Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

24 | Seseorang Di Tengah Kerumunan

I thought,

I knew what

real pain felt like,

but I didn't

untill I saw the way

you looked at her.

(a)

⏱️

Ken merebahkan diri di ruang tengah apartemennya. Tangannya bergerak menggeser layar pada ponselnya. Lalu, sebentuk senyum terkembang saat sebuah pesan masuk ke benda pipih tersebut.

Azaleaku: Udah sampe?

Kenandra: Udah. Kenapa khawatir?

Azaleaku: GR! Udh ah gue mau tdr bsk sibuk. Bye!

Setelah membuang ponselnya ke sembarang tempat, pemuda itu memejamkan matanya dengan senyum melengkung di bibir.

Dua hari berlalu sejak kejadian di taman sore itu. Ken tak tahu apa efek dari kejadian tersebut, apa taman itu memiliki kekuatan magis, atau keisengan Bryan membuat Lea merasa bersalah padanya, namun yang jelas sejak hari itu Lea jauh lebih perhatian.

Setidaknya, Lea tidak ragu menanyakan keberadaannya setelah ia mengantar gadis itu pulang ke rumah.

Selain itu, keajaiban lainnya adalah Bryan bisa pulang dengan selamat tanpa lebam apapun selepas ulahnya di taman. Meski setelahnya, Ken membuat sebuah kesepakatan rahasia dengan pemuda itu.

Senyum Ken belum luput dari bibirnya ketika sosok Rully muncul dari balik pintu. Seperti biasa pemuda itu mengenakan kemeja denim yang lengannya di lipat sampai siku. Rambutnya yang hitam jatuh tepat di atas kulit pualamnya.

Pemuda itu menjatuhkan diri di atas sofa, seraya menggelengkan kepala.

"Lo udah gila senyum-senyum sendiri?" tanya Rully sembari mengambil bir kalengan di atas meja.

Ken tertawa geli. "Ngatain gue gila kayak lo sendiri waras aja, inget Rul, kita sama, biasa dipanggil orang gila."

Rully mengangguk membenarkan. Ia menghirup birnya sebelum menenggaknya, rasa pahit yang terkecap dilidahnya tentu tak pernah sebanding dengan realita di depan matanya.

"Lo nggak capek Ken begini terus?" pertanyaan Rully membuat Ken menolehkan kepalanya.

"Maksudnya?"

"Iya, lo nggak capek begini terus?" kata begini yang ditekankan Rully membuat Ken mengerti arah pembicaraan mereka.

Ken tersenyum, tapi sebersit kesedihan terbit di mata gelapnya. "Gue masih bisa bertahan, Rul."

"Lo udah ketemu Prama di rumah Lea kan?"

"Cuma hari pertama, sisanya gue lebih sering ketemu Tante Kinara," jelas Ken. Ia tentu tak perlu menceritakan pada Rully bahwa besok atau lusa-atau kapanpun ketika ia sudah cukup siap-Ken akan mendatangi Prama, meminta pria itu memaafkannya, mengemis agar pria itu bisa berada di pihaknya.

"Udah dengar kabar Mahesa?" pertanyaan Rully yang tiba-tiba berbelok membuat Ken bangkit dari posisinya, ia berbalik agar bisa menatap wajah Rully.

Kedua pemuda itu kini dalam posisi serius, dimana dua tangan terpaut di atas lutut, dengan kepala yang maju satu sama lain.

"Kenapa? Lo dengar kabar apa?" tanya Ken. Ada kekhawatiran dalam nada suaranya.

"Nggak, cuma feeling," ujar Rully menggantung kalimatnya. "tapi Mahesa udah terlalu lama menghilang, meskipun kita semua, termasuk Om Prama tahu dia dimana, gue rasa kali ini Om Prama bakal melawan."

"Maksudnya?"

"Prama mungkin berniat membawa Mahesa pulang."

Kata pulang yang Rully ucapkan membuat Ken otomatis tersentak, tubuhnya mundur, matanya menatap Rully tak percaya.

Keduanya terpekur, sibuk dengan pikiran masing-masing. Alkohol untuk Ken atau perempuan bagi Rully sekalipun takkan mampu membantu keduanya untuk mengenyahkan badai di kepala mereka.

Perang mungkin ada di mulai. Jika biasanya mereka akan berdarah-darah mengahadapi kehilangan, maka badai kali ini akan bergerak begitu lambat, pisau yang kelak ditusuk oleh Ayahnya, Prama atau orang lain tak akan lagi menghujami mereka tanpa ampun, namun akan di tusuk ke jantung mereka dengan gerak yang lebih pelan.

Perang ini, mungkin akan membunuh mereka secara perlahan-lahan.

Perang ini takkan hanya melukai Ken, atau atau Mahesa. Perang ini mungkin juga akan menghancurkan seorang Azalea.

⏱️

"Le, yey yakin nggak mau ikut? Seru banget pasti acaranya nih," Bryan berceloteh heboh, membicarakan salah satu ulang tahun selebgram kampus yang akan di gelar di Nine to Six, satu-satunya bar yang pernah Lea kunjungi dan membuat Lea bersumpah untuk tidak pernah mengunjungi tempat seperti itu lagi seumur hidupnya.

"Lo mau gue colok pake garpu?" Bryan Tambayong mengerutkan hidungnya tak suka mendengar ancaman Lea.

"Udah deh Ian, kita aja, lo kalo ngajak Lea lagi memang nggak takut yang itu ngamuk?" Kania melirik Ken yang duduk di samping Lea. Pemuda itu tampak melamun sehingga tak mendengarkan apapun isi pembicaraan mereka.

Bryan merapatkan bibirnya, tak ingin cari masalah lagi.

"Ken," Lea memanggil Ken dengan nada lembut, namun pemuda itu masih tenggelam dalam dunianya.

"Kenandra!" kali ini Lea memanggil pemuda itu seraya menepuk lengannya, menyeret Ken melompat dari lamunannya.

"Eh, kenapa? Udah mau pulang?" tanya Ken kebingungan. Siang ini mereka bertiga memang duduk di kantin bersama kampus Lea. Namun sejak tadi, hanya Bryan dan Kania yang memesan makanan, sementara Lea dan Ken hanya memesan segelas es jeruk.

Sadar bahwa ada yang salah dengan Ken, Lea mengajak pemuda itu pulang. Tidak seperti biasanya, Ken langsung setuju tanpa protes karena waktunya dengan Lea hari itu menipis.

"Lo nggak papa, Ken?" Beberapa lama diam, akhirnya Lea bertanya juga. Saat ini, mobil Ken sudah melaju di atas jalan raya, lajunya lambat dan terkendali. Lagi-lagi tak seperti Ken yang biasanya.

"Nggak papa."

Jawaban Ken justru semakin membuat Lea yakin bahwa pemuda itu tak baik-baik saja. Biasanya, Ken akan sangat percaya diri, berkoar bahwa Lea pasti mengkhawatirkannya. Namun sekarang tidak, mata Ken hanya fokus pada jalan di depannya. Pemuda itu bahkan tidak menoleh hanya sekadar untuk melihat wajah Lea.

"Kalau ada yang perlu lo ceritain cerita aja."

Ken menggelengkan kepalanya tegas. "Nggak ada yang perlu gue ceritain."

Lea menghembuskan napas pelan.

"Yaudah kalau begitu." Untuk beberapa saat Lea mengalah. Tapi ia tak bisa diam melihat Ken yang seperti ini. Pemuda itu tampak tengah memikul segunung beban pada kedua pundaknya.

"Atau nanti lo cerita sama Papa aja, kayaknya hari ini Papa makan siang di rumah deh." Kalimat Lea sontak membuat Len menginjak rem keras-keras.

Tubuhnya mungkin saja terlempar ke dashboard kalau lengan Ken tak cepat menahannya.

"Ken!" Lea berseru protes, namun Ken tampak tak menghiraukannya.

Tangan pemuda itu mencengkram stir kuat-kuat, sementara kepalanya ia benamkan di atas roda kemudi.

"Ken, lo kenapa?"

Ken masih tidak menjawabnya, keringat sebesar biji jagung jatuh dari pelipis pemuda itu. Ketika Lea hendak menyentuhnya, Ken menyergah tangan Lea cepat.

"Ken, apaan sih!"

Lea yang tak tahu apa yang tengah terjadi semakin kebingungan, terlebih saat Ken turun dari mobil lalu membuka pintu di samping kursi Lea.

"Turun," ujar Ken dengan nada dingin. Rahang pemuda itu mengeras, begitu pula raut wajahnya.

Lea tak membantah, ia menuruti Ken yang menyeretnya keluar dari mobil. Sekasar-kasarnya seorang Kenandra, pemuda itu tak pernah menggenggam tangan Lea sebegini kerasnya. Namun Lea tak lagi protes, otaknya sibuk memilah berbagai kemungkinan yang masuk ke dalam otaknya.

Tangan Ken, walau mengenggam tangan Lea sebegitu keras namun tetap terasa dingin dan sedang bergetar. Apalagi raut wajahnya yang begitu gelisah.

Pemuda itu menyetop taksi kosong yang pertama melintas di hadapan mereka. Setelah yakin bahwa Lea sudah aman di dalam, Ken menyerahkan beberapa lembar uang pada supir di depannya seraya menyebutkan alamat rumah Lea.

Tepat sebelum Ken menutup pintu di sampingnya, Lea menahan pergelangan tangan Ken.

"Ken, lo kenapa?" tanyanya lirih. Jelas ada kekhawatiran di sana.

Ken terdiam sebentar, ia tersenyum kecil lalu mengelus rambut Azalea lembut. "Gue nggak papa."

Hanya kalimat itu yang Ken ucapkan sebelum menutup pintu, dan meminta supir taksi itu melaju dengan hati-hati.

Lea menggigit bibir bawahnya, namun ia tak menemukan petunjuk apapun atas kejanggalan sikap Ken hari ini.

Tapi yang jelas Lea mengetahui satu hal.

Ken tidak baik-baik saja.

⏱️

Lea terbangun dalam sebuah ruang gelap. Ruangan yang sama dengan mimpinya beberapa waktu lalu. Tapi seiring langkah yang ia ambil, ruangan itu perlahan mulai berubah menjadi ruangan putih yang menyilaukan.

Butuh beberapa detik bagi matanya untuk beradaptasi dengan cahaya.

"Azalea," suara familier itu menyentak Lea. Ia menoleh hanya demi menemui sosok Mahesa Januar berdiri di sana. Pemuda itu tampan seperti biasanya. Pakaiannya yang berwarna putih bersih melekat erat pada tubuhnya.

Mahesa mengulurkan tangannya, tersenyum pada Lea penuh kedamaian. Seperti serbuk baja yang tertarik besi berani, kaki Lea melangkah menuju Esa tanpa komando.

Namun, ketika tangannya sudah berada dalam genggaman tangan pemuda itu, Lea mendengar suara rintihan dari sisi yang berbeda.

Lea menoleh, lalu tersentak saat menyadari sisi lain ruangan ini mulai dilahap oleh gelap. Di tengah kegelapan itu, Ken berdiri seraya mengulurkan tangannya. Matanya memohon pada Lea untuk bisa diselamatkan.

"Ken!" Lea memekik saat melihat tubuh Ken yang juga perlahan di telan oleh gelap.

Ken tidak menyahutnya, Ken hanya menatapnya nanar, seraya terus mengulurkan tangannya.

Lea ingin berlari, namun kakinya seperti terpaku pada bumi.

"Ken, jangan pergi, Ken!" seperti Ken yang pernah memohon padanya untuk tidak pergi, kini Lea justru tengah melakukannya.

Gadis itu memaksa kakinya untuk bergerak. Ia berusaha mengejar bayangan Ken yang perlahan semakin hilang ditelan oleh gelap. Lea terus berlari, walau berulang kali ia terjatuh.

Ken menggelengkan kepalanya. Pemuda itu tak ingin melihat Lea kesakitan. Tak apa ia hilang. Tak apa ia lenyap. Tak apa ia mati. Asalkan Lea baik-baik saja, Kenandra sungguh tak apa-apa.

Tapi Lea keras kepala. Ia terus mengejar, bahkan ia merangkak, menyeret tubuhnya agar bisa meraih tangan pemuda itu.

Namun sayang, ia tetap kalah cepat. Gelap menelan Ken terlampau lekas.

Dan satu-satunya yang dapat Lea lakukan adalah terisak dalam ruangan hampa.

⏱️

"Ken!" jeritan Lea di sahut oleh hening dalam kamarnya sendiri. Butuh beberapa detik baginya untuk menyadari bahwa apa yang ia saksikan hanyalah sebuah mimpi di pertengahan malam.

Lea menghela napas berat, lalu menyeka air mata yang tersisa di pipinya. Lea meraih ponselnya, masih pukul sepuluh malam, artinya baru dua jam setelah ia terlelap tidak sengaja.

Lea menghembuskan napas berat saat melihat masih tak ada satupun pesan yang masuk dari Ken, pesan yang ia kirimkan masih tidak terbalas.

Dengan langkah berat Lea melangkahkan kakinya menuju lantai bawah. Lea menenggak air putih seraya mengecek akun Instagramnya. Ia mencibir saat menemukan nyaris seluruh teman kampusnya sedang berpesta di Nine to Six, tak terkecuali duo maut Kania Santoso dan Bryan Tambayong.

Lea baru ingin kembali ke kamarnya, kala langkahnya terhenti di pintu ruang keluarga. Sudah pukul sepuluh malam, tapi Papa belum pulang dan Mami malah duduk sendirian di ruang keluarga.

"Mami," panggilan Lea membuat Kinara tersentak di tempatnya. Wanita itu buru-buru menutup album di tangannya, lalu mengusap air matanya.

"Tadi Mami liat kamu udah tidur Le," ujar Kinara seraya menggeser tubuh, memberikan tempat untuk Lea duduk di sampingnya.

Mata Lea tertumbuk pada kotak sepasang boneka yang luput Kinara sembunyikan.

"Ih, Mami, ini mainan siapa?" tanya Lea heran. Matanya menyipit, melihat boneka tersebut. Boneka ini tampak familier.

"Kamu nggak ingat itu mainan siapa?" tanya Kinara hati-hati.

"Enggak," Lea menggelengkan kepala sambil meneliti kedua boneka tersebut. Entah mengapa ada rindu yang merayap di dadanya.

"Lea, itu kan mainan-" kalimat Kinara terpaksa terputus saat ponsel Lea berdering nyaring.

Gadis itu merenggut saat membaca nama Bryan tertera di sana. "Sebentar ya Mi, vokalis Radja nelepon."

Kinara tertawa renyah sambil mengibaskan tangannya, mengizinkan Lea untuk mengangkat panggilan.

"Ha-"

"Cyin! Sumpah nek! Lo harus tahu gue ketemu siapa di sindang!" suara Bryan yang berteriak terdengar di antara riuhnya musik. Atmosfer kelab malam terdengar di ujung sana.

"Siapa? Si Johan musuh lo sepanjang masa, selebgram yang akunnya udah ceklis biru, apa bouncer Adam Levine kw super?" tanya Lea tanpa minat. Siapapun diantara ketiganya bukan hal yang penting bagi Lea.

"Ish! Serius Le! Di sini ada Ken!" teriakan Bryan sontak membuat Lea mematung.

"K...en?" tanya Lea tak percaya.

"Ho'oh! Yakin eike ini Ken bukan Mahesa."

"Kenapa lo seyakin itu?"

"Tadi kak Bella nyapa, dan dese kayak nggak kenal gitu, tapi Le..." Ada jeda cukup panjang sebelum Bryan mulai melanjutkan ceritanya. "Dia sama cewek bule, dan sekarang lagi mabuk."

Napas Lea tersekat mendengar kalimat Bryan. Ingatannya berlari pada gadis ekspatriat yang ia temui beberapa waktu silam, sebelum ia mengenal Kenandra secara pribadi.

"Gue ke sana sekarang," ujar Lea sembari melangkah cepat menuju kamarnya, ia bahkan melupakan eksistensi Maminya.

"Eh, Le, jangan, nanti yey pingsan lagi."

"Gue harus ke sana Ian."

"Buat apa? Yey mau ngamuk sama dese? Karena takut dese bikin nama Esa jelek, atau karena yey cemburu dese deket-deket sama yang lain?" Kalimat Bryan sontak menghentikan langkah Lea, gadis itu membeku untuk beberapa saat.

Seharusnya, Lea dengan yakin menjawab bahwa ia melakukannya untuk melindungi nama baik Mahesa, namun kali ini ia tak bisa menjawab hal tersebut. Lidahnya kelu, dan dadanya sesak tanpa sebab.

"Pokoknya, gue ke sana sekarang," putus Lea akhirnya. Gadis itu mematikan ponselnya lalu menyambar jaket dan dompetnya.

Apapun alasannya, yang jelas Lea hanya merasa ia perlu berada di sana.

⏱️

Seperti yang sudah-sudah, suara musik yang berdentum keras, bau alkohol dan orang yang bergoyang seperti tak mengenal peradaban masih menjadi hal yang paling Lea benci.

Namun tekadnya sudah bulat, ia tak goyah untuk menemukan Kenandra dan menyeretnya pulang.

Lea baru ingin mencari keberadaan Bryan dan Kania ketika matanya secara otomatis terhenti pada satu sosok. Seperti dua magnet berbeda kutub, matanya dan sepasang manik mata milik seseorang di ujung sana berhenti hanya untuk mengunci bayangan satu sama lain.

Lea tersekat, dadanya mendadak ngilu ketika ia mengenali sosok tersebut. Pemuda itu, pemuda yang sejak tadi ia tunggu kabarnya. Pemuda yang sejak tadi mengambil alih seluruh ruang dalam kepalanya. Pemuda yang ia kejar di dalam mimpinya.

Di ujung sana pemuda itu menatap Lea nanar, namun lengannya masih melingkar di bahu seorang gadis. Gadis yang sama yang Lea temui beberapa bulan lalu di toilet kelab malam ini. Gadis ekspatriat dengan gincu berwarna merah menyala.

Lea ingin berlari ke sana, menghajar kepala Ken dengan botol-botol minuman yang berada di atas meja bar. Namun ia tak bisa. Kakinya tak mampu bergerak. Begitupun dengan napasnya yang seolah tertahan oleh sekat tak kasat mata.

Seluruh syaraf Lea mengkhianati perintah otaknya.

Sekilas gadis bule itu berbisik di telinga pemuda bermata gelap tersebut, pemuda itu menganggukan kepala. Mereka berdua mulai menjauhi kerumunan.

Dada Lea menyempit saat ia melihat Ken yang menatapnya dengan tatapan nanar. Pemuda itu memeluk gadis ekpatriat tadi, membiarkan gadis itu membawa dirinya menjauh dari jangakauan Lea, sementara mata hitamnya tak lepas menatap mata Lea.

Mata hitam itu, tak lepas menatap manik mata Lea.

-----
A/n: Yea, nggak update seminggu ada yang kangen nggak?

Nyep! Ken kenapa itu hayo?!

Yang udah nebak, simpen aja ya tebakkannya.

Sebentar lagi kita bunuh-bunuhan. Kira-kira, siapa aja yang dimatiin ya?

Anyway, ada yang ngikutin High School Series di akun (at)beliawritingmarathon?

Aku dan 8 penulis wattpadnya menulis kisah khusus di sana.

Yuk ikut baca!

Yaudah dey itu aja.

Sampai bertemu di part-part selanjutnya.

With love,

Innayah Putri.

Sekalian follow instagram (at)ranggadeww dan (at)iriskasmira.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro