22 | Titik Balik
There are so many fragile things, after all.
People break so easily, and so do dreams
and hearts.
( Neil Gaiman)
⏱️
“Ya ampun Le, gitu aja ngambek!” Bryan menyentakkan kepalanya kesal, sementara Kania masih sibuk menusuk-nusuk lengan Lea dengan jari telunjuknya, berusaha mendapatkan perhatian Lea. Lea tampak tak peduli, gadis itu justru menyedot es jeruknya tanpa menganggap keberadaan Bryan dan Kania.
“Tau nih, ambekan banget, lagian bukannya bagus, ya? Kan jadi nyokap lo setuju lo sama Ke—nandra.” Mendapatkan tatapan datar dari Lea, Kania buru-buru membungkam bibirnya. Ia tak ingin cari masalah. Cukup seharian ini ia dan Bryan dicuekin Lea gara-gara ngadu ke Mami Kinara kemarin, jangan sampai omongannya yang sembarangan membuat ia dan Bryan harus ditendang jauh-jauh dari daftar teman Azalea.
Sadar bahwa kedua sahabatnya tidak akan berhenti mengganggunya sampai ia memaafkan mereka, Leapun menjauhkan gelas es jeruk di hadapannya, lalu bersidekap seraya membagi tatapan matanya antara Kania dan Bryan. Seperti anak kecil yang ketahuan mencuri permen, Kania dan Bryan sontak menundukan kepala, mereka bersiap mendengar omelan panjang Azalea.
“Gue nggak akan curhat apapun lagi sama kalian,” tandas Lea pedas, matanya masih memicing menatap kedua sahabatnya.
“Yah, jangan gitu dong, Le! Marahnya sama Bryan aja, yang keceplosan kan Ian bukan gue.”
Bryan mendelik ke arah Kania lalu berdecak, pemuda itu melayangkan tatapan tajam, lalu berseru kesal. “Lo kok nyebelin sih, K? Kan lo juga tuh yang bilang sama Tante Kinara, kalau Lea pernah bolos cuma demi ngobrol sama Kak Esa di rooftop?!”
“Ye, tapi kan elo Yan, yang nunjukin ke Tante Kinara fotonya Lea yang dipeluk sama Ken?!”
Mata Lea melebar mendengar pengakuan tak langsung kedua sahabatnya barusan.
“Wait, what?!” jeritan Lea membungkam Kania pada detik pertama, gadis itu langsung meringis menyadari kesalahan mereka. “Kalian cerita apa aja sama Mami?!”
“Enggak! Sumpah nggak cerita apa-apa!” Bryan berkilah, dua jarinya teracung seolah sedang mengucap sumpah.
“Iya, nggak cerita apa-apa kok!” Kania mengangguk membenarkan. “Cuma cerita doang, kalau lo sebenernya udah naksir Kak Esa tapi gengsi, terus lo pernah di culik sama Ken, terus Ken pernah bawain bunga banyak banget, terus kita pernah di—hmp.” Kania tak dapat melanjutkan kalimatnya, karena mulutnya dibekap oleh Bryan, sementara pemuda itu tetap pada posisinya—mengacungkan dua jari sambil tersenyum lebar.
Lea memijat dahinya, lalu menghembuskan napas lelah. Percuma saja ia menahan diri, kedua sahabatnya ini punya mulut yang tidak mengenal kata rahasia. Lea masih ingin mengomel, tapi ia sudah tak punya banyak waktu. Akhirnya Lea menegakan tubuhnya, seraya merapihkan isi tasnya.
“Gue mau maafin kalian.”
“Serius?!” Bryan dan Kania memekik girang, tak percaya bisa semudah itu mendapatkan maaf Lea.
“Dengan syarat,” sebelum bangkit, Lea menyempatkan diri memajukan tubuhnya, membuat kedua sahabatnya melakukan hal yang sama. “Alihin perhatian Ken.”
“Hah?!” Kania dan Bryan berseru bersamaan.
“Gue ada urusan, dan gue yakin urusan gue bisa kacau kalau ada cowok satu itu, jadi kalian handle Kenandra.”
Kania meneguk ludahnya, sementara Bryan tampak berpikir keras. Begini ya teman-teman, dimusuhi Lea adalah hal terakhir yang mereka inginkan dalam hidup mereka, namun berurusan dengan seroang Kenandra juga bukan perkara mudah. Salah-salah, kepala mereka yang jadi taruhannya.
Seperti dapat membaca pikiran kedua sahabatnya, Lea menepuk bahu mereka. “Ken kelihatannya aja galak, tenang aja kalian nggak akan diapa-apain.”
Tanpa menunggu Bryan dan Kania meraih kembali kesadarannya, Lea menyampirkan tas di bahunya, lalu melenggang meninggalkan Kania dan Bryan yang melongo tak percaya.
Lea pergi disaat yang tepat, karena tak sampai lima menit kemudian tubuh menjulang Ken muncul di Kantin bersama. Mata elangnya memindai seluruh isi kantin sebelum berhenti pada meja Kania dan Bryan.
“Ian, kita harus gimana dong?” Kania menggigiti bibirnya gelisah. Sejak diturunkan di jalan tol, Kania seperti punya phobia dengan keberadaan Kenandra tanpa sosok Lea di sisi pemuda itu. Bagaimana kalau ternyata Ken memang semenyeramkan itu?!
Sementara Bryan sibuk berpikir, Ken sudah memangkas jarak di antara mereka. Ken melangkah dengan tangan yang tersimpan di saku celana. Kaus bergambar pinguin biru muda tampak mengintip di jaket kulitnya yang berwarna hitam mengkilap. Pesonanya, membuat siapapun di Kantin itu sontak menoleh ke arahnya. Menjadikan sosok Kenandra sebagai poros perhatian dari sekumpulan orang yang berada di sana.
“Lea mana?” tanpa basa-basi, pertanyaan itu adalah kalimat pertama yang keluar dari bibirnya ketika mereka sudah berhadap-hadapan.
“Lea… ng….” Kania menoleh ke kanan dan ke kiri.
Tak sabar dengan respon lambat gadis di hadapannya, Ken berseru keras. “Ang eng ang eng, gue nanya, Lea dimana?!”
Seperti biasa, insting bawah sadarnya langsung membuat Bryan menegakan tubuhnya, ia menggenggam tangan Kania, lalu mengambil alih perhatian Kenandra.
“Lea pergi kak!” suara Bryan yang tiba-tiba berat, membuat seluruh perhatian mahasiswa di sana tersedot pada tiga orang tersebut. Shock Bryan manly mendadak.
“Pergi kemana?”
“Nggak tahu!”
Ken berdecak kesal, tapi sedetik sebelum ia meraih ponselnya untuk mengomeli Azalea, sebuah ide melintas di benaknya.
Kalau mau dapatin hatinya, lo harus dapatin hati orang-orang terdekatnya dulu.
Suara Rully yang tergiang di telinga Ken, membuat pemuda itu memasukan ponselnya ke dalam saku celana. Ia menimang-nimang sesaat, sebelum berujar dengan nada memerintah.
“Bangun sekarang, kalian sandera gue hari ini!”
Tak perlu tali, tak perlu borgol, tak perlu senjata tajam. Kalimat tanpa kata ancaman barusan sudah merupakan harga mutlak terhadap status Kania dan Bryan, sehingga tanpa perlu repot-repot dipaksa, keduanya menyerahkan diri secara pasrah terhadap Kenandra Januar. Sambil melemparkan kode lewat ekor mata, keduanya membuntuti langkah Kenandra, meninggalkan sekumpulan orang yang masih menatap ketiganya dengan sorot tidak percaya.
⏱️
K
afe yang Lea pilih untuk bertemu Nugi berada cukup jauh dari kampus. Setidaknya, ia butuh setengah jam perjalanan untuk sampai ke sini. Suara gemerincing ketika Lea melewati pintu mengundang beberapa kepala untuk menoleh ke arahnya, tapi tidak termasuk pemuda yang duduk di pojok kafe sambil memandang kosong ke luar jendela. Dari tempatnya berdiri, dapat Lea saksikan Nugi yang tengah tenggelam dalam dunianya sendiri. Tak ada topi di kepalanya hari ini, kemeja denim yang di gulung sampai siku menampilkan lengan kekar yang sebelumnya tak pernah Lea perhatikan. Nugi dengan latar dinding kafe tampak cukup aesthetic untuk berada dalam satu frame yang sama.
“Udah lama?” tanya Lea tepat ketika ia sampai di meja Nugi. Seperti di banting menuju dunia realitas, Nugi tersentak, pemuda itu tampak terkejut sebelum kembali menguasai dirinya di detik kemudian.
“Nggak kok, baru lima menit,” ujar pemuda itu seraya mengembangkan seulas senyum. Sekilas, senyum itu tampak janggal, ada kesedihan dalam bola matanya. Setelah memesan cokelat hangat dan beberapa potong croissant untuk Lea, mereka berdua mulai membahas tujuan utama pertemuan mereka hari ini.
:”Jadi, apa yang bisa gue bantu?” tanya Lea seraya mengaduk cokelat hangatnya.
Nugi mengeluarkan sebuah file yang diambil dari kursi di sampingnya. “Baca dulu deh.”
Lea meraih proposal tersebut, lalu membaca isinya. Beberapa kali dahi Lea mengeryit, lalu alisnya akan terangkat, tampak takjub sekaligus tertarik. Proposal tersebut berisi rancangan sebuah pameran perdana yang akan Nugi gelar beberapa bulan mendatang. Tak main-main, sokongan dananya berasal dari vendor-vendor fotografi terkenal. Setelah melihat-lihat sekilas mengenai tema sampai konsep matang dari pameran tersebut, Lea mengembalikan proposal tersebut pada Nugi.
“Gue nggak tahu bahwa gue sedang berkenalan dengan calon fotografer profesional,” ujarnya terdengar memuji.
“Thank you,” Nugi tersenyum, tak bisa menyembunyikan bahwa dirinya merasa tersanjung dipuji Azalea. “Tapi calon fotografer profesional ini, nggak akan bisa menggelar pameran perdananya tanpa bantuan lo.”
Mengerti maksud kalimat Nugi, Lea berujar ragu. “Gue nggak bisa jadi model Nugi, fotonya bisa kaku nanti.”
Nugi memajukan tubuhnya, menatap Lea dengan tatapan memohon. “Nggak akan lama Le, please, model yang harusnya gue hire tiba-tiba aja nggak bisa, sedangkan nyari model dengan aura aesthetic yang terkesan natural itu susah.”
Lea menggigit bibir bawahnya, tampak menimang-nimang.
“Gue cuma butuh satu minggu kok, beberapa hari fitting baju dan beberapa hari pemotretan, cukup itu.”
Nugi menggosok-gosokan kedua tangannya seperti tengah memohon. Untuk beberapa detik, Lea terdiam. Sebenarnya, tak sulit memenuhi permintaan Nugi, ia juga merasa berhutang budi pada pemuda itu.
Akhirnya Lea menganggukan kepalanya. “Boleh deh.”
“Yes!” Nugi berseru senang. “Terima kasih, Lea!”
“Sama-sama.”
“By the way, tumben sendirian, Kania sama Bryan nggak ikut?”
“Nggak, repot kalau ada mereka,” ujar Lea seraya menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, bukan berniat untuk menarik perhatian, tapi hanya sekadar gesture yang ia lakukan tanpa disadari. Punggung Nugi menegak untuk beberapa detik, tapi langsung kembali rileks sebelum Lea menyadarinya.
“Kalau cowok lo, gimana?” tanya Nugi santai, namun di balik kacamatanya, pemuda itu meneliti Lea dengan tatapan awas.
“Cowok gue siapa?”
“Itu yang marah-marah waktu itu, yang di toko buku, bukannya dia cowok lo?”
Lea langsung tersedak mendengar kalimat Nugi, lalu menggeleng cepat-cepat. Terlalu cepat. “Ken? Dia bukan cowok gue!”
Lea yang berkilah tapi dengan pipi yang bersemu merah membuat Nugi tertawa renyah. Lea bisa saja menyergah perasaannya, tapi mata gadis itu kelewat jujur seperti buku yang terbuka.
“Bener nih bukan cowok lo?” pancing Nugi lagi.
“Beneran, dia bukan cowok gue.” Lea menganggukan kepala, meski sebenarnya dibanding meyakinkan Nugi, gadis itu terlihat seperti tengah meyakinkan dirinya sendiri.
Nugi menarik sudut bibirnya. Kalaupun mereka sudah saling menyukai, bukan berarti tak ada celah baginya untuk masuk ke dalam kehidupan gadis di hadapannya.
“Bagus deh kalau begitu,” Nugi mengangguk, tapi Lea tampak tak acuh. Gadis itu bahkan tak menyadari bahwa Nugi memperhatikannya lekat-lekat.
Tak ada yang bisa menyangkal, bahwa Azalea Prameswari adalah gadis yang menarik, mata cokelat keemasannya bisa dengan mudah membuat laki-laki bertekuk lutut di hadapannya, tapi bukan itu yang membuat Nugi ikut tersihir sehingga tak bisa mengalihkan tatapannya selama beberapa detik, melainkan sorot mata Azalea yang tidak selalu bersinar namun memberikan rasa nyaman bagi siapa saja yang menatapnya. Sekilas, mengingatkannya pada sosok seseorang.
Sementara Nugi menatapnya, Lea justru memutar otaknya, memikirkan bagaimana cara menghindari Kenandra selama ia menjadi model pemotretan Nugi.
Azalea tak tahu, bahwa persetujuannya untuk menjadi model Nugi adalah sebuah awal dimana rahasia gelap mungkin akan terkuak. Sebuah langkah menuju sebuah babak baru penuh air mata. Sebuah titik balik, dimana kelak, luka tak berjeda telah menanti mereka semua.
Mereka. Semua.
⏱️
Gadis itu mengerjapkan matanya sekali lagi, menyakinkan diri bahwa pemandangan di hadapannya saat ini sama sekali bukan imajinasinya.
Lea tahu, segala hal yang berhubungan dengan Kenandra adalah sesuatu yang di luar nalarnya sebagai manusia normal, tapi ia sungguh tak menyangka akan melihat pemandangan seabsurd ini.
Kenandra Januar berdiri di ruang makan rumahnya, dengan celemek merah muda dan teflon di tangan. Tak lama kemudian Maminya muncul dari pintu dapur dengan wajah sumringah.
“Mami! Kenapa mahluk satu ini bisa ada di sini?!” Lea berseru heboh, tangannya menunjuk ke arah Ken dengan tatapan tidak percaya.
“Siapa? Ken?” Maminya bertanya polos, seolah-olah keberadaan Ken di rumah ini adalah hal paling lumrah sedunia.
“Iyalah! Siapa lagi memangnya mahluk asing di rumah ini?!”
Ken meloto mendengar kalimat Lea, begitupun Maminya yang langsung menatap Lea galak. Dengan protektif, Mami menarik Ken ke belakang punggungnya.
“Siapa yang kamu bilang mahluk asing? Mami jewer kamu, Le, berani ngomong macam-macam soal Ken!”
Ken tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya, ia tersenyum penuh kemenangan.
“Mami, ini harus Ken taruh di mana?” Lea nyaris muntah mendengar nada suara yang Ken gunakan. Demi bumi dan langit, Lea bahkan tak pernah membayangkan seorang Kenandra Januar bisa berbicara dengan nada semanja itu, bahkan pemuda itu membahasakan dirinya sendiri dengan nama.
“Ini sayang, taro sini aja,” Mami mengarahkan Kenandra untuk meletakan potongan omelet di atas piring. Perlakuannya seperti seorang ibu kandung pada putra kesayangan berumur lima tahun.
“Mami, Lea serius, kenapa Ken bisa ada di sini?”
“Oh, itu, tadi siang Bryan sama Kania ajak dia ke sini, seharian kita ngobrol, masak bareng, seru deh,” mata Mami berbinar senang, kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, seperti tengah mencari. “Barusan masih ada kok Ian sama Kania, kemana ya mereka?”
Bryan Kania sialan!
Harusnya Lea tak perlu bertanya-tanya lagi siapa yang berulah membawa cowok garang ini masuk ke dalam rumahnya. Ia kan punya dua teman paling tidak-setia-kawan di dunia!
Lea memejamkan matanya, menarik napas dalam-dalam. Kalau seandainya Kania dan Bryan muat dalam genggaman tangannya, bisa dipastikan keduanya sudah remuk dalam kepalan tangan Lea.
“Kania... Bryan...,” Lea menggeram marah. “Keluar sekarang.”
Tidak perlu teriakan, dari kolong meja makan Kania dan Bryan merangkak keluar. Dari wajahnya, tampaknya keduanya sudah tahu, bahwa mereka telah melakukan dosa paling besar dalam pertemanan mereka.
Lea mengangkat jari telunjuknya, memberi kode agar dua tersangka itu mengikutinya ke lantai dua. Bryan dan Kania hanya menghela napas pasrah.
⏱️
“Jadi, tolong kasih gue alasan untuk memaafkan kalian berdua.” Lea menatap kedua sahabatnya dengan tatapan datar. Sata ini mereka sudah berada di ruang tamu kamar Lea, kedua lengan Lea di lipat depan dadanya, menunjukan kuasanya untuk mengintimidasi Bryan dan Kania dalam skala tertinggi.
Tak peduli dengan tingkat kegarangan Kenandra, Azalea yang murka bahkan jauh lebih menyeramkan dari pada mahluk apapun. Analoginya bukan lagi singa Aslan ataupun gorila di kebun binatang, Lea yang marah bisa disetarakan dengan kemampuan T-rex di Jurrasic Park.
“Jadi... begini,” Kania menggigit bibir bawahnya, melirik ke arah Bryan yang di sahuti Bryan dengan kedikan bahu. “Biar Ian aja Le yang jelasin, gue nggak tahu apa-apa, sumpah!”
Bryan sontak melotot. Kurang ajar memang Kania! Padahal traktiran makan dari Ken mereka embat berdua, tapi amukannya Lea harus ia tanggung sendiri!
Seperti biasa, insting kelaki-lakian Bryan yang muncul di saat darurat, membantunya untuk menegapkan tubuh.
“Jadi begini Le, lo tau kan seseram apa Ken? Gue sama Kania mana berani lawan dia? Akhirnya, ya gitu, kita ajak dia ke sini.” Bryan menoleh ke arah Kania, mencari dukungan. “Iya kan, K?”
Kania sontak menganggukan kepalanya cepat-cepat. Benar kok! Mereka tidak berbohong! Kan memang benar Ken menyeramkan, dan mana berani mereka menolak permintaan seorang Kenandra, apalagi kalau iming-imingnya menggiurkan.
Lea menyipitkan matanya curiga. “Kalian di sogok apa? Ngaku aja deh!”
Keduanya sontak menggelengkan kepala kompak. “Enggak kok! Kita nggak di sogok apa-apa, asli!”
Cuma dijanjiin tiket konser The Script kelas VVIP.
“Bener?” tanya Lea masih tak percaya.
“Suer!” Kania mengacungkan dua jarinya yang diikuti dengan Bryan. Lea mengacak rambutnya frustrasi tapi tak bisa melakukan apa-apa.
Jika dirinya saja harus berkali-kali kalah argumen, bagaimana dua sahabatnya ini? Tak ada yang bisa menang melawan kekeras kepalaannya Kenandra Januar.
Lea berdesah berlebihan lalu meletakkan dagunya di atas meja. “Setelah ini Mami pasti bakal makin mikir yang ngaco-ngaco tentang Ken.”
Mengingat bagaimana sifat Maminya, Lea bahkan tak akan terkejut jika besok semua teman arisan Maminya memberi Lea selamat karena punya pacar baru.
“Eh, tapi nggak papa lagi, Le, kayaknya Mami seneng gitu ketemu Ken,” ujar Kania, sama sekali tak menyemangati.
“Mami nggak tahu aja sebar-bar apa dia.”
“Ih, tapi serius loh, Mami tuh sampe nangis waktu ketemu Ken tadi.” Kalimat Kania barusan berhasil menarik perhatian Lea.
“Nangis?” tanya Lea tak percaya.
Bryan menganggukan kepala, menyetujui kalimat Kania. “Iya, bener tuh! Eike aja sampai heran loh, soalnya nangis kejer gitu, udah gitu habis itu disayang-sayang mulu lagi si bad boy caem, sampai dielus-elus, dipelukin, ih pokoknya kayak ibu udah lama nggak ketemu anaknya deh!”
Sebelah alis Lea terangkat mendengar penuturan Bryan. Kalau benar apa yang dikatakan Bryan, berarti ada yang salah dengan Maminya. Mereka kan baru saja mengenal, masa iya sampai dipeluk segala?
Kania mengibaskan tangannya. “Kalau menurut gue tuh ya Le, Mami tuh udah segitunya pingin punya mantu, udah putus asa banget, ngeliat anak semata wayangnya jomlo mulu.”
Lea sontak melotot mendengar kalimat Kania, pemikiran soal keanehan Maminya terabaikan begitu saja.
Padahal seandainya saat itu Lea lebih peka, ia lebih teliti memeriksa koridor ingatannya, mungkin ia akan lebih siap menghadapi sebuah kenyataan.
Atau mungkin, setidaknya kelak mereka tidak akan terluka sebegitu dalamnya.
⏱️
Sementara Lea menyeret dua sahabatnya ke lantai atas, Kinara Ilyas menarik Ken menuju ruang keluarga.
“Ehm, kita mau ngapain, mam...i?” tanya Ken sedikit ragu. Sebenarnya ia masih canggung memanggil Kinara dengan sebutan Mami. Sikapnya di depan Lea tadi semata-mata kamuflase untuk menutupi kecanggungannya. Ia ingin menunjukan pada Lea bahwa ia bisa mengakrabkan diri dengan orang-orang yang Lea cintai.
“Sebentar, sebentar, Mami lupa deh naronya dimana,” Kinara sibuk membongkar laci-laci di ruangan tersebut, tangannya meneliti satu persatu album yang tersusun di dalam rak. Perempuan itu berdecak sebal saat tak menemui benda yang ia cari. “Ck, kok nggak ada di sini ya? Kemana coba?”
Baru Ken ingin mengatakan bahwa mereka bisa mencari benda itu lain kali, ketika Kinara berseru heboh, seperti teringat sesuatu.
“Ah iya! Ada di kamar Mami, sebentar ya Ken!” tanpa menunggu persetujuan Ken, Kinara berlari kecil ke kamarnya, meninggalkan pemuda itu dalam kebingungan.
Ken bangkit dari sofa, lalu matanya merambat ke sekeliling. Ada banyak sekali foto terpajang di ruangan tersebut. Tak hanya foto Lea, Prama dan Kinara, di ruangan tersebut juga tersusun foto-foto Lea bersama Bryan dan Kania, bahkan pada satu bingkai, Ken menemukan foto keluarga kecil Lea bersama Bryan, Kania dan seorang wanita dengan baju rumah sakit. Wanita itu berada dirangkulan Bryan, sehingga Ken menebak bahwa wanita itu adalah Ibunda Bryan.
Sebelah alis Ken naik saat melihat warna pink, dan bandana floral yang Bryan kenakan, sontak mendenguskan napas jengah.
Beberapa kali menghadapi Bryan yang ketakutan sempat membuatnya berpikir bahwa pemuda itu sebenernya hanya bercanda dengan sikap gemulainya, tapi melihat potret Bryan di sini, seperti Bryan memang sedikit belok.
Ken masih ingin menikmati wajah galak Lea semasa kecil, ketika Kinara Ilyas kembali dengan sebuah album berwarna biru di pelukannya.
“Kenandra, sini duduk, Mami tunjukin foto kalian semasa kecil.”
Ken menurut, ia mengambil tempat di samping Kinara.
Mami mulai membuka album foto tersebut, sementara Ken hanya diam mendengarkan celotehannya. Kinara Ilyas bercerita, betapa ia dan Lea adalah dua anak yang sulit sekali dipisahkan. Betapa Ken dulunya adalah anak baik, yang pendiam. Betapa dulu Ken sering bermalam di rumah keluarga Ilyas. Bagaimana sedihnya Kinara ketika Ayahnya memaksa mereka pindah.
Selama menceritakannya tak jarang air mata Kinara menetes. Wanita itu merasa bersalah karena tak bisa mencegah semua hal menyakitkan yang terjadi di hidup Ken maupun Mahesa.
Kinara tak tahu, bahwa bukan hanya ia yang tertatih-tatih ketika harus membuka luka lama, pemuda di sampingnya jauh lebih berantakan.
Cerita Kinara seolah kembali mencungkil kembali dinding yang sudah Ken bangun dengan susah payah. Kisah lama itu membangunkan kembali memori kelamnya. Meremukan sisa emosinya yang memang sudah lama compang-camping. Badai tak hanya membentuknya untuk membentengi diri dari semua luka yang mungkin menghajarnya tanpa belas kasih, tapi juga sudah meremukan seluruh syaraf dihatinya.
Ia sudah terbiasa menahan pedih. Bagi seorang Kenandra Januar, luka dan kesepian merupakan sahabat paling setia.
Mata Ken yang berkaca-kaca terhenti pada satu potret yang membingkai figur Azalea kecil dengan seorang pemuda berwajah seperti dirinya. Mereka menggenggam sepasang boneka plastik yang berbentuk seperti manusia. Seperti pangeran dan tuan putri.
Ia tahu, siapa yang berada di dalam lembar foto tersebut, tapi ia tetap bertanya.
“Ini sia...pa?” tanyanya dengan nada tersekat. Jelas, sebenarnya hanya satu nama yang harus Kinara sebutkan. Namun mata Ken menyiratkan permohonan untuk sebuah kebohongan. Sebuah penyangkalan dari sebuah realitas.
Kinara tersekat. Dadanya sesak dihantam rasa bersalah, sehingga satu-satunya hal yang dapat ia lakukan adalah menarik Ken ke dalam pelukannya.
—————
A/n:
Part 22, gimana?
Puf, 3000 words lebih lagi cuy!
Tenang-tenang, sabar-sabar. Simpan tebak-tebakan kalian untuk diri kalian sendiri.
Biarkan cerita ini mengalir seperti seharusnya. Ea.
#TeamEsa juga tolong bersabar, Esa akan muncul diwaktu yang tepat. Jangan aja ya sekarang nyariin dia, ntar kalo dia nongol malah berharap dia nggak usah muncul sekalian wkwkwkwkwk.
Anyway, sudah dua part nih 3000 words lebih. Gue mau minta maaf sebelumnya, mungkin cerita ini akan gue hold sementara. Gue akan berusaha tetap update Selasa x Jum'at seperti biasa, tapi kalau ternyata gue nggak update harap maklum, karena gue harus menyiapkan sesuatu untuk tanggal 14 April ini.
Ada yang tau ada apa tanggal 14 April? Hahahaha.
Minta doanya biar gue produktif tahun ini ya!wkwkwk
Anyway, Juna x Kiana sudah tersedia di beberapa gramedia. Untuk yang ketemu, atau beli, boleh tuh siapa tahu mau berbaik hati fotoin terus tag @naya.universe sama @innayahp di Instagram.
Untuk yang mau beli online, Juna x Kiana masih bisa dipesan lewat special order di mizanstore.com, bukukita.com, bukubukularis.com, grobmart.com. Special order ini limited, ada ttd sama diskon 15%nya loh!
Terima kasih banyak juga ya doa-doa kalian untuk If Only, dan semua karyaku lainnya.
Salam sayang,
Innayah Putri.
Dipublish 03/04/18.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro