28| Jawaban Sebuah Pertanyaan
I forgive you,
I love you.
Thank you,
I'm sorry.
(Davia Belinda)
⏱️
Hari ini Lea, Bryan dan Kania pulang lebih awal, karena dua mata kuliah mereka dirangkum menjadi satu pertemuan seminar. Jika bagi sebagian orang seminar membosankan, maka tentunya tidak bagi Kania dan Bryan. Bukan, bukan karena mereka rajin, tapi karena ada tiga keuntungan utama mengikuti seminar.
Pertama, mereka bisa diam-diam cabut kelas lebih cepat. Entah setelah absen, atau mereka bisa titip absen tanpa takut tercyduk.
Kedua, wah, siapa mahasiswa yang nggak tahu kalau seminar umum sama dengan konsumsi gratis? Bagi Kania dan Bryan adalah dosa besar menolak rejeki. Termasuk rejeki dari seminar gratis, ataupun rejeki dari Kenandra dan Mahesa Januar. Hehehe.
Ketiga, lihat lah lihat wahai saudara! Yang hadir di auditorium ini bukan hanya teman seangkatan mereka yang mukanya pada kusut bin lecek habis di hajar mata kuliah statistik, tapi juga kakak senior, mahasiswa fakultas sebelah, dosen muda sampai perwakilan UKM yang kadang-kadang punya wajah secerah masa depan mereka.
Heh, jangan protes, Bryan Tambayong dan Kania Santoso hanya optimis!
Tapi sepertinya sekeras apapun usaha Bryan dan Kania, mata-mata di ruangan ini hanya tertuju pada dua sosok yang duduk di depan kursi Bryan. Azalea dan Mahesa. Keduanya tampak serasi dengan pakaian berwarna senada. Memperkuat dugaan seisi kampus bahwa Mahesa akhirnya punya pacar.
"Pasti nanti malem @lambekampus rame lagi deh, K," Bryan mendesah pelan.
Mata Kania memindai seisi ruangan sebelum menganggukan kepalanya, menyetujui. "Ho'oh, tapi cocok banget sih, mereka kayak pakai baju couple tau, Ian."
Ngomong-ngomong soal pakaian, Kania langsung menoleh ke arah Bryan. Seperti baru tersadar sesuatu, matanya melotot takjub.
"Ian, kok gue baru sadar ya, hari ini lo pake baju ginian," Kania memindai tubuh Bryan dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. "Jadi kelihatan cowok banget!"
Bryan menyengir lebar. Meski sedikit gemulai, Bryan memang tak pernah mengenakan pakaian wanita, terutama di wilayah kampus. Namun hari ini pemuda itu tampak berbeda, jeans biru tua serta kaus oblong berwarna cerah yang biasa jadi ciri khasnya berubah menjadi ripped jeans dan kemeja hitam yang lengannya ia lipat sampai siku.
Pun dengan tas model selempang bahu yang biasa ia kenakan, kini diganti oleh ransel yang hanya disampirkan ke bahu.
"Lo sakit, Yan?" tanya Kania masih takjub. Bryan menggelengkan kepalanya.
"Enggak, nggak tahu kenapa gue inget Ken kemarin, dan gue jadi pengen pake baju kayak dia."
Mendengar kalimat Bryan, Kania justru lebih tercengang.
"Yan, fix lo kesurupan!" Kania berseru, tak peduli mata-mata mulai menatapnya ingin tahu. "Lo bahkan nggak pakai bahasa bencis lo!"
Bryan menggaruk tengkuknya kikuk, sebenarnya ada alasan sendiri mengapa ia berubah sedrastis ini. Perubahan ini pun tidak mudah, ia berlatih setiap malam dan hari ini adalah hari pertama ia menunaikan janjinya.
"Gue kasih tau lo, tapi janji jangan bilang Lea ya?" bisikan Bryan membuat Kania mendekatkan kepalanya.
Bryan menoleh ke kanan dan ke kiri sebelum mengeluarkan ponselnya dan membuka sebuah ruang pesan.
"Lo inget kan, K, kejadian yang Ken nyebur di taman."
Kania menganggukan kepalanya.
"Gue minta maaf sama Ken, gue pikir gue bakal di hajar, tapi ternyata..." alih-alih meneruskan kalimatnya, Bryan menunjukan layar ponselnya, membuat Kania mengernyit heran.
Ken: Ok. Lo gue maafin, tapi ada syaratnya.
Bryan Tambayong: Apa syaratnya?
Ken: Gue tau lo sebenernya nggak belok2 amat. Lo selalu kayak laki kalau lg panik. Jadi plis, nggak usah sok banci lagi, apalagi kalo depan gue, mulut gue suka gatel mau ngatain lo, tapi ntar Lea ngamuk ke gue.
Ken: Dan awas aja lo sampe berani bilang Lea, tewas lo besok!
"What?!" Kania tidak bisa menahan dirinya untuk tidak memekik, mengundang tolehan kepala dari peserta seminar lainnya.
Bryan mendelik sebal, tapi Kania buru-buru membungkam mulutnya. Beruntung Lea hanya melirik mereka sekilas, sebelum kembali sibuk mengobrol dengan Mahesa.
"Eh, sumpah ya Ian, gue nggak tahu kalau seorang Ken bisa... hm... gimana ya bilangnya? Perhatian?" Kania berbisik dengan suara ragu.
"Nah, kan, neik!" Bryan berdeham sesaat sebelum meralatnya. "K, maksudnya. Gue juga nggak nyangka dese bisa merhatiin hal kayak gitu."
Bryan berujar pelan dengan kalimat yang belepotan. Sungguh, bertahun-tahun berbicara dengan bahasa bencis membuat lidahnya kadang keseleo.
Meskipun sudah banyak orang yang mengingatkan Bryan tentang sikapnya, baik dengan cara halus atau kasar sekalipun, tak ada orang yang berhasil membuatnya tergerak, tapi entah kenapa Ken berhasil melakukannya hanya dalam satu percakapan.
Selain keluarga Azalea dan Kania tak seorangpun yang pernah menyadari sikap kelaki-lakiannya, tapi Kenandra menyadarinya. Membuat Bryan teringat bagaimana ia selalu ingin hidup sebagai satu sosok yang normal.
"Ian..." panggil Kania lirih, matanya tak lepas menatap dua punggung di depan mereka. "Entah kenapa gue merasa ada yang hilang sejak Ken marahan sama Lea, entah kenapa gue merasa Ken sebenarnya lebih dekat sama kita dari pada kembarannya, gue merasa..."
"...kangen sama Ken? Iya kan?" Bryan yang meneruskan. Kania menganggukan kepala sebagai jawaban.
"Sama K, dia kemana ya? Gue chat nggak pernah dibalas, padahal gue udah bilang hari ini gue pake baju dengan gaya dia."
"Semoga dia baik-baik aja ya."
"Iya, semoga Ken baik-baik aja."
⏱️
Selepas acara seminar, Esa tidak langsung mengantar Azalea pulang ke rumahnya, pemuda itu membelokan mobilnya, lalu terhenti pada pelataran parkir sebuah taman. Taman tempat Lea menunggu Esa sebelum pemuda itu menghilang tanpa jejak.
"Kita mampir dulu ya," ujar Esa seraya melepaskan seatbeltnya. Pemuda itu melempar senyum yang hanya dibalas lengkungan bibir sekilas dari Azalea.
Tak banyak yang berubah sejak terakhir mereka ke sini, bedanya suasana sore hari di taman lebih ramai oleh anak-anak dan keluarga. Tak ada live music dari pengamen jalanan seperti waktu itu, sebagai gantinya pedagang mainan dan jajanan berjejer di dekat pintu masuk.
Angin berhembus lembut, menyisir sela rambut Azalea, namun wajah gadis itu tampak datar. Sesekali ia memang melepas senyum, tapi tidak dengan matanya. Azalea dan Mahesa memilih menyingkir dari kerumunan.
"Thank you," ujar gadis itu seraya menerima kaleng minuman dari Mahesa. Azalea mengusap kalengnya tanpa minat.
"Sama-sama," kalimat Mahesa hanya dijawab oleh angin.
Sejenak tak ada yang berbicara di antara mereka. Keduanya membiarkan hening yang mengisi.
Lea melempar pandangan ke arah anak-anak kecil dan pedagang minuman di ujung taman. Taman ini adalah taman yang ia kunjungi bersama Mahesa, namun kenapa justru bayangan orang lain yang berdiam dalam benaknya.
Bayangan seseorang yang bangkit untuk membelikan minuman untuknya walau mereka tengah bertengkar.
Mahesa memperhatikan Lea lekat-lekat, sekilas senyum terbit di bibir gadis itu, tapi entah mengapa Mahesa tahu, Lea tidak tersenyum untuknya.
Sepasang kekasih melintas di atas aspal seberang kursi mereka, keduanya tampak terlibat perselisihan, sang gadis terdengar mengomel panjang lebar, pemuda di sampingnya pun sesekali menyahuti dengan kalimat tidak kalah ketus. Tapi tangan mereka berpegangan.
Seluruh senyum Lea surut dari bibirnya dan Mahesa menyaksikannya. Dengan jelas Mahesa tahu apa penyebabnya.
"Azalea," panggilan Esa sontak menarik lamunan Lea. Gadis itu menoleh tanpa mengatakan apa-apa.
Mahesa tiba-tiba berjongkok di depan Lea, kepala pemuda itu mendongak agar ia bisa menatap mata Lea. Lea menatapnya dengan pandangan bertanya.
Mahesa meraih tangan gadis itu, lantas berujar dengan nada pelan.
"Azalea, nyaris seluruh hal dalam diri saya adalah kekurangan. Saya tidak punya apa-apa, dan sayapun tidak bisa menjanjikan apa-apa. Saya tidak bisa menjanjikan hari besok, atau bahkan satu detik kemudian. Saya berusaha untuk tidak pernah berharap pada apapun atau siapapun, karena saya sadar, dunia tidak akan pernah bisa memilih saya, dunia tidak akan menerima kekurangan saya."
Napas Lea tertahan, ia tahu kemana arah pembicaraan ini.
"Tapi segalanya berbeda setelah saya bertemu kamu, tangan kamu adalah uluran tangan pertama yang saya terima. Hampir sebulan yang lalu, saya menyatakan perasaan saya di sini, dan sebulan yang lalu juga saya membiarkan kamu menunggu di taman ini..."
Kalimat demi kalimat yang Mahesa ucapkan berdengung di telinga Azalea. Terdengar semrawut karena gaungnya beradu dengan suara orang lain. Seseorang yang pernah memintanya tinggal di bawah naungan matahari terbenam. Seseorang yang menangis karena takut kehilangannya. Seseorang yang membacakan puisi Sapardi Djoko Damono di balik tubuhnya.
"Sampai hari ini, saya masih menunggu jawaban kamu Azalea. Jadi, apakah boleh saya memintanya sekarang?"
Mata Azalea terpahat lurus pada satu sosok di hadapannya, tapi pikirannya melanglang buana, berlari sambil mengobrak-abrik balok-balok ingatannya. Tentang puisi Sapardi Djoko Damono. Tentang Ken. Tentang punggung paling kesepian. Tentang Ken. Tentang matahari terbenam. Tentang Ken. Tentang laut. Tentang Ken. Tentang pakaian bermotif donat. Tentang Ken. Tentang topi berbentuk kucing. Tentang Ken. Tentang Dufan. Tentang Ken. Tentang Ken. Tentang Ken. Ken. Ken. Ken. Ken. Ken.
"Azalea, will you be my girlfriend?"
Mahesa mengulangi pertanyaannya waktu itu. Tapi lidah Lea kelu tak mampu bergerak, seolah seluruh suaranya telah ditarik paksa keluar. Ada gumpalan pahit terjebak di kerongkongan Lea. Tidak bisa. Ia tidak bisa menjawab apapun.
Mahesa menatapnya menunggu, namun sebagai jawaban air mata justru luruh dari sudut mata Lea. Pelan. Pelan. Sebelum akhirnya menjelma menjadi isakan tanpa suara.
Azalea jarang menangis, tapi entah kenapa air matanya mudah sekali meluncur hanya dengan mengingat nama seseorang. Ternyata, begini rasanya kehilangan seseorang yang belum pernah ia miliki; sakit yang tidak terdefinisi.
Mahesa menarik gadis itu menuju pelukannya, membiarkan Lea menggumamkan kata maaf berulang-ulang. Azalea menangis dipelukan Mahesa seraya menggenggam liontin cincinnya kuat-kuat.
Mahesa menghela napas pendek. Genap sudah kekalahannya. Tangisan Azalea adalah bentuk mutlak atas kemenangan Kenandra.
"Maaf," gumam Lea disela-sela isakkannya. Mahesa mengelus kepala gadis itu penuh sayang.
"Nggak apa-apa, setelah ini saya antar kamu bertemu Kenandra."
Senyum getir terbit di bibirnya. Kali ini, rasanya sulit sekali melapangkan dadanya.
Mahesa sudah tak punya kesempatan.
Ia memang seharusnya tak pernah berharap pada siapa-siapa.
————
A/n:
Hola!
Gimana gimana part 28?
Itu Mahesa baiknya udah bener-bener yah, yakin nggak mau pindah kapal?
Satu part terakhir sebelum ...
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Ada deh. Hahahhaha.
Yaudah dey, see u when i see u.
With love,
Innayah Putri
—————
01.05.17
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro