Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20 | Punggung Paling Kesepian

I am sorry they abandoned you

when you needed them the most and

it has made you believe that

love is an awful thing that hurts.

(Nikita Gill)

⏱️

Azalea menjatuhkan dirinya di atas genteng. Matanya merambat ke sekeliling, lalu menghembuskan napas lelah saat menyadari bahwa tak ada jejak Mahesa yang tersisa di sana.

Sudah hampir satu jam Lea membedah tanaman-tanaman mawar di rooftop FISIP. Ia bahkan membongkar beberapa pot di sana, namun tetap saja Lea tak menemukan petunjuk apapun.

Padahal hanya rooftop inilah yang menjadi saksi bahwa Mahesa pernah ada. Hanya di rooftop ini pertemuan mereka terasa lebih intim, bukan hanya sebagai dua orang asing yang kebetulan berkuliah di fakultas yang sama.

Getaran di sakunya mendistraksi lamunan Lea. Lea meraih ponselnya hanya demi menemukan panggilan dari Ken yang kesekian.

Dengan gerakan tak acuh di gesernya layar.

“Susah banget ya nelepon lo langsung di angkat?” belum apa-apa saja Ken sudah bersungut di ujung sana.

“Kan lo yang bilang, lo lagi marah?”

Ken berdecak di ujung sana, samar-samar Lea mendengar Ken mengomel panjang pendek. “Terus kalau gue marah, lo nggak mau usaha ngebaikin gitu? Lo kenapa ngeselin banget sih? Lebih ngeselin lagi karena gue nggak bisa marah sama lo.”

Bukan jenis gombalan, Lea tahu Ken benar-benar gusar.

“Ngadepin orang ngeselin, harus sama ngeselinnya, right?”

“Terserah!” seru Ken kesal. Kalau orang lain yang menyahutinya seperti Lea, bisa dipastikan hidupnya tidak akan tenang, untungnya ini Azalea. “Lo dimana? Gue tanya Kania sama Bryan, katanya lo udah berangkat ke kampus?”

Lea mengedarkan pandangannya ke sekitar, menimang-nimang apakah akan memberikan Ken akses untuk menghampirinya ke sini.

“Dimana?” tanya Ken tak sabaran.

“Di rooftop FISIP,” jawab Lea akhirnya. Tak ada salahnya membawa Ken ke sini, toh taman ini juga kado kembarannya untuk ibu mereka.

“Oke gue ke sana,” tukas Ken sebelum memutuskan sambungan. Tak lama kemudian Ken muncul dari balik pintu. Hari ini pemuda itu kembali ke dandanan asalnya, ripped jeans  hitam serta jaket Levis berwarna senada. Lea tak bisa menahan geli, saat melihat kaus bergambar anak ayam yang mengintip di antara jaket tersebut.

“Nih,” Ken menyodorkan sebuah sterofoam berwarna putih.

“Apaan ini?” tanya Lea seraya menerima bungkusan tersebut.

“Bubur ayam, gue yakin lo terlalu sibuk mikirin Mahesa sampai lupa sarapan,” ujar Ken dengan wajah tertekuk. Bibirnya mengerucut dan wajahnya seperti anak kecil yang merajuk.

Kalimat Ken membuat Lea tergelak di tempatnya.

Thanks ya, gue nggak tahu kalau lo bisa perhatian juga.” Lea tersenyum lebar, lalu mulai menyuap bubur ayamnya. Ken benar, ia memang tak sempat sarapan tadi pagi. Sejak terbangun jam 3 tadi malam, nama Mahesa terus mengganggu benak Lea, hal itulah yang membawanya untuk datang ke rooftop ini pukul delapan pagi.

“Percuma gue perhatian, kalau yang diperhatiin malah sibuk mikirin orang lain.”  Ken mengeluarkan sebatang rokok dari sakunya, namun gerakannya terhenti ketika ia hampir menyulut sumbunya. Pemuda itu terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya menyimpannya kembali.

“Kenapa kok nggak jadi?” tanya Lea heran. Beberapa hari menghabiskan waktu bersama Kenandra membuat Lea paham, bahwa rokok sudah menjadi kebutuhan pemuda tersebut. Tingkatnya setara dengan sandang, papan dan pangan.

“Kata Rully cewek nggak suka bau rokok, kata Bryan sama Kania lo juga nggak suka bau rokok dan Mahesa pun nggak pernah merokok di depan lo kan?”

Untuk kesekian kalinya tawa Lea berderai mendengar penuturan polos Kenandra. “Gue nggak suka bau rokok, tapi gue nggak masalah kok.”

“Tapi gue yang nggak suka kalau lo kena asap rokok.”

Lea otomatis tersenyum mendengarnya. Diam-diam ia sedikit tersanjung dengan sikap Kenandra.

“Hah, kesel!” Ken tiba-tiba berseru lagi.

“Kesel kenapa sih?”

“Lo masih nggak sadar juga ya, kalau gue sama Mahesa tuh jelas nggak bisa di bandingin, gue lebih segala-gala-gala-galanya dibanding anak manja itu!” Ken menatap Lea kesal, membuat Lea diam-diam tersenyum.

“Lebih nyebelin, lebih rese, lebih kasar maksudnya?” bukan sebuah pertanyaan, kalimat Lea barusan adalah sebuah pernyataan. Lea menyuap bubur terakhirnya lalu melempar bungkusnya ke tempat sampah.

“Ish!” Ken berseru gemas, ia menakup wajah Lea, sehingga mata gadis itu kini hanya terpaku pada sosoknya. “Bukan itu, lo nggak sadar ya siapa yang selalu ada buat lo? Gue, bukan Mahesa!” Ken menepuk dadanya, lalu mulai berkelakar panjang.

“Coba pikir, lo selalu jadi orang yang ngehubungin Esa, walau dia nggak bales pesan lo, sedangkan gue? Gue selalu jadi orang pertama yang ngehubungin lo! Waktu lo nggak bisa tidur karena mikirin Mahesa, bukan dia yang telepon lo, tapi gue! Dan sekarang,” Ken melirik sterofoam yang sudah berada di tempat sampah. “Saat lo bahkan lupa makan  karena Esa, gue yang bawain lo makanan, bukan si culun itu!”

Lea mengerjapkan matanya beberapa kali, menyadari kebenaran dalam kalimat Kenandra.

“Jadi lo pamrih?” tanya Lea yang langsung dijawab Ken dengan anggukan.

“Iyalah! Emang kurang jelas gue begini biar lo lebih milih gue daripada Mahesa?”

Lea mengulum senyumnya, entah mengapa kalimat Ken yang blak-blakan dan apa adanya tampak lugu dan polos di matanya.

“Coba sekarang kasih tau gue, apa yang buat seorang Mahesa Januar bisa bikin lo jatuh cinta?” tantangan Ken, membuat Lea mengerutkan keningnya.

Sebenarnya ada banyak hal yang membuat Lea jatuh cinta pada seorang Mahesa Januar, tapi Lea berusaha menemukan hal paling sederhana. Mata gadis itu bergerak ke kanan ke kiri, sampai akhirnya terhenti pada susunan bunga mawar di pinggir rooftop.

“Mawar,” jawab Lea spontan. Ken mengerutkan keningnya, tidak mengerti. “Mawar-mawar itu salah satu hal yang bikin gue jatuh cinta sama Esa.”

Lea menunjuk ke arah susunan mawar di seberang mereka.

“Katanya lo nggak mau disamain sama kuburan?” ada nada protes dalam suara Ken. Tak adil kalau seandainya Lea menyukai mawar dari Esa dan membenci satu truk mawar darinya.

“Mawar itu Esa yang nanam, tapi bukan buat gue.”

“Terus buat siapa?”

“Rosaline,” mendengar jawaban Lea, Ken sontak membeku. Geraknya terhenti, jantungnya mencelos, sebuah balok es seperti baru saja di hujam tepat di jantungnya. “Nama nyokap lo kan?”

Ken tak menjawab Lea, dan Lea pun masih tak menyadari perubahan raut wajah Kenandra.

“Mahesa yang buat taman kecil itu, buat ngenang ibu kalian.” Mata Lea menerawang, senyum terkembang di bibirnya, ada kekaguman dalam nada suara Lea yang tak mampu gadis itu sembunyikan. “Gue selalu suka melihat laki-laki yang mencintai ibunya, mungkin itu salah satu hal yang buat gue jatuh cinta sama kembaran lo.”

Ken tak lagi mendengarkan kalimat Lea, fokusnya sudah pecah, berserakan menuju masa lampau.

Berbagai kepingan kenangan terbit dalam benaknya. Serpihannya serupa pecahan gelas kaca yang mampu melukai Ken hanya dalam satu goresan. Ada yang berdarah di dadanya hanya karena sebaris nama yang Lea sebutkan.

Mata hitam itu kini tampak kosong. Tertatih, Ken menyeret kakinya melangkah menuju susunan bunga di pinggir rooftop.

Lea yang masih tak mengetahui perubahan sikap Ken hanya memperhatikan Ken dari tempatnya. Ken berjongkok, membaca satu persatu aksara yang tertera di potnya.

Selamat hari ibu.

Selamat ulang tahun.

Terima kasih mama, sudah melahirkan kami ke dunia.

Pada tulisan tersebut, mata Ken terhenti. Pandangannya mengabur karena air mata. Sakit. Sakit sekali. Tak terhitung berapa waktu yang ia habiskan untuk membunuh luka ini. Tak terbilang berapa kali ia jatuh dan terpuruk demi membakar habis semua kenangan masa lalu. Ia pikir ia sudah kebal terhadap luka, namun ternyata tidak. Mamanya tetap menjadi titik terlemahnya.

Mati kamu anak sialan!

Karena kamu istri saya mati!

Dasar anak tidak berguna!

Suara-suara itu bergema dalam tempurung kepalanya, merampas seluruh oksigennya, membunuh Ken dalam satu sentakan. Dari tempatnya, Lea hanya memperhatikan. Tubuh Ken yang bergetar, membuat gadis itu mengerti bahwa Ken tidak baik-baik saja.

“Ken?” panggil Lea seraya menghampirinya.

Tak ada jawaban.

“Kenandra?” panggil Lea sekali, nada suaranya lembut dan takut-takut.

Tanpa Lea duga tiba-tiba saja Ken menendang semua pot di sana, seperti orang kesetanan ia melempar seluruh mawar yang sebelumnya tersusun rapih.

Lea tersentak, tubuhnya tersungkur ke belakang karena dihempas Kenandra.

“Bangsat bangsat bangsat!” Ken berteriak kencang, kemarahan tergambar jelas dalam kedua bola matanya.

“Dasar bego! Dasar goblok! Sialan!”

Ken menginjak semua pot yang ada di sana. Tangkai-tangkai mawar patah di bawah kakinya. Bunga-bunga tak berdosa itu remuk tak terselematkan. Napas Ken memburu. Ia hantam tanaman-tanaman tersebut, melempar ke mana saja yang mampu ia jangkau, seakan mawar-mawar itulah yang bertanggung jawab atas segala sesaknya.

Tidak! Matinya bunga-bunga itu bahkan tak sebanding dengan kehancurannya!

Lea masih terkesiap. Disaksikannya bagaimana Ken melampiaskan seluruh amarahnya. Pemuda itu lepas kendali. Seperti ditampar kenyataan, Lea baru menyadari, apa yang membuat Ken benar-benar berbeda dari Mahesa.

Kenandra Januar memiliki luka yang  bahkan tak dimiliki kembarannya.

Lea tak tahu apa yang terjadi, hanya saja melihat luka di mata Ken turut menyakitinya. Tanpa sadar ia memeluk Ken erat.

Sebentuk prilaku spontan yang ternyata sanggup meluluh lantakan emosi Ken. Napasnya yang semula memburu, perlahan terhela teratur, yang pada detik-detik kemudian justru terdengar seperti keputus-asaan yang tidak pernah mengenal batas.

“Ken,” panggilan lirih Lea genap meluruhkan seluruh pergolakan emosi Ken, pemuda itu jatuh terduduk di atas aspal yang dingin. Ia benamkan wajahnya pada kedua lutut. Tubuhnya bergetar, dan air mata itu akhirnya runtuh juga.

Lea hanya diam menyaksikan. Di depan matanya kini seorang Kenandra melepaskan jubah ketegarannya. Topengnya hancur hanya dalam satu kalimat. Baju zirahnya telah sudah tumbang sempurna.

Kenyataannya Kenandra tak lebih dari seorang pemuda yang kesepian.

Lima belas menit berlalu mereka biarkan untuk hening yang mengisi. Sampai pada akhirnya getar suara itu meretakkannya. Lirih dan penuh kesakitan. Gambaran nyata bagi sebuah luka yang mungkin tidak pernah sembuh.

“Kelahiran kami adalah kesalahan,” gemerlatuk gigi Ken terdengar di antara keputus-asaannya. “Baik gue maupun Mahesa, seharusnya nggak pernah ada di dunia.”

Lea tak bersuara, satu-satunya yang ia lakukan adalah diam mendengarkan. Disaksikannya punggung Kenandra yang tampak begitu bergetar. Ia sudah banyak menyaksikan orang-orang yang tenggelam dalam kesendirian, tapi baru kali ini ia saksikan punggung paling kesepian.

“Perempuan itu aktris utamanya, dia yang paling bertanggung jawab atas semuanya.” Meski Ken tak menyebutkan secara gamblang namun Lea bisa memperkirakan siapa perempuan yang Ken maksud. Perempuan yang membuat Mahesa Januar sibuk membangun taman kecil ini. Rosaline Januar.

“Dia menghancurkan kami. Ayah menyalahkan kami karena kepergian dia,” ada sekat dalam suara Ken yang tak mampu disarukan oleh angin. “Sejak kecil, Ayah membenci kami, kesalahan sedikit saja kami kena pukul. Gue berkali-kali merasa diambang kematian, gue sering dijadikan objek pelampiasan, tapi itu belum cukup, bagi Ayah, nyawa harus dibayar nyawa, kematian kami adalah harga mutlak untuk kematian Mama.

“Tapi dari dulu Mahesa pengecut,” suara Ken bergetar, kemarahan tertahan di sana. “dia selalu lari setiap Ayah cari kami, dia selalu sembunyi. Pada akhirnya, guelah satu-satunya orang yang nanggung semua kesakitan.”

Lea terkejut, tapi tak mampu berkata-kata. Otaknya memilah sebuah cerita yang baru saja di sampaikan. Akhirnya ia mengetahui alasan mengapa kembar identik itu seperti koin dengan sisi yang berbeda. Terlanjur banyak luka yang Ken terima, terlalu banyak kesakitan yang Ken simpan untuk dirinya, terlampau banyak kemarahan yang harus ia redam sendirian.

Tapi Lea tak bisa menyalahkan Mahesa. Siapapun takkan siap menghadapi sebuah luka dengan lapang dada.

“Mereka semua brengsek, Lea!” Ken berseru marah, matanya menyiratkan dendam yang tidak akan pernah tuntas. “Ayah, dia bajingan! Mahesa? Pengecut! Dan Mama?” Ken menjedanya sejenak, napasnya memburu.

“Mati untuk hidup kami? Omong kosong!” Ken berteriak lantang, menyumpah orang yang telah lama kembali pada perut bumi.  “Kalau dia harus mati, kenapa dia ngelahirin kami? Kalau memang bayarannya harus nyawa, untuk apa dia membiarkan kami hidup? Kalau memang sepanjang hidup kami, kami harus terus merasa bersalah, untuk apa dia mengorbankan dirinya?!”

“Dia bukan berkorban, Lea, dia hanya tidak bertanggung jawab.” suara Ken perlahan melemah, namun entah kenapa pancaran dari matanya justru membuat Lea merasa tercekik.

“Kenapa...? Kenapa dia harus mati demi kami?” Putus asa. Pada setiap kalimat yang Ken ucapkan adalah gema dari keputus-asaan. Sebuah tanya tanpa jawab yang tak pernah lelah Ken ajukan. 

Setetes air mata Lea ikut luruh, detik berikutnya ia memeluk Ken dengan erat. Membiarkan pemuda itu menangis di balik punggungnya. Melampiaskan seluruh kemarahannya. Melenyapkan seluruh kesakitannya.

Dengan sebuah harapan, pada suatu hari nanti Ken bisa berdamai pada dirinya sendiri. Karena dalam kemarahan yang sejak tadi Lea dengarkan, ada satu perasaan yang sebenarnya tergambar begitu jelas; sebuah rasa bersalah.

———
A/n:

Hhhhh. Part 20! Yay!

Wdyt?

Gimana gimana? #TeamEsa kapan pindah kapal jadi #TeamKen? Apa tetep jadi #TeamEsa sampe akhir?

Buat yang kangen Esa coba di tahan dulu kangennya ya wkwkwkkwk.

Sebenernya BT update AF tapi wattpad dr kemaren nggak bisa upload foto. Entah memang wattpad error atau wattpad gue doang yang error?

Yaudahlah ya. Ini aja dulu, semoga kalian suka dan menunggu part selanjutnya.

Salam sayang,

Innayah Putri.

27/03/2018.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro