Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

26 | Dia Kembali

They leave,


and act like it never happened.

They comeback,

and act like they never left.

(Rupi Kaur)


Pemuda itu tak tahu sudah berapa lama ia terpejam. Sudah berapa kali matahari terbit dan terbenam. Sudah berapa waktu yang ia lewatkan tanpa membuka matanya. Ingatan terakhirnya terhenti pada ruang gelap yang tak membiarkannya untuk melihat cahaya.

"Tuan Mahesa bangun!" seruan itu terdengar samar di telinganya, langkah kaki serta roda yang beradu dengan lantai, semrawut mengisi gendang telinganya.

Seorang dokter menghampirinya, mengecek seluruh stabilitas organ tubuhnya. Esa mengerang saat merasakan sakit luar biasa di kepalanya.

"Mahesa?" suara bernada ragu itu terdengar familier di telinga Esa.

Pemuda itu menoleh, hanya demi menemukan Prama yang menatapnya dengan sorot yang sulit ia artikan. Di belakang Prama, Satria berdiri tegak dengan raut datar.

Tanpa dapat dicegah otaknya otomatis mengingat sosok terakhir yang dilihatnya di ruangan gelap beberapa waktu silam. Ia tak di pukul di sana, ia tidak di siksa di sana, namun ia dibunuh secara perlahan.

"Om..." suara Mahesa terputus. Seperti seorang Ayah terhadap anaknya, Prama meraih Mahesa ke pelukan.

"Om tidak akan melepaskan tanganmu lagi, om janji."

Mahesa tak mengerti apa yang dimaksud Prama, ia hanya mengangguk dengan pipi yang basah.

⏱️

Tiga hari berlalu sejak pertemuan terakhir Lea dengan Kenandra, namun keduanya masih berkeras kepala untuk tidak saling menghubungi. Setidaknya itulah yang dipikirkan Lea, Kania juga Bryan.

"Le, coba deh yey yang ngalah sesekali," ujar Bryan berusaha membujuk Lea. Lea menatap Bryan datar, lantas mengabaikannya begitu saja.

Bryan dan Kania hanya menghembuskan napas, lalu menggelengkan kepala. Pasalnya, mereka tahu bukan hanya Ken yang membutuhkan Lea, namun Lea juga mulai menyukai Ken.

Buktinya, sudah beberapa hari ini Lea tampak murung, dibanding ke Kantin, Lea lebih sering menghabiskan waktunya di Perpustakaan.

Gadis itu tengah berusaha mencari kesibukan, buku apapun Lea baca, meski pada akhirnya Bryan dan Kania tetap menemukannya termenung menatap ponsel.

"Kalau dia merasa bersalah, dia yang akan ngehubungin lebih dulu," ujar Lea pura-pura tak peduli.

"Tapi Le... apa lo nggak merasa bersalah juga udah ngebandingin dia sama Mahesa?"

Lea terdiam.

⏱️

Mahesa duduk di atas kursi roda, menatap kosong ke arah jendela rumah sakit. Pemuda itu tak percaya bahwa dirinya masih bisa bangun. Ketika ia terbangun dalam ruangan gelap beberapa minggu lalu, ia pikir ia hanya akan kembali terbangun jika malaikat maut yang memanggil namanya.

Namun ternyata Tuhan masih cukup baik padanya.

Gerakan matanya terhenti pada satu sosok yang baru saja muncul. Mahesa sontak memundurkan kursi rodanya sebagai bentuk waspada. Membuat Ken tersenyum getir.

Mahesa tak perlu takut padanya kali ini, karena ia datang tanpa maksud apa-apa.

"Kamu..." suara Mahesa tersekat, tapi ia tak dapat melanjutkan kalimatnya. Ken tidak seperti biasanya, wajah pemuda itu tampak letih dan layu.

"Santai, gue lagi nggak bawa bom kok," ujar Ken santai. Ia menatap Mahesa, lalu tersenyum miring. Betapa lemah pemuda itu, Esa bahkan tak mampu menanggung lukanya sendiri sehingga Kenlah yang harus bertanggung jawab atas segala sakitnya.

"Ke...napa?" tanya Esa terpatah.

"Gue yang harusnya tanya kenapa, kenapa lo harus ketemu Lea? Kenapa lo harus menghalangi gue untuk bisa sama-sama sama dia? Gue yakin lo tahu apa artinya dia buat gue!" seru Ken marah, tapi ia tak membanting apapun kali ini. Ia hanya  menatap Mahesa penuh kecewa.

Mahesa diam, tak mampu menjawab apapun. Matanya menyelidik, menebak ke arah mana Ken akan menyerangnya.

"Lo jatuh cinta sama dia, iya?!" tanya Ken setengah membentak.

Mahesa memejamkan matanya, mengumpulkan kekuatannya. Dengan suara tegas, ia menjawab pertanyaan Ken.

"Iya, saya jatuh cinta sama dia, dan saya akan melakukan apapun untuk melindungi dia dari kamu!" Mahesa tersengal, matanya menatap Ken marah.

Namun Ken justru tertawa geli, sangat geli.

Lucu. Lucu sekali.

Mahesa mau melindungi Azalea? Tak sadarkah pemuda itu bahwa dirinya senditi butuh dilindungi?

Ken tertawa begitu keras hingga sudut matanya berair, begitu keras hingga ia merasa kelelahan, begitu keras sampai akhirnya ia jatuh tersungkur.

Ken menunduk menatap lantai, pemuda itu tampak frustrasi.

"Kenapa kalian semua berpikir kalau gue akan menyakiti Lea? Gue nggak pernah sekalipun menyakiti dia," suara Ken terdengar lirih, beradu dengan angin dari pendingin ruangan.

Mahesa hanya diam, memperhatikan. Seumur hidupnya mengenal Kenandra, ia tak tahu bahwa Kenandra bisa luruh seperti ini. Pemuda itu terlalu kuat untuk terjatuh.

Hanya lima belas detik waktu yang diizinkan Ken untuk menunjukan kerapuhannya di depan Mahesa. Ia perlu tegap di depan lawan, tak ada yang boleh tahu kekalahannya.

Ken menebas jarak di antara mereka, lalu membungkuk agar manik matanya sejajar manik mata milik Mahesa. Kalimatnya setelah ini akan menjadi maklumat tidak terbantahkan.

Mahesa balas menatap Ken nyalang. Ia abaikan seluruh simpatiknya saat melihat luka di mata Ken.

"Oke kalau begitu," Ken menjeda sejenak  membiarkan Mahesa menikmati kegugupannya. "Mulai sekarang kita benar-benar lawan. Nggak perlu orang lain yang membunuh. Ayo, kita lihat siapa yang akhirnya harus mati."

Tepat setelah mengatakannya, Ken pergi.

Udara terasa pengap. Panas dingin di tubuh Mahesa membuatnya menggigil. Butuh beberapa detik bagi Mahesa untuk mendapatkan kesadarannya.

Esa terdiam cukup lama, ia tahu perang ini nyaris mustahil ia menangkan.

Pada akhir cerita, kemungkinan besar ia yang akan mati, atau justru sebaliknya...

Mungkin mereka berdua yang akan mati.

Mereka berdua.

⏱️

Lea duduk di atas tempat tidurnya, menatap ponselnya yang masih setenang sebelumnya. Tak ada pesan masuk dari Ken, tak ada telepon dari Ken.

Padahal biasanya Lea sampai jengah sendiri menghadapi rentetan pesan dan telepon dari cowok itu.

Lea tersenyum sedih, ia harus mengakui, ia merindukan suara pemuda itu. Lebih dari pada dulu ia merindukan suara berat Mahesa.

Kalimat Kania siang tadi bergantung di kepalanya, membuat kemarahannya perlahan menyurut ditelan rindu. Kania benar, ia terlalu marah sehingga tak menyadari bahwa ia juga salah membandingkan Ken dengan Mahesa.

Ia salah karena berkeras kepala tanpa mau mendengar penjelasan pemuda itu. Ia salah karena mengabaikan fakta bahwa sehari sebelumnya, Ken tampak begitu kacau.

Ia sibuk cemburu sampai ia tak sadar kalau Ken mungkin tengah membutuhkannya.

Lea meraih ponselnya, mengetikkan beberapa kalimat namun langsung menghapusnya saat membaca ulang pesan tersebut. Permintaan maaf, kata-kata penuh kekhawatiran, omelan karena Ken tidak menghubunginya pun tak pernah jadi terkirim. Ia terus mengetik lalu menghapusnya.

Sampai akhirnya, hanya sebaris kata yang ia kirimkan sebagai pesan permintaan maaf.

Azalea P: Ken, are u okay?

Pesan itu terbaca, namun tidak terbalas.

Pesan itu tidak akan pernah terbalas.

⏱️

Lebih dari seminggu berlalu sejak Azalea kehilangan sosok Kenandra dari sisinya. Gadis itu masih berusaha tampak baik-baik saja, gengsinya mengalahkan rasa ingin tahunya. Ketika pesannya malam itu tak terbalas, maka genaplah ia menyimpan rapat-rapat segala khawatirnya.

Ken dan Lea telah selesai, bahkan sebelum sempat mereka memulai. Kapalnya karam sebelum berlayar.

Meskipun Lea berusaha tak acuh, Bryan dan Kania tahu bahwa sebenarnya Leapun sedang goyah. Tak terhitung lagi berapa kali mereka memergoki Lea menatap kosong ke arah ponselnya, bersembunyi di perpustakaan seraya mengelus cincin yang menggantung di kalungnya.

Tapi Lea tetaplah Lea, gadis itu terlalu keras kepala untuk mencari tahu.

Siang itu, mereka bertiga duduk di kantin kampus. Lea mengunyah makanannya tanpa minat, matanya menatap kosong ke satu arah. Ke kursi yang pernah ia tempati bersama Kenandra.

Bryan dan Kania saling melemparkan tatapan bingung, tapi tak bisa apa-apa, karena mereka tahu Azalea takkan mendengarkan saran mereka.

Lea menghela napas pelan, lalu merapihkan barangnya. "Ian, Kania, gue balik duluan ya, nggak enak badan."

"Mau di anter nggak Le?" tanya Bryan khawatir. Lea hanya tersenyum, lalu menggelengkan kepala. Ia hanya ingin sendirian.

Menyusuri koridor menuju gerbang kampus, Lea menyeret kakinya susah payah. Ia tak tahu apa yang salah dengan dirinya, hanya saja sesuatu terasa berat di dadanya. Taman, kantin, pelataran parkir menjadi tempat-tempat yang membuat ingatannya terseret pada satu nama; Kenandra Januar.

Dan Lea lelah memikirkan pemuda itu.

Berbelok dari parkiran, langkah Lea harus terhenti ketika matanya menangkap sosok seseorang yang menatapnya. Pemuda itu berkulit pualam, matanya hitam segelap batu obsidian, tapi ia memiliki senyum yang hangat. Ia tak mengenakan pakaian bermotif lucu, atau jaket kulit berwarna hitam.

Ia tak menatapnya dengan tatapan nyalang.

Ia Mahesa Januar, bukan kembarannya.

Lea tak tahu apa yang terjadi, namun dadanya menyempit melihat Esa berdiri di ujung sana. Tenggorokannya tersekat, dan air mata tiba-tiba menggenang di pelupuk matanya.

Sungguh saat itu dadanya sesak, dan otaknya terasa ingin meledak. Lea membiarkan hatinya yang menuntun seluruh syarafnya, mengabaikan logika berpikirnya.

Tanpa diperintahkan tubuhnya berlari ke arah pemuda itu, berhambur ke pelukan Mahesa. Semua hal yang ia simpan selama ini meledak di saat yang tepat. Kemarahannya pada Kenandra, kekhawatirannya pada Mahesa, ketakutannya pada Kenandra, kegelisahannya atas hilangnya Mahesa. Semua meledak dalam rangkuman lengan Mahesa.

Lea menangis terisak, tanpa menjelaskan apa-apa.

Mahesa membalas pelukan itu canggung. Sebagai orang yang sudah lama tidak bertemu, pelukan ini tentu sesuatu yang tak pernah ia duga.

Mahesa mengusap lembut rambut Lea, tak henti-hentinya membisikan kalimat serupa:

"It's okay, i am here."

Azalea tak tahu, bahwa ketika Mahesa mengangkat kepalanya, pemuda itu sontak membeku.

Seseorang berdiri di sana, beberapa meter di belakang Azalea, menatap keduanya dengan sorot yang terluka.

Lewat tatapan mata, Mahesa dan Ken berbicara. Tanpa kata-kata, Mahesa menyatakan kemenangannya.

Ken meremas tangannya, tapi ia tak berdaya. Telah jelas siapa yang Azalea pilih, dan menyedihkannya ia tetap menjadi sosok yang hanya bisa menatap punggung.

Mahesa mempererat pelukannya, membuat pisau yang menancap di dada Ken terhujam semakin dalam.

Ken membiarkan setetes air mata meluncur dari sudut matanya.

Untuk kesekian kalinya, ia bukan pilihan.

————
A/n: Hola!

Gimana part 26?

Ada yang masih nungguin nggak, sih?

Esa comeback coy!

Gimana?

#TeamEsa?

#TeamKen?

#TeamBryan?

Setelah ini kita bakal lari marathon, alurnya bakal ngebut dan bikin capek. Gue sih yang capek, nulisnya ngos-ngosan, nggak tau kalian bacanya suka ikut tahan napas apa enggak.

Yaudahlah itu aja dulu.

Jangan lupa ikutin ceritaku dan High School Series lainnya di akun wattpad (at)beliawritingmarathon.

Salam sayang,

Innayah Putri.

Bekasi, 24 April 2018.

P.s: Dengerin lagunya yang di mulmed deh, Ken banget.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro