Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

30 | Menyambut Kehilangan

Perhatian!

Part ini mengandung adegan kekerasan, harap ditanggapi dengan bijak.

Dan mohon dengan sangat untuk tidak menyamakan cerita ini dengan cerita lainnya. Baik drama, film atau novel.

Yap, aku memang nonton beberapa drama dan film sebagai referensi riset tapi ya ampooon alurnya aja udah beda kan ya! :(

Pasang lagu di mulmed deh, pas banget sih sama cerita ini. Coba dengerin.

Selamat membaca!

---------

There is nothing

more painful than

grieving someone

who's still living.

(Rupi Kaur)

⏱️

Untuk pertama kalinya atmosfer dingin membentang di ruang makan keluarga Ilyas.

Ketiga anggota keluarganya duduk di balik meja makan dengan raut frustrasi. Piring-piring yang sudah di singkirkan tanpa disentuh beberapa jam yang lalu digantikan oleh sebuah laptop, amplop besar, ponsel Kenandra serta bingkai berisi foto mereka beberapa tahun silam.

Prama dan Kinara terpekur menatap pada layar laptop yang menampilkan video dari flashdisk. Video tersebut merupakan video dari CCTV kamar Mahesa. Prama sudah pernah menyaksikannya, namun tetap saja menontonnya sekali lagi membuat dadanya terasa sesak.

Kinara sendiri sudah menangis sejak tadi, tangannya membekap mulut. Wanita itu berkali-kali terpekik melihat bagaimana Mahesa memukuli dirinya sendiri. Pemuda itu berbicara pada cermin, meneriakkan beberapa hal menyakitkan, pada beberapa video nama Azalea disebutkan, bahkan pada salah satu video tersebut, mereka bisa melihat Mahesa-yang sedang menjadi Kenandra-membanting bingkai foto dari atas meja. Foto mereka berempat.

Azalea menatap kosong ke arah kedua orang tuanya. Ia tak tahu respon apa yang harus ia berikan. Beberapa jam terakhir terasa seperti neraka baginya. Segala kenyataan yang tiba-tiba menamparnya tak bisa diterimanya begitu saja.

Sebisa mungkin Lea mencari segala kemungkinan, segala celah agar ia bisa percaya bahwa yang barusan Mahesa katakan adalah sebuah kebohongan.

Namun, semakin Lea mencari, semakin ia menemukan kepingan puzzle lainnya.

Setiap Ken ada, Mahesa menghilang, begitupun sebaliknya. Kalimat Ken tentang ia yang mengetahui keberadaan Mahesa, bahkan telepon dari pemuda itu yang mengatakan bahwa ia melihat Mahesa di cermin.

Semuanya bermuara pada satu fakta yang sama; bahwa tak pernah ada Kenandra. Dan kenyataan itulah yang meremukkannya tanpa ampun.

Gadis itu sudah lelah menangis, ia juga lelah berpikir, tapi tetap orang tuanya merupakan keping puzzle terakhir. Keping yang dapat menjelaskan segala pertanyaan yang berkecamuk dalam kepalanya.

"Kamu mau dengar apa dari Papa dan Mama?" tanya Prama akhirnya. Ia menutup laptop di hadapannya, menatap gadisnya yang sekarang menatapnya dengan sorot nanar.

Prama berani bersumpah, seumur hidupnya tak pernah ia siap melihat putrinya terluka sebegini dalamnya.

"Foto... foto itu... sebenarnya, siapa Mahesa? Kenapa ada kita? Siapa Kenandra?" gemetar, suara itu menahan sedan yang sejak tadi mendesak untuk keluar.

Prama dan Kinara saling bertatapan. Prama meremas tangan istrinya, meyakinkan wanita itu bahwa mungkin membuka segalanya adalah hal terbaik saat ini.

Mengumpulkan segenap kekuatannya, Kinara mengambil sebuah album dan sepasang boneka yang selama ini ia simpan. Boneka yang Azalea lihat di pegang Maminya di ruang keluarga.

"Dia... Ken," Maminya menyodorkan boneka laki-laki pada Azalea, membuat Lea semakin kebingungan.

Prama berdeham beberapa kali, sebelum memulai ceritanya.

"Kamu tahu siapa nama Ayah dan Ibu Mahesa, Lea?" tanya Prama lembut.

Lea tentu mengingatnya, tapi Papa tak membiarkan Lea menjawab pertanyaannya.

"Geraldi dan Rosaline, Lea. Mereka berdua adalah sahabat Mami dan Papa. Geraldi sebenarnya laki-laki yang baik, ia begitu mencintai istrinya. Begitupun Rosaline, Ros selalu mendukung Geraldi tak peduli bagaimanapun keadaannya. Kehidupan pernikahan mereka harmonis, benar-benar membahagiakan." Prama menjeda sejenak. Ia mengambil napas panjang-panjang, berusaha mengisi paru-parunya.

"Sampai akhirnya, Ros hamil anak mereka. Sejak awal kehamilannya, dokter sudah memperingatkan bahwa kondisi rahimnya tidak cukup kuat, tapi Ros keras kepala ingin mempertahankan Mahesa, ia bahkan sudah menyiapkan namanya. Laki-laki atau perempuan anaknya akan diberi nama Mahesa, katanya." Senyum getir tercetak di bibir Papanya sementara Mami sudah terisak di kursinya.

"Sampai akhirnya di hari kelahiran Mahesa, dokter sudah memperingatkan bahwa mungkin hanya ada satu nyawa yang selamat, tapi Ros tetap berkeras kepala, ia ingin Mahesa hidup dan lahir ke dunia." Prama mengusap wajahnya frustrasi, dan Azalea mulai bisa menyambungkan cerita ini dengan mata rantai yang ia dapat dari Kenandra. "Ros meninggal setelah melahirkan Mahesa, Geraldi dirawat, sementara Mahesa dititipkan di neneknya di Bogor. Butuh berbulan-bulan untuk membuat Geraldi pulih, setelah Geraldi keluar dari shelter ia menenggelamkan diri pada pekerjaan, tanpa pernah menjenguk Mahesa. Kami tak pernah tahu, Geraldi melakukannya karena ia marah pada Mahesa."

"Empat tahun setelah neneknya meninggal, Mahesa dipulangkan pada Geraldi, dari sanalah mimpi buruk Mahesa di mulai. Sejak umur empat tahun, Mahesa sering dipukuli habis-habisan. Kadang ia dikunci di dalam kamar mandi yang gelap, atau bahkan di dalam tong yang pengap. Bahkan bukan sekali dua kali katanya Mahesa direndam di kolam renang tengah malam. Seharusnya Geraldi di penjara, tapi kekuasaan yang ia bangun membuatnya nyaris kebal hukum. Segala kemarahannya atas kematian Rosaline ia tumpahkan pada pemuda kecil tersebut."

Azalea membiarkan air mata jatuh di pipinya, meluncur bebas tanpa sempat ia cegah. Sekali lagi, dadanya terasa sesak.

"Saat umur kamu 4 tahun dan Mahesa 6 tahun, kita akhirnya pindah ke dekat rumah Geraldi, dari sana kami tahu apa yang selama ini Mahesa alami. Papa dan Mami menentang keras, tapi kami tidak memiliki kuasa apa-apa, satu-satunya hal yang dapat kami lalukan adalah mendekatkan diri pada Mahesa, mengenalkannya tentang sebuah keluarga. Saat itulah pertama kali kamu berkenalan dengan Mahesa Lea, kamu nggak ingat?"

Azalea menggeleng pelan, ia tidak mengingat apapun. Bagaimanapun ia mengacak-acak koridor ingatannya tetap saja nama Mahesa tak muncul dalam ingatannya.

"Wajar saja, kamu masih kecil dulu, sedekat apapun kalian, kamu memiliki banyak teman lainnya, kamu tidak pernah menganggap Mahesa penting seperti dia menganggap kamu." Prama menganggukan kepalanya, lantas kembali melanjutkan ceritanya.

"Sejak pertama kali kami bertemu dengan Mahesa, gejala MID sudah terlihat. Beberapa kali Papa melihat Mahesa mengobrol dengan cermin, namun kepribadian itu belum memiliki nama, sampai kamu yang memberinya."

"A...ku?" tanya Azalea tak percaya.

Mami menyentuh boneka yang tadi ia berikan. "Boneka ini sayang, boneka ini namanya Ken, pasangannya Barbie. Kamu selalu bilang sama Mahesa, bahwa kamu Barbienya dan Mahesa adalah Ken."

Napas Lea tersekat mendengarnya. Samar-samar ingatan itu akhirnya menghampirinya. Tak jelas bentuk visualnya. Seorang anak kecil berpakaian lusuh, tentang obsesi masa kecilnya dengan boneka Barbie, tentang anak lelaki yang senang sekali menginap di rumahnya. Tentang Kenandra!

"Nama Kenandra juga lahir dari pemikiran kalian berdua. Katamu, itu nama panjangnya."

Lea tersekat. Dadanya terasa sesak, tapi sebisa mungkin ia menahannya, ia harus mendengarkan cerita ini sampai akhir.

"Terusin Pa, Lea mau tahu semuanya."

"Pada hari ulang tahun Mamanya, Mahesa menanam bunga mawar di pekarangan rumahnya. Geraldi yang tahu hal tersebut, langsung mengamuk. Hari itu kita sekeluarga tidak ada di rumah Lea. Mami dan Papa nggak bisa menolong Mahesa. Mahesa dipukuli dengan tongkat golf, tubuhnya dilempar, kepalanya diinjak. Waktu itu umurnya masih tujuh tahun. Waktu kita pulang, Mahesa sudah pingsan menunggu kita di halaman rumah." Prama mengusap air mata yang jatuh dari mata tuanya. Sakit sekali rasanya mengingat bagaimana ia menemukan Mahesa yang sekarat hari itu.

"Empat tulang rusuknya patah, Mahesa sempat koma selama dua hari. Hari itu, Papa memutuskan untuk menyeret Geraldi ke kantor polisi. Papa sudah bersiap mengurus surat adopsi, karena Geraldi akan ditetapkan sebagai tersangka penganiaayaan terhadap anak. Papa pikir segalanya selesai di sana, namun ternyata tidak. Geraldi lolos dengan mudah, keputusan Papa untuk melaporkannya membawa masalah lebih besar.

Geraldi membawa Mahesa pergi dari kami, mereka pindah rumah. Mahesa menangis kejar memohon agar ia dibolehkan tetap tinggal, namun setiap satu kata yang dia keluarkan dibayar oleh satu tamparan di mulutnya. Sampai ketika anak itu pindah, Mahesa bahkan tak bisa membuka mulutnya karena bengkak. Papa ingin menahannya, tapi Papa tidak punya kuasa. Saat itu kamu menangis Lea, kamu menangis bersama Mami dan Papa, tapi tak butuh lama bagi kamu untuk melupakan segalanya, Papa dan Mami tidak menyalahkan kamu untuk itu, kami justru beryukur."

Rasa bersalah mulai menghantamnya lebih keras. Segala kenyataan yang terjabar di hadapannya ternyata justru bermula dari dirinya sendiri. Ia berperan dalam terciptanya sosok Kenandra.

"Kamu mau istirahat dulu? Kita bisa lanjutkan ceritanya besok." Prama menatap putrinya tak tega. Ia tahu, Lea tengah menahan isakannya, begitu pula istrinya yang sebisa mungkin tetap mendengarkan agar seluruh cerita ini bisa dikisahkan dengan sempurna. Agar lukanya juga sempurna. Dikatakan, dan didengarkan oleh orang-orang yang menjadi saksi kepahitan masa-masa gelap tersebut.

Lea menggelengkan kepalanya. "Nggak mau Pa, ceritain semuanya, sekarang."

Prama menghela napas sesaat. Tenggorokannya kering tapi ia tahu bahkan sebotol penuh air takkan membuatnya membaik.

"Sembilan tahun kemudian, Satria-orang kepercayaan Geraldi-datang ke rumah sakit Papa, ia membawa Mahesa. Geraldi berjanji akan membiarkan Mahesa dalam pengawasan Papa asal Papa menandatangani surat perjanjian."

"Su...rat?" Lea menatap Papanya bingung, mengapa teka-teki tentang Mahesa tak kunjung habis. Hidup mereka seperti benang kusut yang saling terhubung. Rumit dan seperti tanpa ujung.

"Isinya tentang larangan-larangan, termasuk menjalankan fungsi Papa sebagai psikiater untuk menyembuhkan Mahesa. Papa hanya boleh mengawasinya, dan melaporkan perkembangan tentang Kenandra. Sejak saat itu, Papa semakin dekat dengan Mahesa. Dari sana Papa tahu, kalau Mahesa dan Geraldi hidup terpisah sejak bertahun-tahun silam. Mahesa bercerita banyak hal, ia pemuda baik-baik seperti Esa yang kamu kenal. Papa kira, keadaan Mahesa tidak terlalu buruk. Namun ternyata Papa salah. Sejak kepindahan keluarga mereka, Ken benar-benar hidup. Ingatan dan kepribadian Mahesa benar-benar sudah bukan lagi miliknya sendiri. Ken bahkan pernah nyaris membunuh Geraldi. Ken berbahaya."

Prama meneguk ludah ketika mengatakannya, ia mengadahkan kepala hanya demi melihat sebentuk luka baru dari mata Azalea.

"Ken... Ken bukan monster Papa," gumam Azalea dengan suara bergetar. Sungguh, ia kelelahan.

"Papa tahu, Papa bertemu Ken beberapa kali. Papa nggak mengerti kenapa, tapi hanya Mami yang tersisa diingatan Mahesa, sementara Papa dan kamu tinggal dalam kenangan milik Kenandra." Prama menarik napas sebelum melanjutkan kembali kisahnya.

"Segalanya baik-baik saja sampai dua tahun lalu."

"Dua tahun lalu?" tanya Lea bingung. Dua tahun lalu seingatnya Mahesa pergi ke Amerika untuk mengikuti program pertukaran pelajar.

"Yang kamu dan teman-temanmu tahu mungkin Mahesa mengikuti pertukaran pelajar, tapi sebenarnya tidak. Mahesa dikirim ke rumah sakit di Balltimore karena kepribadiannya membuat masalah besar, di sana Mahesa mendapatkan penangan terbaik di bidang kejiwaan."

Lea menggelengkan kepalanya. Kini sudah cukup. Lea sudah mengetahui garis besarnya, dan ia tak siap untuk mendengar cerita lebih rinci. Jadi, ia belokkan topik pembicaraan mereka ke arah yang lebih krusial.

"Sejauh apa penyakit Mahesa, Pa?" tanya Lea dengan suara bergetar.

Prama menghela napas pelan. "Selain Ken yang menjadi prescutor personality, Mahesa memiliki alter ego yang lain. Mahesa terpecah menjadi tiga kepribadian."

"Ti...ga?" Lea menatap Papanya tak percaya.

"Rully, kamu pernah dengar?"

Pertanyaan Papanya dijawab Lea dengan gelengan kepala, ia merasa tak pernah mendengar nama tersebut.

"Baik Mahesa dan Ken tak bisa menebus kesepian yang mereka alami, sehingga alam bawah sadar Mahesa membentuk Rully sebagai sosok yang bebas. Rully adalah bentuk pelarian mereka yang lain dari rasa sakit. Papa belum mengenal Rully sebaik Ken, ia juga terkesan lebih pasif, seringnya berperan sebagai protector atau helper, namun jelas Rully perlu diwaspadai."

"Lea belum pernah bertemu Rully, Pa." Azalea menatap Papanya nanar. "Apa... Apa berarti Mahesa nggak bisa sembuh?"

Prama merapatkan bibirnya, inilah bagian yang paling tak ingin ia ceritakan, karena ia tahu, Azalea akan semakin hancur jika mendengar jawabannya.

"Pa..." Lea mengenggam tangan Papanya. Ia sudah mati-matian bertahan sampai sini, biarkan ia hancur sekalian.

"Kemungkinannya kecil, terlebih lagi setelah Ken menemukan kamu."

"A...ku?"

"Ken jatuh cinta sama kamu Le, selain karena kebencian terhadap Ayahnya, eksistensi Ken ada karena rasa sakit Mahesa setelah dia kehilangan kamu. Setelah dia menemukan kamu, Ken semakin kuat, bukan nggak mungkin suatu saat justru Mahesa yang akan menghilang."

Jawaban Prama seperti peluru yang langsung melesat menuju jantung Azalea. Ia tak bodoh untuk mengetahui bahwa keberadaannya bisa menjadi kematian bagi Mahesa.

Tangan Lea melemas. Di kursinya, Maminya terisak kencang. Wanita itu tak bisa melupakan bagaimana sorot kesepian dari pemuda yang akhir-akhir ini menemaninya.

Lea menunduk, menatap nanar pada meja yang menjadi tumpuan tangannya. Kepalanya sibuk menerjemahkan berbagai kalimat.

Itu artinya, tak boleh lagi ada Kenandra.

Itu artinya, ia tak boleh jatuh cinta pada Kenandra.

Itu artinya, ia harus menjauh dari pemuda itu.

Itu artinya, Papanya meminta Lea untuk membunuh Kenandra.

Dan itu juga artinya takdir memaksa Lea untuk membunuh perasaannya sendiri.

Tak ada lagi yang berbicara di antara ketiganya. Lea biarkan air mata yang tadi mendesak keluar, untuk tumpah dan pecah di lantai. Tubuhnya bergetar, ia terisak tanpa suara.

Lo hanya boleh ingat gue, bukan Mahesa.

Hari ini, hari pertama lo lihat gue sebagai Kenandra, bukan Mahesa.

Jangan pergi. Jangan berani-berani.

Kalimat demi kalimat Kenandra terputar dalam tempurung kepala Azalea. Menghantamnya tanpa ampun.

Sesak. Sesak sekali. Sakit. Sakit sekali. Ia lupa bagaimana caranya berbicara bahkan bernapas. Lea tak tahu bahwa sebegini menyesakkannya menyambut sebuah kehilangan.

Tangis yang sejak tadi ia tahan akhirnya pecah, Lea terisak di hadapan orang tuanya. Mengundang isakan yang lebih keras dari Maminya dan raut frustrasi Papanya.

Berkali-kali Lea memanggil nama Kenandra di sela-sela isakannya, namun lagi-lagi hanya detak jam yang menjawab panggilannya.

Ternyata, bukan hanya Mahesa yang tidak bersahabat dengan masa, namun mereka juga sama. Atau mungkin memang hanya manusia yang tak pernah mampu melawan waktu?

------

Glosarium:

MID : Multiple Identity Disorder, disebut juga sebagai DID atau kepribadian ganda.

Protector / helper personality: merupakan alter yang bertugas memberi nasihat pada alter yang lain, sering melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh inang.

------

A/n:

Hai!

Semoga part ini menjawab pertanyaan kalian ya!

Gimana part 30?

Kemarin ada yang ngeh ya, Rully keluar dari mana? Selalu dari pintu kaca.

Tambah lagi nih #TeamRully hoho.

Sampai di sini kayaknya udah pada ngerti dong alurnya?

Untuk yang nanya kenapa Ken bisa ketemu Mahesa, coba diingat-ingat dimana mereka ketemu. Ketika Lea berbelok dari parkiran (ada banyak mobil dan motor), ketika di toko pakaian (ada banyak kaca), ketika Esa melihat jendela. Dsb.

Gue bahkan udah kasih clue, waktu Ken telepon Lea, bilang dia lihat Mahesa di cermin. Xoxo.

Ya, sebenernya setahu gue nggak harus ada cermin juga, karena bentuk Ken hanya imajinasinya Mahesa. Dan memang sampai saat ini belum ada penelitian yang menjadi ilmu pasti dari penyakit ini.

Dah kejawab semua kan? Apa belum?

Semoga belum, dan semoga kalian masih mau tahu kelanjutannya. Karena...

Ada deh.

Yaudahdeh ya.

See u when i see u.

With love,

Innayah Putri.

----

Published 09.05.18

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro