21| Dunia Fantasi
Happiness is just an illusion
caused by temporary absence of reality.
(Ralph Waldo Emerson)
⏱️
Butuh waktu lebih dari setengah jam bagi Ken untuk kembali mengenakan zirahnya. Jejak air mata telah menghilang dari pipinya, wajahnya kembali pada raut semula; dingin dan angkuh.
Pemuda itu telah kembali tegap, tegar, menyimpan kembali lukanya rapat-rapat.
"Mau sampai kapan di sini?" suara itu menusuk telinga Lea.
Lea menolehkan kepala, meski selalu memasang wajah dingin, sudah lama ia tak melihat Ken menatapnya dengan raut sekeras ini. Namun, sebuah luka transparan yang tadi Ken tunjukan untuknya sudah cukup bagi Lea untuk paham. Bahwa Ken tak ingin lagi membahas kejatuhannya.
Lea berdiri, menepuk-nepuk celananya, sebelum mengulurkan tangan. Ken menatap uluran tangan itu sebelum menyambutnya. Tapi, alih-alih membiarkan Lea membantunya berdiri, justru Ken menariknya sehingga Lea kembali jatuh terduduk.
"Ken!" protes Lea. Ia kesal bukan main.
Ken berdiri, lalu mengulurkan tangannya pada Lea. "Yang benar begini, gue yang ngelindungin lo, bukan lo yang seharusnya melindungi gue."
Lea berdecak melihat sikap Ken yang berlebihan, namun tak elak diterima pula uluran tangan tersebut.
"Kelas jam berapa?"
Lea melirik jam di pergelangan tangannya. "Sepuluh menit lagi masuk."
"Gue ikut ke kelas lo, ya!" bukan tanya, itu merupakan kalimat bertanda seru, yang artinya Lea takkan mampu melenyapkan pemuda itu dari kelasnya tanpa membuat huru-hara.
Dari pada bikin ribut, akhirnya Lea mengambil inisiatif yang sama sekali tidak bijaksana.
"Gue bolos aja deh."
"Bolos? Ngapain?"
Lea tersenyum. "Mau nemenin lo aja seharian ini."
Seperti anak kecil yang diberikan makanan manis, mata Ken langsung berpedar kesenangan.
"Bener?!" ia memekik girang. Sadar bahwa pekikan tersebut bisa merusak imagenya, Ken berdeham beberapa kali, lalu meralat responnya. "Maksud gue, memang nggak papa?"
"Tumben lo peduli, biasanya bodo amat orang setuju apa enggak, yang penting lo seneng," Lea menyindir halus, yang tentu saja tak membuat Ken tersinggung.
"Ya, salah orangnya sendiri nggak ikut seneng kalau gue seneng?"
Lea tertawa geli mendengar kilahan Ken. "Yaudah, kita mau kemana?"
"Kemana aja asal jangan ajak Kania sama si cowok tulang lunak," kata Ken seraya menyelipkan jarinya di sela jari Lea dengan gerakan tidak terbaca.
"Kenapa gitu?"
"Ya, gue mau berdua aja sama lo, susah banget sih!"
"Hm," Lea bergumam tampak berpikir. "Oke deh, tapi syaratnya lo harus turutin apapun yang gue mau ya?"
Ken mengangguk antusias. Matanya berbinar tampak kontras dengan rautnya yang terkesan dingin.
"Oke deh, lets go captain!"
⏱️
Ken harus berkali-kali menghela napas panjang. Giginya bergemelatuk menahan kesal.
Begini.
Ia bisa menuruti apapun keinginan Lea. Ia bahkan ikhlas mengenakan kaus bergambar anak ayam yang super imut dan topi berbentuk kucing.
Tapi, seumur hidupnya Ken tak menyangka bahwa Lea akan menyeretnya ke sini. Ke tempat rekreasi Dunia Fantasi di bilangan Jakarta Utara.
Sejak dulu Ken membenci wahana-wahana Dufan. Bukan. Bukan karena ia penakut, justru sebaliknya, halilintar dan tornado, terlalu membosankan baginya. Apalagi orang-orang yang berteriak karena menaikkinya.
Hih. Kasta terendah dari sebuah peradaban manusia.
"Lo serius ngajak gue main ke tempat anak kecil begini?"
Lea mengangguk antusias. Matanya berbinar-binar senang. Wah, rupanya singa Aslan sudah bertransformasi jadi kucing anggora.
"Ih, seru tau!" Lea menatap sekeliling. Dufan tidak terlalu ramai hari itu. Maklum, ini bukan weekdays dan tidak ada diskon. "Gimana kalau kita mulai dari Histeria?"
Ken teringat pada sebuah tiang tinggi dengan orang-orang yang terangkat ke atas, lalu dibanting ke bawah. Ia meringis membayangkan berisiknya orang-orang cupu itu.
"Nggak mau, nggak seru."
Lea memajukan bibirnya, tapi ia langsung mengajukan wahana lainnya. "Kora-kora?"
Ken menggeleng lagi. "Nggak menantang."
"Tornado?"
"Terlalu gampang."
"Terus maunya apa dong?!"
Ken mengelus-ngelus dagunya, tampak berpikir. "Itu," ujarnya seraya menunjuk pada satu titik.
Lea mengikuti arah jari Kenandra. Matanya membesar melihat wahana apa yang ingin Ken tuju. Otomatis, tawa tersembur dari bibirnya.
"Kenandra, are you kidding me?"
Lea tertawa geli melihat wahana yang ditunjuk Ken. Sebuah wahana permainan berbentuk gajah, yang menurut Lea mirip odong-odong dekat rumahnya. Bahkan, Lea bertaruh sebagian besar penggunanya merupakan anak di bawah umur.
"Gue mau naik itu," Ken masih bersikeras menunjuk wahana Gajah Bledug yang berada tak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Oh, i see," Lea bergumam sambil menyipitkan matanya. "Kenandra yang katanya jagoan ini, takut main roller coaster dan teman-temannya?"
"Enggak!" Ken berkilah cepat. Terlalu cepat sampai Lea tertawa terbahak-bahak. Kalau Bryan dan Kania tahu, bisa dipastikan dua temannya itu tidak akan takut lagi dengan cowok bermata tajam ini.
"Iya, lo takut, gue bisa lihat Ken."
"Enggak! Gue nggak takut!" wajah Ken memerah karena menahan kesal.
"Iya lo takut," Lea menjawil hidung Ken jahil. "Kenandra penakut, Kenandra penakut, Kenandra penakut."
Lea yang tengah tertawa geli tak menyadari bahwa sekelompok anak muda berlari di sebelahnya. Ia bisa saja terjatuh, kalau Ken tidak cepat bertindak. Ken menarik Lea, hingga tubuh gadis itu membentur dada bidangnya. Sebelah lengannya yang melingkar di bahu Lea, ia gunakan untuk mengurung gadis itu dengan gerak posesif.
"Lo nggak papa?" tanya Ken tanpa mengalihkan perhatiannya dari sekelompok anak muda tersebut. Seseorang di antara mereka berhenti, lalu berbalik ke arah Kenandra. Ken tak dapat melihat wajahnya, karena pemuda itu mengenakan topi berwarna hitam. Hanya saja, sudut bibir pemuda itu yang tertarik ke atas, menyalakan alarm bawah sadar Ken secepat kilat.
Instuisinya mengatakan, kejadian barusan bukanlah sebuah kebetulan.
Lea bungkam di tempatnya, bukan karena ia hampir terjatuh, namun karena telinganya yang kini bisa mendengar ritme jantung Kenandra. Rangkuman lengan keras pemuda itu. Wangi musk yang menguar dari setiap lekuk tubuhnya. Hingga gerak penyelamatan Ken yang merupakan refleks sontak menghamburkan semua akal sehat Lea.
Di selamatkan Kenandra, nyatanya lebih berbahaya dari pada terdorong, jatuh, lalu tertendang-tendang.
"Lea, are you okay?" Ken mengulangi pertanyaannya. Pemuda itu mengangkat dagu Lea agar bisa menemukan wajah gadis itu.
"Hah?" Lea mengerjapkan matanya beberapa kali, sebelum menganggukan kepalanya. "Iya, gue nggak papa."
Lea menghembuskan napas tidak ketara. Inget Lea, inget, ini Ken bukan Mahesa!
Tak ingin berlarut-larut dalam kegugupannya sendiri, Lea langsung membelokan topik, mengembalikan pembicaraan mereka yang tadi terhenti.
"Jadi, kita mau main apa?"
Ken tak langsung menjawab, matanya masih tertuju ke tempat dimana sosok tadi menghilang.
"Kenandra!" seru Lea menarik Ken dari lamunannya. Ken menggelengkan kepalanya sekilas, untuk mengembalikan fokusnya pada Azalea. Apapun itu, tak ada yang boleh merusak waktunya untuk berduaan dengan Azalea.
"Apa?"
"Main dimana?"
"Di situ kan gue bilang," Ken masih bersikeras untuk menaiki gajah-gajahan.
"Lo beneran sepenakut itu ya?"
"Gue nggak penakut dibilang!" seru Ken keras. Harga dirinya terluka dibilang cowok penakut.
"Kalau gitu kita naik halilintar."
"Nggak mau!"
"Gini aja, kita buktiin lo penakut apa enggak." Sebuah ide melintas di kepala Lea. Mungkin ini jadi satu-satunya cara untuk mengorek keberadaan Mahesa dari kembarannya. "Kalau lo ternyata teriak, lo harus nurutin satu permintaan gue. Kalau lo nggak teriak, gue akan nurutin satu permintaan lo."
Mendengar tawaran Lea, Ken sontak menoleh. Jelas sekali bahwa ia tertarik. Ken mengerutkan dahinya, tampak sedang berpikir keras.
"Apa permintaan lo?" tanya Ken tak mau gegabah. Kesepakatan harus dibuat di awal.
Lea merapatkan bibirnya, lalu meraih satu tangan Kenandra. Berusaha untuk membujuk. "Kasih tahu gue, dimana keberadaan Mahesa."
Mata Ken melebar, secepat kilat ia hempaskan tangan Lea yang menggenggam telapaknya. "Nggak! Gila lo ya!"
"Kenandra, please," suara Lea tampak memohon, membuat Ken menjambaki rambutnya frustrasi. Ternyata, ia memang tak bisa berada di sisi Lea tanpa bayang-bayang Mahesa.
"Oke, fine!" Ken berseru keras, tampak begitu gusar. Kini, ia menatap Lea tajam. Memerangkap sosok Lea dalam lensa jelaganya. "Tapi kalau gue nggak teriak, maka lo harus lupain Esa, mulai semuanya sama gue! Gimana? Deal?"
Lea ingin mengelak, tapi suara dan sorot mata Ken seolah titah yang tak pernah sanggup Lea tolak. Lea si gadis keras kepala, kini ikut tunduk pada pesona seorang Kenandra Januar.
"Deal!"
Ken menghela napas pajang, lalu mengamit Lea menuju wahana halilintar. Mereka berdua tak sadar, bahwa beberapa meter dari tempat keduanya berdiri, seseorang berdiri menatap punggung mereka. Seringai terbentuk di bibirnya. Pemuda itu melepaskan topinya. Menunjukan keseluruhan wajahnya. Seseorang yang dalam mimpi pun tak pernah Lea bayangkan akan menatapnya penuh kebencian.
⏱️
Lea tak pernah membayangkan kalau menghabiskan waktu bersama Ken ternyata bisa semenyenangkan ini. Ken berhasil menepati janjinya untuk tidak berteriak selama mereka menaiki wahana halilintar, tekadnya untuk membuat Lea melupakan Mahesa rupanya jauh lebih besar dari seluruh rasa takutnya. Meski setelah mereka turun Ken mengeluarkan seluruh isi perutnya, yang tentu saja membuat Lea terbahak-bahak.
Ngaku jagoan, naik roller coaster aja muntah-muntah.
Namun dengan sangat pengertian-yang sesekali diselipi ledekan-Lea memakluminya. Jadi, setelahnya tak ada satupun wahana ekstrim yang mereka pilih.
Selain kenyataan bahwa Ken adalah seorang penakut, Lea juga baru tahu kalau pemuda itu juga belum pernah main ke Dufan sama sekali. Seperti anak kecil, matanya tampak berbinar ketika Lea mengajaknya menaiki bianglala, rumah boneka, kuda-kudaan dan wahana kelas ringan lainnya. Lea sempat bertanya, kenapa Ken tidak pernah datang ke Dufan, senyum sinis terbit di bibirnya.
"Kalau lo bertanya soal pengalaman masa kecil gue, maka cuma dua jawabannya; dipukulin atau dikunciin di kamar mandi."
Jawaban tersebut cukup untuk membuat Lea bungkam dan menyesali kebodohannya mengungkit luka lama.
Saat ini mereka berdua tengah berdiri di salah satu sisi La Bridge, menunggu panorama yang paling dinantikan oleh para penikmat senja; moment matahari terbenam.
Koloni burung terbang di atas laut, kepakan sayapnya membelah langit jingga yang serupa tumpahan cat pada kanvas maha luas. Senja hari ini terpantul sempurna di atas laut, berwarna jingga dengan sapuan merah merekah.
"Hari ini, laut dan matahari terbenam kembali menjadi saksi," gumaman Ken di sampingnya membuat Lea menoleh.
"Eh?" dahinya mengernyit. Sepertinya ia pernah mendengar kata-kata yang serupa?
"Iya, kayak hari di mana pertama kalinya gue manyatakan lo sebagai pacar gue, hari ini matahari terbenam dan laut kembali jadi saksi," Ken menoleh ke arah Lea, menatap gadis itu tepat di manik mata, menguncinya dalam detik yang berdetak. "Hari pertama seorang Azalea Prameswari menggenggam tangan gue lebih lama dari hari lainnya, hari pertama dimana seorang Azalea Prameswari ketawa karena gue, hari pertama dimana seorang Azalea Prameswari melihat gue sebagai Kenandra, bukan Mahesa Januar."
Lea bungkam. Lidahnya terlalu kelu untuk berkata-kata. Hangat dan dingin menyebar dalam dadanya. Sebersit rasa bersalah muncul, ketika ia menyadari bahwa selama ini ia memang selalu berusaha membentangkan jarak di antara di antara dirinya dan Kenandra. Namun bersamanya juga, sebuah perasaan hangat menyeruak dalam gerak yang lambat. Hangat itu menyebar dengan begitu perlahan. Membuainya dalam sebuah rasa nyaman yang tak mampu Lea definisikan arti keberadaannya.
Ken tersenyum, sebelah tangannya mengusap pipi Lea lembut. Dalam keadaan normal, tangan itu akan Lea enyahkan di detik pertama kulit mereka bersentuhan, tapi kali ini tidak. Lea tidak bergerak sedikitpun. Ia biarkan dirinya hanyut dalam mata jelaga milik Kenandra. Ia biarkan pemuda itu mengatakan segalanya melalui sorot yang jauh lebih jujur daripada kata-kata.
Lensa hitam itu tak seteduh milik Mahesa, namun entah mengapa di antara tajamnya mata Kenandra, dapat Lea temukan sorot lembut yang memang Ken simpan untuk dirinya. Seolah memang hanya untuk Lea-lah sorot lembut itu tercipta.
Ken menghembuskan napasnya perlahan, ada keputus-asaan dalam iris gelapnya.
"Gue nggak bisa bilang di mana Mahesa, dan gue juga nggak bisa membawa dia ke hadapan lo, cuma yang harus lo tahu, dia akan baik-baik saja." Ken meraih sebelah tangan Lea, lalu meletakan sesuatu di atas telapak tangan gadis itu. Lea terdiam melihat benda pipih yang kini tergeletak di atas tangannya. Sebuah cincin. Cincin yang ia lemparkan beberapa waktu yang lalu. "Gue sudah memberi tahu apa yang harus lo tahu, jadi sebagai gantinya tolong simpan ini. Nggak usah lo pakai, lo simpan aja udah cukup untuk gue."
Lea menggigit bibir bawahnya, membagi tatapan antara cincin dan pemuda di hadapannya. Seperti yang Ken katakan, matahari yang bergerak lambat menuju garis cakrawala menjadi saksi mereka hari ini. Saksi bagaimana Lea menggenggam tangan Ken begitu erat, saksi saat Ken menggenapkan seluruh usahanya untuk meraih hati gadis itu, dan saksi bagaimana akhirnya Ken berbalik meninggalkan Azalea tanpa mengucapkan apa-apa.
Matahari terbenam menyaksikan, bagaimana Lea menatap punggung kesepian Ken dengan tatapan nanar, sebelum akhirnya menyusul pemuda itu tanpa mengenakan cincin pemberiannya.
⏱️
Sekitar pukul delapan malam, akhirnya mobil Ken menepi di depan pagar rumah Azalea. Percakapan mereka di La Bridge tadi rupanya tidak berdampak besar, kecanggungan beberapa waktu itu langsung terbakar habis tak sampai lima menit kebersamaan mereka di dalam mobil. Perdebatan-perdebatan tak penting masih memegang peran nomor satu di antara keduanya. Mulai dari masalah pemilihan lagu, cara Ken menyetir yang sembarangan, sampai kebiasaan pemuda itu memaki setiap kali lampu merah menghadang mereka.
"Besok gue jemput," gumam Ken sedetik setelah Lea melepaskan seatbeltnya. Tentu saja gumaman itu bernada ancaman.
"Kalau gue bilang nggak mau, memangnya boleh?" Lea bertanya retoris. Ia selalu kesal menghadapi sikap posesif Kenandra.
"Boleh, tapi artinya besok lo ngizinin gue ikut di semua kelas lo mulai dari pagi sampai sore. Gue nggak keberatan kok dengerin dosen lo ngoceh panjang lebar."
Lea mendengus sebal. Bisa ia bayangkan seheboh apa kelasnya kalau kedatangan satu mahluk seperti Kenandra. Oh, jangan sampai lupa, seluruh anggota kampus- kecuali Lea, Bryan dan Kania-masih mengira bahwa Mahesa adalah sosok tunggal. Jadi, keputusan Lea untuk membiarkan Ken menjemputnya semata-mata demi melindungi reputasi Mahesa dan menjauhkannya dari keribetan dunia perlambean.
"Azalea?" panggil Ken tepat ketika Lea membuka pintu.
"Apa lagi?!"
"Jangan lupa pesan gue, malam ini mimpiin gue, bukan Mahesa!" satu lagi kalimat bernada otoriter. Dasar Kenandra Hitler Januar!
"Whatever!" sentak Lea seraya membanting pintu mobil. Meski begitu tak ada yang tahu bahwa keduanya diam-diam tersenyum kecil. Setelah melambaikan tangan, Wrangler itu kembali melaju, meninggalkan Lea yang berdiri tempatnya. Gadis itu mengeluarkan cincin Ken dari saku celananya, lalu mengaitkan cincin itu di kalung polosnya. Tanpa sadar Lea tersenyum ketika cincin perak tersebut menggantung di lehernya.
⏱️
Keluar dari kawasan perumahan Azalea, Ken melambatkan laju rodanya, matanya memicing melirik spion kanannya. Seperti dugaannya, mobil sedan di belakangnya ikut melambat.
"Brengsek, siapa lagi yang mau main-main sama gue hari ini?" Ken berdesis ketika melihat laju mobil tersebut semakin tampak hati-hati. Tepat ketika Ken memutar roda kemudinya, sedan itu berbalik arah.
Detik setelahnya kedua mobil tersebut membelah jalan raya. Jalanan yang lengang memberikan mereka peluang untuk terus menambah laju kendaraan. Ken mengeratkan pegangannya pada stir, rahangnya mengeras melihat mobil yang sejak tadi ada di belakang Wranglernya kini memompa habis-habisan mesinnya untuk memperluas jarak. Manuver-manuver tajam yang dibuat mobil tersebut berkali-kali mengundang makian pengendara yang lain, tak terhitung lagi berapa kali suara kanvas rem berdecit karena dipaksa berhenti tanpa aba-aba.
Sejak di Dufan tadi, Ken sudah menyadari ada seseorang yang memperhatikan gerak-geriknya dengan Lea. Orang itu mengikutinya, bahkan ketika mereka berdiri bersisian di tepi jembatan. Pikirannya melanglang buana ke beberapa nama, namun biasanya hanya ada satu orang paling sialan yang mengutus pesuruhnya untuk membekuk Kenandra sebelum menjadikannya seorang tawanan. Geraldi Januar.
Keramaian di jalan protokol, membatasi laju roda mereka. Kemampuan Ken untuk menyalip memberikan peluang lebih besar baginya untuk membantai jarak. Tapi seperti tak kenal kata menyerah, sedan itu berbelok, menuntun mobil Ken menuju perempatan jalan besar yang lebih ramai.
Ketika jarak mereka semakin dekat, sedan itu meliuk tajam, lantas menerobos lampu merah hingga sampai ke seberang jalan. Ken hampir menyusul, namun perhitungannya salah. Sebuah truk besar nyaris manghantam mobilnya, namun dengan lekas Ken membuat manuver tajam, mengundang umpatan pengendara lainnya.
Kanvas rem berdecit, Wrangler hitam itu nyaris menghantam pohon besar di pinggir trotoar.
Tak ingin melepaskan mangsa, Ken turun dari mobilnya, berniat menerobos keramaian jalan dengan kakinya sendiri. Namun ia terlambat, lampu hijau di sisi lain jalan membuat kendaraan dari arah kanan melaju dengan kecepatan gila-gilaan. Tubuhnya ditahan oleh pengguna jalan lainnya.
Sementara di seberang sana, pengemudi sedan itu turun dari mobilnya, tanpa melepas topinya, ia berdiri menatap Kenandra dengan seulas senyum kemenangan.
Kenandra mengatupkan bibirnya. Ia melihatnya! Tepat sedetik sebelum truk besar memisahkan batas pandangnya dengan seseorang di seberang sana.
Seringai itu...
seringai itu...
tampak familiar baginya!
⏱️
Lea baru selesai mandi ketika Maminya mengetuk pintu kamar.
"Masuk Mi," gumam Lea seraya meraih ponselnya. Ada rentetan chat dari Kania dan Bryan dan beberapa missed call dari Nugi. Gadis itu langsung membuka fitur pesan, lantas bertanya mengenai alasan Nugi menelepon.
"Baru pulang?" tanya Maminya seraya menyerahkan secangkir cokelat hangat.
Lea menganggukan kepala, sedikit merasa bersalah karena bolos kuliah hari ini.
"Kelasnya sampai sore tadi, Le?"
Sekilas Lea ragu, kalau ia mengangguk, berarti ia berbohong. Kalau ia mengaku, wah Maminya bisa mengomel, tahu kebiasaan putrinya yang gemar membolos.
"Iya, Mi, tugasnya banyak," Lea menghindari menatap mata Maminya, takut ketahuan berbohong. Namun, detik selanjutnya Lea harus menjerit, karena maminya menarik kupingnya keras-keras.
"Aduh, Mami ampun ampun, sakit," Lea berusaha mengenyahkan tangan Maminya, sementara satu tangannya sibuk menjaga keseimbangan agar susu cokelatnya tidak tumpah.
"Hm, bagus ya anak Mami, belajar bohong dari siapa?"
"Ampun Mami, ampun, sakit, Mam!"
"Kelasnya siapa kamu sampai sore? Wong Kania sama Bryan ke rumah tadi siang, laporan kamu bolos dari jam mata kuliah pertama."
Kania dan Bryan sialan! Ingatkan Lea untuk menjahit mulut kedua temannya besok!
"Ampun Mi, ampun, janji nggak bolos lagi!"
"Jawab dulu, tadi kemana?!"
"Ke Dufan sama Ken!" seruan Lea sontak membuat Mami melepaskan jiwirannya. Lea kira, kupingnya terbebas untuk bersiap menerima serangan lainnya. Namun ternyata tidak. Maminya justru kini menatapnya dengan mata berbinar.
"Kamu jadian sama Kenandra?"
"Hah?"
"Itu barusan? Kamu bilang kamu jadian sama Kenandra?"
"Aku bolos sama Kenandra, Mami! Bukannya jadian!" seru Lea seraya menggosok-gosok telinganya yang masih terasa panas.
"Yaudah sama ajalah," Mami mengibaskan tangannya membuat Lea melotot. "Nggak apa-apa bolos kalau sama Ken sih, Mami ikhlas kuliahin kamu ngulang berapa matkul juga."
Ini ada yang salah. Benar-benar ada yang salah. Maminya pasti sudah ketularan virus Kania dan Bryan.
"Apaan sih, Mami!"
"Ih, Mami serius lagi, by the way kapan mau bawa Ken atau Mahesa ke rumah? Mami mau lihat juga dong muka gantengnya? Atau kamu punya fotonya?"
Tak ingin obrolan ini berlanjut ke tahap yang lebih berbahaya, Lea tersenyum lalu mendorong tubuh Maminya.
"Mami, Lea ngantuk nih, besok masuk kuliah."
"Loh, loh, loh, kamu ngusir Mami?" Kinara Ilyas melotot melihat perlakuan anaknnya, namun Lea hanya melebarkan senyumannya sambil terus mendorong tubuh Maminya.
"Mami, Lea besok masuk pagi nih."
"Jawab dulu, kapan mau ajak mereka?"
Lea tak menjawab hanya melebarkan senyuman, seraya berkomat-kamit dalam hati, memohon agar tidak kena kutukan karena durhaka terhadap orang tua. Sampai pintu di tutup, Lea masih dapat mendengar suara Maminya yang menyebutkan nama Mahesa dan Kenandra.
Maminya nggak tahu aja, separah apa kelakuan Kenandra.
Setelah memastikan bahwa Mami tidak akan mengganggunya lagi, Lea membanting tubuh di atas kasur. Matanya beralih pada ponselnya yang bergetar. Sebuah pesan dari Nugi.
From: Nugi.
Akhirnya jawab juga. Gue nungguin lo seharian di kampus lo, loh.
Lea menepuk jidatnya mengingat pesan Nugi yang ia abaikan kemarin malam. Meski bukan salahnya, karena Nugi menunggunya tanpa persetujuan darinya, namun tetap saja Lea merasa tak enak hati.
Dengan gerak cepat Lea mengetikkan sebuah balasan untuk Nugi.
To: Nugi.
Sori, tadi gue agak sibuk, nggak tau lo nungguin. Ada perlu apa emangnya?
Tak sampai beberapa detik kemudian, Nugi sudah kembali membalas pesannya.
From: Nugi.
Gue perlu bantuan lo nih, urgent bgt, plis, bisa ya?
Lea mengerutkan keningnya, tapi hanya sesaat. Ia sebenarnya tahu apa yang Nugi butuhkan darinya. Nugi sudah sempat menyinggungnya beberapa kali, soal menjadikan dirinya sebagai model bidikan kameranya. Meski begitu, Lea tetap mengetikkan pertanyaannya.
To: Nugi.
Bantuan apa?
Seperti sebelumnya, pesan itu terbalas hanya beberapa detik setelah pesan Lea terkirim.
From: Nugi.
Besok lo balik jam berapa? Gue jemput ya? Nanti gue jelasin sambil makan.
Lea menggigit bibir bawahnya. Ia membayangkan dirinya yang akan kembali menjadi tawanan Kenandra seperti beberapa hari terakhir, dan rasanya tak enak menolak permintaan Nugi terus-menerus, bagaimanapun Lea berhutang budi pada pemuda itu.
To: Nugi.
Nggak usah dijemput, kita ketemuan aja jam 3 sore. See u.
Setelah membaca jawaban persetujuan serta tempat pertemuan, Lea mematikan ponselnya. Sengaja, agar Ken tidak sempat meneleponnya dan memerintahkan hal aneh-aneh semacam memimpikan dirinya.
Namun tanpa Lea sadari, ketika ia hendak terlelap, dengan otomatis bibirnya bergerak.
Selamat tidur Ken, mimpi indah.
----
A/n: Yeay!
Gimana part 21?
Panjangkan? 3000 words lebih ini cui. Nggak kurang dong yaaa?
Anyway yang #TeamEsa harap bersabar, ini ujian. Nanti akan ada masanya Esa akan muncul kok.
Tapi kayak yang gue bilang;
Jangan percaya siapapun! Tokoh di cerita ini rata-rata sinting semua.
Udah deh ya,
Mau ikut Ken naik Gajah Bledug.
Salam sayang,
InnayahP.
30/02/18.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro