.

Untuk yang masih bingung. Iya, Ken, Esa dan Rully adalah satu orang yang sama. Kalau seandainya mereka berdua hadir bersamaan, salah satunya hanya bentuk imajinasi dari sosok lainnya.

Mau tanya dong, satu kata atau satu kalimat untuk cerita ini apa?

Dan ah ya, di akhir cerita nanti. Mau tau dong kalian lebih setuju yang mana:

1. Esa sembuh, Ken & Rully hilang.

2. Ken menang, Esa dan Rully hilang.

3. Rully bertahan, Esa & Ken hilang.

4. Mereka semua mati.

Hahaha.

Semuanya bisa diatur kok.

Jadi...

Semoga masih mau nunggu kelanjutannya!

Salam sayang,

Innayah Putri.

P.s: Yang baca ulang plis jangan spoiler yea!

11.05.18

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro