Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

23 | Pemuda Itu Menangis Untuknya

"What are you most afraid of?"

"Losing you."

(Unknown)

Sejak Bryan dan Kania membawanya ke rumah Lea seminggu yang lalu, Ken seperti punya keluarga baru. Hampir setiap hari Kinara meleponnya sekadar mengundang Ken untuk datang atau mengingatkan makan malam.

Hal itu tentu saja menjadi hal yang baru bagi Kenandra. Ia yang terbiasa hidup sendirian, kini punya seseorang yang sibuk merecoki ponselnya dengan pesan-pesan singkat.

Ken bahkan nyaris melupakan kepentingannya untuk merebut hati Lea. Perhatian dari Mami membuat Ken semakin terlena hingga ia berharap masa bisa selamanya bersahabat dengannya.

Tak apa jika detik tak lagi berdetak, atau bumi tidak berputar, selama ia bisa merasakan hangat yang seperti ini, maka ia bersedia menukarnya dengan seluruh sisa umurnya.

Seperti saat ini, ia sedang duduk menikmati makan siang di rumah keluarga Ilyas. Ini mungkin kesekian kalinya Ken berada di rumah Lea tanpa keberadaan gadis itu di sisinya. Kesibukan Lea, Kania dan Bryan di pekan kuis harus membuat Ken rela bertemu gadis itu hanya di waktu-waktu tertentu.

Ken menoleh ke arah kursi kepala keluarga, lalu meringis saat mengingat pertemuannya dengan Prama di hari pertama ia datang ke sini.

Pria itu tampak terkejut melihat kehadirannya, namun dengan lihai keduanya berperan seperti dua orang asing yang baru saling mengenal.

Setiap mengingat keberadaan Prama, rasanya Ken ingin mengantukan kepalanya ke dinding. Mami mungkin bisa dengan mudah ia taklukan hatinya, Bryan dan Kania cukup bisa diandalkan hanya dengan gesekan kartu, tapi kalau Prama Ilyas?

Ken mau mati kalau mengingat bagaimana sikapnya kepada pria itu. Mahesa tentu saja tak pernah berniat memukul Prama seperti dirinya kan?

Ken menjambaki rambutnya frustrasi. Sepertinya, ia harus melakukan sesuatu untuk mengambil hati Prama.

"Ken?" suara riang Mami sontak membuyarkan lamunan Ken. Pemuda itu tersenyum melihat Kinara Ilyas yang sudah berdiri depannya.

Perempuan itu meletakkan loyang berisi macaroni schotel di depan Ken, lalu memotongnya dalam beberapa bagian.

"Cobain deh, ini enak loh, Mami buat pakai resep beda di kasih mozarela, biasanya kalau lebaran Lea lebih suka makan ini daripada makan opor ayam." Mami memotong ujungnya, lalu mengangkat garpunya untuk disuapkan ke mulut Ken. "Aaa Ken."

Ken membuka mulutnya ragu-ragu, membiarkan Mami menyuapinya.

Perlakuan sederhana itu tentu saja memberikan efek luar biasa untuk seorang Kenandra Januar. Matanya sampai berkaca-kaca, bukan karena rasa macaroni schotel yang lezat, tapi justru karena suapan dari tangan Mami.

Ia benar-benar tak tahu, memiliki ibu bisa semembahagiakan ini.

Sadar bahwa Ken berusaha menyembunyikan air matanya, Kinara menggenggam tangan Ken erat.

"Aku nggak tahu gimana rasanya lebaran atau opor ayam," ujar Ken jujur. Ia tahu, ini bukan topik yang menyenangkan untuk dibahas, tapi ia merasa hanya ini yang bisa ia katakan untuk saat ini.

Setetes air mata jatuh dari sudut mata Mami. "Lebaran nanti, kamu sama Mami ya Ken, nggak usah lebaran sendirian lagi, kita rayain sama-sama."

Kalimat sederhana Kinara sontak memporakpandakan seluruh pertahanan yang selama Ken jaga baik-baik. Di depan Kinara Ilyas, ia menangis tergugu, seolah ia adalah seorang anak kecil yang telah lama kehilangan sosok ibunya.

Butuh waktu yang cukup lama sampai tangis Ken mulai mereda. Pemuda itu mengusap air matanya dengan punggung tangan.

"Lea nggak akan suka sama cowok cengeng," ujar Ken sambil membersit hidungnya yang memerah, membuat Kinara tertawa geli.

Ken tampak seperti anak kecil polos yang menangis karena permen kapas.

"Mami nggak akan bilang Lea kok," Kinara mengusap sudut matanya. Kenandra tetaplah Kenandra, ia lugu dan tulus.

"Ngomong-ngomong Mami, Om Prama suka apa ya?" Tak ingin berlarut-larut dalam atmosfer sentimental ini, Ken membelokkan topik pembicaraan.

"Ish," Mami mencubit lengan Ken. "Dibilang panggilnya Papa aja."

"Iya, hm... Papa suka apa?" tanya Ken ragu.

Kinara menumpukan dagunya di atas tangan, bola matanya bergerak ke atas seolah sedang mengingat-ngingat. "Apa ya? Kayaknya Papa suka semua masakan Mami deh, apalagi jengkol balado."

"Yang lain Mami?" tanya Ken lagi. Ia tak mungkin kan menghadiahi Prama Ilyas yang terhormat dengan sebaskom jengkol balado?

Kinara mengetuk-ngetuk dagunya. Suaminya bukan orang yang pilih-pilih makanan atau pilih-pilih barang. Semua yang Prama miliki saat ini adalah hasil pilihan mata istrinya, ia menerima apapun yang Kinara buatkan atau pilihkan untuknya. Maka, jika ditanya apa yang paling Prama suka di dunia ini jawabannya pasti Kinara Ilyas.

Kinara terkikik geli dengan pemikirannya sendiri.

"Mami, Ken serius, ada sesuatu nggak yang Om-maksudku Papa suka?"

Mami mengibaskan tangannya. "Aduh susah Ken, Papa tuh ya cuma suka sama tiga hal di dunia ini; Mami, Lea sama pekerjaannya."

Bahu Ken turun mendengar kalimat Kinara, tapi hanya sedetik sebelum sebuah ide terbit dalam benaknya.

"Kenapa memang Ken nanyain?"

"Nggak papa," Ken menggelengkan kepalanya sembari tersenyum misterius. "Mami, Ken mau jemput Lea dulu ya?"

⏱️

Wrangler hitam itu berhenti di pelataran parkir kampus, pemiliknya sengaja tidak langsung turun. Dari balik roda kemudi Ken mengambil kotak dari passanger seat di sampingnya, lalu mengintip isinya.

Sebuah stetoskop yang baru saja ia beli di toko alat medis. Ken sengaja memilih seri paling bagus, dengan tambahan grafir nama Prama. Sederhana, tapi perjuangannya untuk mendapat benda ini tidak mudah. Ia sampai harus memaksa penjualnya untuk melayaninya membuat grafir dalam waktu satu jam.

Bibir Ken melengkung membayangkan respon Prama ketika menerima hadiah darinya.

Setelah meyakinkan bahwa kadonya baik-baik saja, Ken menyimpan kembali benda tersebut, dan mengkontak nomor Azalea.

Sekilas, ia melirik ke arah jam tangan yang menunjukan angka 3. Seharusnya Lea sudah pulang jam segini.

Tiga kali sambungannya terputus pada suara operator. Jadi, Ken mengalihkan panggilannya menuju nomor Bryan.

Sambil menunggu sambungan itu terhubung, Ken merapihkan rambutnya di kaca rearview. Senyum jumawa terkembang di bibirnya kala melihat pantulannya sendiri.

Ia memang jauh lebih keren dari pada Mahesa Januar.

Tak perlu menunggu waktu lama, suara Bryan terdengar di ujung telepon.

"Ha... Halo," jawab Bryan ragu.

"Lo dimana? Lagi sama Lea nggak?" tanya Ken seraya melepas seatbeltnya, ia sudah mau membuka pintu ketika matanya menangkap dua sosok yang ia kenal.

"Ng..., anu..., Kak Ken, gue lagi kuis nih, iya sama Lea," balas Bryan terdengar ragu.

Ken menyipitkan matanya melihat dua sosok yang masih berjalan beriringin. Bryan berbohong. Pemuda itu tak berada di kelas sesuai pengakuannya, dan di sampingnya pun tak ada Azalea.

"Di kelas kuisnya?" Ken mengetes.

Dari tempatnya Ken bisa melihat air muka Bryan dan Kania yang ketakutan setengah mati.

"Iya di kelas, tuh Lea duduknya di pojok."

Ken menggertakkan giginya.

Sialan! Sudah berani rupanya dua kurcaci ini membohonginya.

"Oh di kelas ya?"

"I... iya," Bryan yang masih tak menyadari jebakan Ken terus melangkah menuju pelataran parkir. Tepat ketika Bryan dan Kania sampai di depan mobilnya, Ken menekan klaksonnya keras-keras, membuat Bryan dan Kania berjenggit, dan ponsel di tangan Bryan yang meluncur bebas ke aspal.

Ketika Bryan menyadari siapa yang duduk di balik kemudi, wajahnya langsung pucat pasi, seolah terompet sangkakala baru saja ditiup tepat di kedua telinganya.

Mam to the pus. Mampus!

⏱️

Pemotretan hari terakhir berlangsung di sebuah taman di pinggir Jakarta. Setelah beberapa hari pengambilan gambar mulai dari di padang ilalang sampai pantai carita, pemotretan hari terakhir bisa di bilang cukup mudah bagi Lea.

Ia tak perlu bergaya sambil melawan ombak, ataupun berpakaian seperti orang indian yang nyasar ke kota.

Setelah beberapa gambar di ambil dan matahari mulai bergerak turun, Nugi dan krunya bisa menutup sesi pemotretan terakhir dengan wajah yang sangat puas.

"Ini serius udah?" tanya Lea tak percaya.

"Mau lagi memang?"

"Nggak!" Lea menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Sumpah, mulai hari ini model bakal gue coret dari daftar pekerjaan masa depan!"

Nugi tertawa geli. Ia sangat mengetahui betapa Lea muak dengan blitz dan bergaya di depan kemera.

"Yaudah Le, makan dulu, gue beres-beres dulu ya?"

Lea menganggukan kepala, seraya menerima sebuah kotak makan siang restoran jepang ternama dari salah satu kru Nugi. Setelah mengucapkan terima kasih, Lea memilih duduk di tepi danau buatan.

Angin menerpa wajahnya, menerbangkan rambutnya. Lea mengunyah makanannya sambil menikmati angin yang membelai lembut wajahnya.

Ia bahkan tak sadar ada seseorang yang membeku di sampingnya selama beberapa detik, lalu memotretnya. Nugi menatap ke layar kameranya, sehingga tanpa sadar senyum tersungging di bibirnya.

"Seru banget makannya," ujar Nugi seraya menempatkan dirinya di samping Lea.

"Seru lah! Laper dari siang di suruh foto terus!"

Nugi terkekeh geli mendengar celetuk asal Lea. Gadis itu menyelesaikan makannya, lalu melemparkan kotak kosong ke dalam tempat sampah.

"Thanks ya Le," gumam Nugi selepas Lea meneguk minumannya.

"Your welcome," Lea menganggukan kepalanya seraya tersenyum sehingga kedua matanya menyipit. Tanpa sadar, napas Nugi kembali tertahan.

Waktu seolah terhenti di sekitar Nugi, matanya jatuh pada satu sorot yang menatapnya penuh kehangatan. Senyum Lea, lagi-lagi mengingatkannya akan seseorang.

"Hey!" sadar bahwa Nugi tengah terlempar dari dimensi realitas, Lea menepuk bahu pemuda itu keras-keras, mengembalikan kesadaran Nugi seketika.

"Eh, sorry-sorry gue barusan keinget seseorang," Nugi tertawa, tapi ada getir dalam suaranya.

Pemuda itu melemparkan tatapannya pada danau tak beriak di depannya. "Sejak awal ketemu lo tuh, gue merasa lo kayak nggak asing, lo tampak familier."

"Really?"

"Yes, jangan geer ya, tapi lo mirip cinta pertama gue." Lea nyaris tersedak minuman yang sedang ia tenggak, membuat Nugi tertawa makin geli.

"Gue nggak geer," Lea mengangkat sebelah tangannya, tak ingin Nugi salah paham. "tapi nggak ada yang lain apa selain mirip cinta pertama?"

Nugi tertawa sambil menggelengkan kepala.

"Memang apa yang salah dari mirip cinta pertama gue? Lo harusnya bangga loh Le, orang-orang tuh ngantri biar bisa gue taksir, dengan lo mirip cinta pertama gue, artinya kan lo cukup berpotensi untuk jadi cewek gue." Nugi berseloroh penuh percaya diri, sementara Lea di sampingnya menjulurkan lidah, memeragakan orang yang sedang menahan mual.

Nugi sama sekali tak tersinggung, ia justru tertawa terbahak-bahak.

"In your dream ya, Nug!"

"Jadi, gue barusan ditolak nih?" tanya Nugi memasang wajah terluka.

"Ho'oh," Lea menganggukan kepalanya yakin.

"Sialan," Nugi tertawa makin geli. "Baru pertama kali nih, seorang Nugi di tolak perempuan."

"Anyway, lo sejak kapan suka motret?" tanya Lea membelokan topik percakapan.

"Hm, sejak kapan ya?" Nugi mengetuk-ngetuk dagunya. "Sebenernya sih, kalau benar-benar di geluti baru beberapa tahun terakhir, tapi kalau hobi memang dari dulu."

"Iya? Suka motret apa aja memang?"

"Banyak, dulu sih awalnya gue suka motret pemandangan, sunrise di puncak Bromo, terus matahari tenggelam di Tanah Lot, atau pemandangan bawah laut di Raja Ampat, tapi sejak ketemu seseorang, gue jadi suka modeling photography. Suka aja gitu mengkombinasikan ekspresi seseorang sama pemandangan yang memang di lukis sama Tuhan."

"Diantara semua hasil foto lo, lo paling suka pemandangan mana?"

"Ada satu, foto seseorang lagi ketawa di bawah langit Ranu Kumbolo, asli itu salah satu foto yang gue ambilnya paling effortless tapi menurut gue paling berkesan."

"Why?"

"Soalnya di foto itu, objek gue ketawa, matanya ekspresif banget, dan matanya seolah mantulin milky way yang ada di atas langit malam itu." Mata Nugi tampak berbinar ketika menceritakannya. "Itu yang gue suka dari fotografi, foto itu bisa mengabadikan sesuatu yang ingatan manusia sering abaikan, foto bisa menyampaikan perasaan, foto itu bercerita. Orang bisa sedih, terharu, terenyuh karena sebuah foto, dan gue yakin banget, foto yang waktu itu gue ambil di Ranu Kumbolo bisa bikin orang bahagia dengan melihatnya."

"Mau dong lihat!"

"Nanti ya kapan-kapan gue tunjukin," Nugi tersenyum senang. Wajahnya begitu puas, seperti seorang seniman yang akhirnya bisa mempertontonkan salah satu hasil masterpiecenya.

"Emang niat ya lo jadi fotografer?"

"Enggak, percaya atau enggak, dulu cita-cita gue cuma mau jadi pegawai kantoran, dan jadi suami dan ayah yang baik, sederhana banget kan?" Nugi tertawa geli. "Tapi ternyata bagi gue itu justru sebuah kemewahan yang nggak bisa gue beli."

Atmosfer di antara mereka berubah sendu, Lea tersenyum sembari menepuk punggung Nugi.

"Lo tahu nggak sih, yang sederhana itu yang kadang justru begitu berharga."

Nugi menggeleng, tak setuju dengan steatment yang baru Lea uraikan.

"Nggak ada yang sederhana kalau itu berharga Le," Nugi berujar lembut, sekilas ada kesedihan terbit di matanya. "Mewah atau sederhana, bukan sesuatu tentang material. Sesuatu jadi mewah, karena memang dia berharga. Bagi orang-orang pinggiran, punya rumah besar di tengah kota bisa jadi kemewahan, karena mereka nggak bisa memilikinya. Tapi bagi orang kaya yang kesepian, mungkin sebenarnya berbagi nasi dan kerupuk bersama keluarga adalah definisi kemewahan itu sendiri."

Lea tersenyum, menganggukan kepalanya. "Kalau begitu, bukannya lebih baik kita belajar menerima kesederhanaan? Ketika bagi lo menjadi fotografer adalah sebuah kesederhanaan, bukannya lo bisa belajar mencintainya lalu menerima kalau takdir lo bukan lagi sebagai pekerja kantoran. Lo bisa membuat orang lain bahagia hanya dengan selembar foto paling effortless yang lo ambil di Ranu Kumbolo, lo bisa mengabadikan banyak moment kadang ingatan orang abaikan, lo bisa membingkai orang yang lo sayang satu frame dengan milky way di Ranu Kumbolo. Bukannya itu udah cukup menjadi sesuatu yang berharga?"

Nugi terperangah mendengar penuturan Lea. "Lo..., tau dari mana kalau objek di bawah milky way itu orang yang gue sayang?"

"Jadi gue bener? Padahal gue cuma nebak," Lea tertawa geli. "Mata lo Nug, kelihatan banget masterpiece lo itu spesial bukan hanya karena komposisinya, tapi juga karena lo udah jatuh cinta sama objek fotonya."

Nugi tertawa, ia baru menyadari sebegitu transparannya kah dirinya?

"Kapan-kapan gue kenalin lo sama dia ya, Le?"

"Boleh, tapi memang dia nggak akan mikir macem-macem?"

"Nggak akan!" Nugi menggelengkan kepala yakin. "Malah justru dia alasan gue ngajak lo foto jadi model gue."

Lea tersenyum geli. "Lo dangdut, asli, Nug!"

Tawa geli keduanya harus terputus ketika ponsel Lea berdering nyaring. Nama Bryan tertera di sana.

"Bentar ya," Lea mengangkat telepon, lalu memberikan jarak antara dirinya dengan Nugi.

"Hallo, kenapa Yan?"

"Le, lo dimana?" tanya Bryan. Nada suara Bryan yang berat dan tidak kemayu membuat insting Lea bekerja cepat.

"Kenapa memang Yan? Gue baru selesai photo shoot nih, Ken nelepon lo apa gimana? Bilang aja gitu kita masih kuis, bisa repot kalau dia tahu gue ada job moto sama cowok lain."

"Oh, begitu ya, Le? Gue percaya lo sibuk kuis sampe seminggu taunya lo ngebohongin gue sama dua cecunguk ini?" suara familier itu sontak menegakan tubuh Lea. Wajah Lea langsung kaku seketika

"Maafin Le, dipaksa speaker sama Ken," samar-samar Lea mendengar suara Bryan yang disusul oleh bentakan Kenandra.

"Lo dimana? Gue jemput sekarang!" Nada suara Ken yang otoriter membuat Lea mendekus keras, tapi tak pelak ia sebutkan juga tempatnya berada.

Bukannya karena ia menurut, tapi melihat chaos yang terjadi di ujung telepon sana, Lea bisa membayangkan Kania yang menangis sesegukan dan Bryan yang kencing di celana kalau Lea tak segera memberi akses Ken untuk menemuinya.

"Cowok lo udah ngomel ya?" tanya Nugi tepat setelah Lea menghempaskan dirinya di atas rumput.

"Bukan cowok gue," Lea menyergah gusar, tapi tentu saja Nugi tak luput menangkap sorot asing di mata Lea. Sorot pengakuan atas kalimat Nugi barusan.

Hari ini cukup sampai di sini, sudah seminggu penuh ia mengintervensi Lea dari gangguan apapun. Terlalu damai sebenarnya jika mengingat gadis ini tengah memiliki love-hate-relationship dengan orang semacam Kenandra.

Jadi, untuk hari ini Nugi akan mundur sementara waktu.

Tepat saat itu Indra-salah satu kru Nugi-memberi kode bahwa mereka sudah selesai membereskan barang. Pemuda bertubuh besar itu melirik Lea sekilas sebelum melengos pergi begitu saja.

"Le, lo mau di sini aja, atau mau ikut kita?"

"Ken udah mau ke sini, gue di sini aja deh, Nug." Nugi menganggukan kepalanya mengerti.

"Eh, gaunnya belum gue ganti tapi nih? Sebentar gue ke kamar mandi dulu,"Lea baru mau bangkit, namun tangan Nugi langsung menahannya.

"Pakai aja, lo cantik pakai gaun itu." Nugi berujar, lalu mengulurkan sebelah tangannya.

Lea menerima uluran tangan tersebut, namun langsung terkesiap ketika Nugi menarik tubuhnya ke pelukan. Seharusnya Lea mendorong tubuh Nugi di detik pertama, namun ia tak melakukannya.

"Terima kasih banyak Azalea, beberapa hari ini, sorry ya gue banyak ngerepotin lo."

Lea melepaskan pelukan lalu menggelengkan kepalanya. "Lo harusnya nggak usah terima kasih untuk seminggu ini, tapi lo wajib minta maaf untuk pelukan barusan."

Nugi sontak tertawa mendengar kalimat Lea. "Okey, okey, sorry."

Setelah basa-basi beberapa lama, Nugi dan krunya akhirnya berpamitan.

Sekitar setengah jam kemudian, Ken muncul dengan wajah tertekuk, di baliknya Bryan dan Kania berjalan sambil merapatkan diri. Keduanya memberi kode pada Lea, bahwa kemarahan Ken hari ini berada di zona siaga 1.

"Bagus ya, gue kasih kepercayaan malah ngebohong, sibuk sama cowok lain lagi," ujar Ken sambil berkacak pinggang.

Lea hanya menatapnya datar, sama sekali tak ingin menunjukan rasa bersalah. "Kalau gue nggak bohong, yang ada lo ribet ngelarang-larang gue."

"Yaiyalah!" seru Ken berang. "Memang ada cowok yang ngizinin ceweknya jalan sama sembarang cowok?!"

Mata Lea melotot mendengar kalimat Ken. Sementara Bryan dan Kania saling melempar pandangan, tahu bahwa perang dunia mungkin agar segera terjadi.

Seperti yang mereka duga, pengakuan Ken terhadap status Azalea membuat gadis itu mengamuk. Keadaan dibalik tiba-tiba. Jika seharusnya Lea merasa bersalah dan meminta maaf karena membohongi Ken, kini justru cowok garang itu yang harus menahan diri mendengar seluruh repetan Azalea Prameswari.

Orang-orang mulai memperhatikan keduanya, membuat Kania dan Bryan mundur beberapa langkah, demi menyelamatkan harga diri mereka sendiri.

Drama pertengkaran rumah tangga itu baru mereda sekitar sepuluh menit kemudian, dengan masing-masing blok memegang skor sama. Walau sudah mereda, Ken dan Lea tetap saja melempar tatapan sengit. Keduanya sampai duduk di sisi yang berjarak dengan Bryan dan Kania di tengah mereka.

"K, bilangin ya sama itu orang satu, Azalea itu nggak punya pacar, jadi nggak usah ngaku-ngaku apalagi ngatur-ngatur!" seru Lea, sengaja ia menyindir Ken lewat Kania.

"Bryan, bilangin temen lo ya, kalau salah ya salah, bohong tetap aja bohong!" balas Ken tak mau kalah.

"K, bilangin ya makanya jadi cowok jangan sok ngatur, biar nggak dibohongin."

"Bryan, bilangin ya temen lo, makanya jangan gampang percaya sama cowok, cuma gue cowok yang nggak brengsek di dunia ini!"

"Hah!" Lea mendekus tak percaya. "Ada juga dia yang nggak bisa dipercaya!"

"Bryan bilangin ya, bukan gue nggak bisa dipercaya, temen lo aja yang nggak mau coba percaya."

"Ngobrol sama orang nyebelin bikin panas memang ya!"

Tiba-tiba saja Ken berdiri, membuat Lea, Kania dan Bryan sontak menoleh.

"Mau kemana, Ken?" Bryan mewakilkan pertanyaan yang tercetus di benak Lea. Mereka bertiga pikir, Ken berniat meninggalkan mereka karena kesal dengan sikap Lea, namun jawaban yang mereka dapatkan justru membuat Bryan berdecak kagum, Kania melumer, dan Lea setengah mati berusaha mempertahankan raut datarnya.

"Kata lo, lo kesel, lo panas, gue mau beliin minuman. Apa lagi memangnya?"

Tanpa menunggu jawaban, Ken pergi menuju pedagang minuman yang tak jauh dari sana.

"Le, kok lama-lama gue lebih suka sama kak Ken ya?" Kania berujar selepas Ken pergi.

"Sama, eike juga, dia tuh gimana ya? Galak tapi gemes, Le." Bryan menyetujui.

"Ngaco!" Lea mengibaskan tangannya, tak ingin dipengaruhi. Walau sebenarnya, ia juga cukup tersanjung dengan sikap Ken barusan. "Udah ah, gue mau ke toilet dulu," ujar Lea seraya bangkit dari tempatnya.

"Lea ikut!" Kania mengikuti. Sebelum Bryan sempat ikut menyerukan kalimat serupa, Lea sudah lebih dulu melotot ke arah Bryan.

"Jangan berani-berani minta ikut!"

Bryan menekuk bibirnya. Ia paling tidak suka di tinggal sendirian.

Pemuda itu baru ingin menghampiri Ken, ketika pandangan matanya jatuh pada danau buatan yang berada di depannya. Sebersit ide gila melintas dalam benaknya.

Ken baru ingin membayar botol minuman di tangannya, saat seruan panik dari Bryan menyentaknya.

"KEN! TOLONG! LEA KECEBUR!"

Teriakan Bryan membuat Ken merasa langit baru saja runtuh tepat di atas kepalanya. Suara-suara di sekitarnya menjadi dengungan semrawut. Seperti orang kesetanan, Ken berlari menuju danau. Ia melompat tanpa menghiraukan keadaan di sekelilingnya.

Bryan yang tak menduga reaksi Ken akan sejauh ini tercengang di tempatnya, sementara orang-orang yang sejak tadi berlalu lalang, mulai berbisik-bisik kebingungan.

"Ken, gue bercanda!" Bryan berseru heboh setelah mendapatkan kembali kesadarannya. Namun Ken tidak menghiraukannya. Ia terus berenang, berusaha mencapai ke dasar, berusaha menemukan Azalea.

Ketakutan menghajarnya tanpa ampun. Ken bahkan tidak peduli kalau justru dirinya yang kelak tak bisa mencapai permukaan.

"Ian, ini kenapa?!" Lea yang baru kembali dari toilet berseru kebingungan. Ia tak mengerti kenapa Ken menceburkan dirinya ke dalam danau.

"Itu... anu... tadi gue ngerjain Ken, gue bilang lo kecebur." Mata Lea terbeliak mendengar pengakuan Bryan, namun tak sempat mengomel panjang lebar, karena pikirannya sekarang hanya fokus pada sosok yang masih berada di tengah danau.

"Ken! Keluar dari sana!"

Ken tak juga menghiraukan Lea, pemuda itu terus berenang menjauhi tepian. Kecamuk pemikiran tentang hal buruk yang mungkin terjadi pada Lea mengacaukan kemampuan berpikir logisnya.

"Kenandra!" Lea berteriak mulai ketakutan. "Gue di sini! Azalea di sini!"

Cukup nama itu. Cukup sekali nama Azalea di sebut. Tubuh Ken otomatis behenti bergerak. Ia menoleh hanya demi menemui Lea berdiri di pinggir danau dengan raut khawatir.

Secepat yang ia mampu, Ken berenang ke tepian. Wajah dinginnya tak mampu terbaca.

Bryan sontak mundur, meski bersedia mendapatkan apapun sebagai konsekuensi atas kelakuan isenganya barusan. Namun ternyata Ken tidak menghampirinya.

Satu-satunya sosok yang dituju Ken setelah dia berada di atas adalah Azalea. Ken berlari cepat, menarik Lea ke dalam pelukannya dalam satu sentakan.

Ia tak peduli pada tubuhnya yang basah. Ia tak peduli pada orang-orang yang menatapnya dengan tatapan aneh. Ia bahkan tak peduli pada Bryan yang pada situasi normal sudah ia buat mengemis ampunan padanya.

Tak apa. Selama Lea baik-baik saja ia tak apa.

"Ken..." suara Lea mengambang, tak menyangka dengan pelukan Ken yang tiba-tiba.

"Lo nggak papa, lo nggak papa," suara Ken lirih seperti tengah meyakinkan dirinya sendiri. "Lo nggak papa Lea."

"Iya Ken, gue nggak papa." napas Lea tertahan ketika mengatakannya. Ketakutan dalam suara Ken membuat dada Lea menyempit.

"Jangan Lea, jangan pergi lagi, tolong jangan pergi lagi, tolong jangan kenapa-napa." Jelas. Ketakutan itu jelas menyeret Ken ke dalam ambang keputus-asaannya. Suaranya terdengar seperti anak kecil yang tengah meracau. "Jangan pergi Le, jangan pergi."

Tubuh Lea menegang kala ia mendengar kalimat terakhir Ken, Lea juga tak bisa melakukan apa-apa karena seluruh syarafnya tiba-tiba melumpuh.

Suara Ken barusan otomatis meluruhkan air di sudut mata Azalea, karena baru saja, Lea merasa bahwa keberadaannya sangat berarti untuk seseorang. Baru saja, Lea dipaksa menyadari bahwa ia adalah seluruh hidup bagi seseorang. Baru saja, Lea mendengar Ken menangis untuknya....

Kenandra Januar menangis untuknya.

***

Sementara Azalea dan Kenandra tengah terkurung dalam semesta yang mereka ciptakan sendiri, berkilo-kilo dari tempat mereka berdiri, Prama mengusap raut wajahnya frustrasi.

Ia baru saja bertengkar dengan Kinara melalui telepon, untuk pertama kalinya setelah puluhan tahun membina rumah tangga perbedaan pendapat membuat Kinara terisak di ujung telepon.

Menyedihkannya, Prama pun tak bisa melakukan apa-apa selain berkeras kepala.

Bukan hanya Kenandra, Mahesa juga membutuhkan pertolongannya. Namun sayang, ia tak bisa menolong keduanya secara bersamaan.

Satu orang harus terluka untuk yang lain.

Kali ini Prama tak akan mundur lagi. Geraldi pun takkan mampu menghentikannya. Ia akan melakukan segala hal untuk membawa Mahesa pulang.

Tepat pada saat itu seseorang muncul di balik pintunya. Satria, orang paling dipercayai oleh Geraldi. Pekerja setia pria itu yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk bekerja pada keluarga Januar.

Salah satu orang yang juga bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada Mahesa dan Kenandra.

Prama dan Satria terdiam cukup lama. Tak perlu keduanya saling bicara, mereka sudah tahu apa yang berkecamuk di kepala masing-masing.

Jika selama ini mereka berada di barisan yang sama, jika selama ini Prama terpaksa harus ikut bertanggung jawab atas luka Mahesa dan Ken atas ketidak berdayaannya, maka hari ini akan berbeda. Tepatnya, setelah hari ini mereka mungkin akan menjadi kubu yang berlawanan, karena Satria akan tetap setia pada majikannya.

"Kamu tahu kenapa saya meminta kamu ke sini hari ini," ujar Prama memecah kebisuan. Satria hanya diam memperhatikan. "Saya akan membawa Mahesa kembali, katakan pada Geraldi, apapun yang terjadi, saya akan menolong dia mulai saat ini."

"Lalu, bagaimana dengan Kenandra, anda siap membuatnya jauh lebih hancur?"

Pertanyaanya membuat Prama bungkam. Ada sesak yang bergejolak di dadanya, namun satu-satunya hal yang dapat ia lakukan adalah menganggukan kepalanya mantap.

"Jika memang itu harus, maka saya yakin Kenandra sanggup menanggungnya."

Prama tak tahu, bahwa sosok yang kelak harus ia lukai memang sudah lama berantakan. Ken sudah hancur. Terkurung dalam kegelapan yang absolut.

Kenandra memang sudah tak tertolong.

Namun, saat ini Azalea tengah memberinya harapan. Tertatih-tatih Ken berusaha menggapai penolongnya, tersaruk-saruk Ken berusaha bangkit dari tempatnya. Pelan-pelan Ken tengah mengobati dirinya sendiri. Ia tengah berusaha berdamai dengan orang di sekelilingnya.

Ia sedang mengemis sebuah perhatian. Ia tengah memohon agar diselamatkan. Salah satunya, dengan stetoskop untuk Prama yang berada di jok mobilnya.

Sayangnya memang sudah takdirnya, untuk tidak pernah ditolong.

----
A/n:

Ada yang mau nampol Bryan? Hahahaha.

Rekor 4000 words lebih, cui! Udah ya abis ini w rehat dulu bentar. Nggak.update ampe minggu depan. Asli capek wkwkwk.

Anyway, seperti yang kubilang ya, jangan percaya siapapun :)

Mulai paham kan siapa aja yang nggak boleh di percaya hehe.

Yaudahlah ya.

Sampai bertemu tanggal 14 April 2018 di akun wattpad (at)beliawritingmarathon.

Salam sayang,

Innayah Putri.

Dipublish tanggal 06/04/18.
16:14 WIB.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro