15 | Yang Tak Pernah Bersahabat Dengan 'Masa'
Do something instead of killing time. Because time is killing you.
(Paulo Coelho)
⏱️
"Maksudnya apa, Pa? Dia ke rumah sakit kamu?" tanya Kinara dengan nada menuntut. Lewat mata Prama, Kinara tahu, suaminya telah menyembunyikan banyak hal.
"Dengerin Papa dulu, Ma," Prama menepuk sofa di sampingnya. Kinara menurut, ia butuh penjelasan Prama, sejelas-jelasnya.
Sejenak, Prama menghela napas sebelum mulai bercerita. "Keadaan Mahesa dan Kenandra tidak sesederhana itu."
"Ken...andra?" suara Kinara tersekat, mengeja nama yang ia hafal di luar kepala. Rindu menjelma menjadi genangan di kelopak matanya. Hening menguasai mereka sesaat, sebelum sebuah cerita mengalir dari bibir Prama.
⏱️
Angin malam yang berhembus menampar-nampar pipi Azalea lembut. Gadis itu duduk di tepi birai, seraya menatap bulan pucat di atasnya. Melihat titik-titik bintang di angkasa, mau tak mau Lea teringat pernyataan Mahesa kemarin. Tanpa ia cegah, pipinya mulai mengeluarkan rona kemerahan.
Kemarin, setelah mendapatkan pengakuan mengejutkan, Lea sama sekali tidak memberikan reaksi. Satu-satunya yang ia lakukan hanya mengerjapkan matanya bingung. Waktu seolah bergerak lebih lama dari biasanya, sampai Mahesalah yang pertama kali memutus kecanggungan.
Pemuda itu tersenyum lembut, manatap Azalea dengan sorot yang teduh.
"Tidak usah dijawab sekarang, saya yakin kamu membutuhkan waktu untuk berpikir." Mahesa menyelipkan rambut Lea di belakang telinga, sebelum mengamit lengannya.
Sungguh, segala hal yang Mahesa lakukan pada Azalea kemarin terasa sangat tidak nyata. Hingga Azalea merasa bahwa dirinya tengah berkhayal karena terlalu banyak menonton serial drama Korea. Bahkan sesampainya mereka di depan rumah Azalea, gadis itu masih mengucapkan terima kasih dengan linglung.
Tapi entah kenapa ketika kesadaran Lea mulai kembali, gadis itu justru semakin kebingungan. Bayang-bayang Kenandra tiba-tiba muncul tanpa permisi.
Lea mengacak rambutnya kesal.
"Ah, kenapa juga sih gue harus mikirin itu curut satu? Udah tahu orang gila, masih dipikirin!" sungut Lea pada dirinya sendiri.
Sebenarnya, ia tak membutuhkan waktu untuk memilih. Mahesa dan Kenandra tentu saja tidak berada di level yang sepadan untuk membuat Azalea pusing tujuh keliling.
Oke, mereka memang kembar identik, tapi siapa juga yang mau pacaran sama cowok gila yang tega ninggalin dia ditengah jalan tol?!
Jangankan mengakui Ken sebagai pacarnya, bertemu lagi saja rasanya Lea tak sudi. Gadis itu masih cemberut ketika dering ponsel memecahkan lamunannya. Tubuhnya sontak menegak membaca nama yang tertera di layar.
Mahesa.
Mahesa menelponnya?!
Lea bangkit dari tempatnya, menggigiti ujung kukunya, sementara kakinya bergerak gelisah di dalam slipper.
Dengan gerak sepelan mungkin, gadis itu menswipe layar ponselnya, lalu menjatuhkan tubuh di atas kasur.
"Ha...lo," panggil Lea terbata, sebisa mungkin menahan jeritannya ketika mendengar suara Mahesa.
"Hallo," jawab Mahesa tenang.
Ini gila!
Kenapa mendengar suara Mahesa saja sudah membuat dadanya meledak-ledak?!
"Ada apa ya?" tanya Lea kikuk. Sementara bibirnya sudah tak bisa menahan senyum.
"Enggak, saya cuma mau tanya, kamu nggak capek?"
"Enggak kok, kenapa memangnya?"
"Dari tadi kamu lari-lari terus soalnya di pikiran saya."
Asdfghjklqwertyuiop.
INI APA SIH MAKSUDNYA? TOLONG DONG!
Lea menyempatkan diri membekap wajahnya dengan bantal lalu menjerit keras-keras.
Sumpah, biasanya ia paling anti dengan line gombalan receh seperti ini, tapi kenapa dengan Mahesa efeknya beda?
"Azalea, kamu masih di sana?"
Dengan napas yang masih tertahan, Lea meraih kembali ponselnya.
"Masih kok," ada nada malu dalam suaranya yang tak bisa Lea sembunyikan. Ia tak tahu, kenapa ia bisa senorak ini.
"Iya benar, kamu masih di sana ternyata, masih di pikiran saya."
Azalea tidak menjawab kalimat Mahesa, karena ia sibuk menggigiti bantalnya.
Benar-benar gila! Dia kenapa, sih? Kenapa mendengar suara Mahesa saja efeknya sebegini dahsyatnya?
"Azalea, saya ke rumah kamu sekarang ya?"
"Ngapain?" tanya Lea bingung. Ia belum siap berhadapan dengan Mahesa. Jangankan menatap mata teduhnya, mendengar suaranya saja sudah membuat Azalea lupa fungsi oksigen.
"Cuma mau ketemu sebentar saja, sejak tadi ketemunya cuma dalam kepala soalnya." Mahesa menjeda sejenak. "Kalau menunggu jawaban kamu, saya bisa sampai seribu tahun lagi, tapi kalau tidak melihat wajah kamu rasanya menunggu sampai besok saja tidak sanggup."
Bohong! Yang bilang Mahesa belum pernah pacaran dan tidak gemar menebar pesona pasti pembohong besar!
Hati Azalea saja sudah tak karuan mendengar gombal recehnya.
"Kamu belajar gombal dari mana?" tanya Azalea setengah tertawa.
"Saya nggak gombal, saya serius. Nggak tahu kenapa sejak kemarin rasanya maunya dekat kamu terus, saya tahan-tahan tapi sekarang rasanya sudah nggak sanggup," kata Mahesa jujur. "Cuma satu menit. Tidak sepuluh detik saja cukup, cukup liat wajah kamu sepuluh detik, habis itu saya pergi. Boleh ya?"
Ada nada memohon dalam suara Mahesa yang membuat Lea termangu. Lea bukan gadis yang mudah percaya pada orang lain, terutama laki-laki. Tapi entah kenapa kesungguhan dalam suara Mahesa membuat jantungnya yang berdegup kencang kini mulai melambat. Ritmenya yang teratur memberikan Lea sebuah rasanya nyaman yang tak mampu Lea definisikan dalam sembarang kata.
Sepertinya, ia tahu apa yang hatinya inginkan.
"Azalea?" panggil Mahesa lembut.
"Nggak usah tunggu sampai seribu tahun," ujar Azalea pelan, membuat Mahesa kebingungan di ujung telepon sana.
"Maksudnya?"
"Saya jawab pernyataan kamu sekarang, jawaban say-"
"Jangan dijawab!" Mahesa menghentikan kalimat yang nyaris lolos dari bibir Lea. "Jangan jawab di telepon, saya ke tempat kamu sekarang!" Mahesa berseru cepat, sekilas Lea mendengar suara derap kaki serta pintu yang terbanting keras, menandakan Mahesa tengah terburu-buru.
"Nggak usah ke tempat saya, kita ketemuan aja," Lea meraih dompetnya lalu mengenakan jaketnya dengan asal. "Di taman yang kemarin."
"Ini sudah malam Azalea," ada keberatan dalam nada suara Mahesa.
"Saya yakin taman itu lebih dekat dari rumah kamu dari pada ke rumah saya." Kalimat Lea membuat Mahesa tersenyum di ujung sana, ia mengerti bahwa Leapun ingin mempersingkat waktu.
"Hati-hati Azalea, see you."
"See you."
⏱️
Taman tidak seramai kemarin, namun Azalea sengaja menunggu Mahesa di perempatan dekat gerbang masuk taman. Jantungnya berdebar tak karuan, tak bisa Lea pungkiri ada letupan bahagia yang tak mampu ia sembunyikan.
Tangannya meremas satu sama lain. Berusaha menghilangkan gugup yang tak kunjung melepaskannya.
Mahesa tolong cepat datang.
⏱️
Kemacetan jalan raya membuat Mahesa meninggalkan mobilnya begitu saja di pinggir jalan. Kaki pemuda itu berlari cepat, sekalipun kadang tubuhnya menabrak orang-orang yang berjalan di sepanjang trotoar.
Sebuket bunga dalam genggamannya ia pegang erat-erat. Pemuda itu terus bergerak, seolah sedang diburu oleh waktu. Tiap detik dalam hidup Mahesa begitu berharga, karena memang 'masa' tak pernah bersahabat dengan dirinya.
Ia merasa jika sedetik saja terlambat, maka mungkin ia akan kehilangan segalanya. Secuil harapan terakhirnya. Napasnya terengah ketika ia akhirnya sampai di seberang taman. Senyum terkembang di bibirnya, ketika Mahesa lihat Azalea menunggunya di luar taman.
Gadis itu tak melihat Mahesa, karena posisi berdirinya yang menyamping.
Ada kelegaan yang menyebar dalam dada Mahesa. Lebih dekat. Ia lebih dekat dengan kebahagiaan.
Tanpa Esa sadari setetes air mata luruh di pipi porselennya, entah karena alasan apa. Lampu merah yang berubah hijau, membuat Mahesa menahan langkahnya. Dari jauh ia perhatikan Azalea yang masih berdiri menunggunya.
Namun seperti yang ia katakan, waktu tak pernah berpihak padanya. Semesta mungkin memang membencinya. Tatapannya mulai nanar, Azalea tampak samar di antara mobil yang melaju kencang di hadapannya.
Mahesa merasa kepalanya sakit luar biasa. Napasnya tersekat. Jantungnya berdenyut ngilu. Oksigen seakan dirampas paksa dari paru-parunya.
Matanya mulai berkabut. Suara orang-orang terdengar bising di telingnya. Tiba-tiba saja segala hal yang dilihatnya menjadi semrawut tak beraturan.
Tidak. Jangan sekarang.
Mahesa memegangi kepalanya. Bunga jatuh dari tangannya. Ia mulai meraung menahan sakit yang luar biasa.
Tolong sekali ini saja.
"Argh!" teriakannya menarik perhatian orang-orang. Tubuh pemuda itu mulai membungkuk, lalu melengkung di atas aspal, membuat orang-orang berseru panik.
Tubuh Mahesa bergetar, menahan sakit yang luar biasa.
Ia ingin memukul kepalanya keras-keras. Berlutut dan mengemis pada sang pemilik waktu, agar membiarkannya tidak tumbang, untuk kali ini saja. Namun ia tak bisa. Ia tak sanggup. Ia tak memiliki daya dan upaya.
Sekali pun hatinya menjerit kencang, tapi yang lolos dari bibirnya hanya pekikan lirih yang tertahan.
⏱️
Lea menolehkan kepala ke kanan, melihat orang-orang yang berdiri mengerubung di seberang jalan. Namun ia tak begitu peduli. Tangannya masih bergerak gelisah menunggu kedatangan Mahesa.
⏱️
Lampu yang menyala merah di perempatan, menghentikan laju kendaraan. Melalui sela-sela kaki orang yang mengerbunginya Mahesa menatap gadisnya dengan tatapan nanar.
Mengucapkan selamat tinggal tidak ketara sebelum ia kehilangan seluruh kesadarannya.
⏱️
Malam sudah semakin larut, namun Mahesa masih belum muncul. Azalea memeluk tubuhnya sendiri demi menghalau dingin. Langit yang malam yang semula cerah, mulai digantungi awan hitam.
Perlahan, rintik air jatuh membasahi aspal.
Azalea mundur dua langkah, memayungi dirinya dengan sebuah pohon besar. Ia menoleh ke kanan, lantas melihat sebuket bunga yang teronggok begitu saja di atas aspal.
Ingatannya langsung tertuju pada segerombolan orang tadi.
Mungkin pasangan yang tengah bertengkar, ujarnya dalam hati.
⏱️
Sudah tiga jam Azalea menunggu. Taman dan jalanan sudah semakin sepi. Tubuh Lea pun mulai basah, karena dahan pohon yang tak cukup rapat untuk melindungi dirinya sepenuhnya dari hujan.
Masih berjongkok di bawah pohon, Azalea menyembunyikan wajah di atas lipatan tangan.
Mahesa tak bisa dihubungi, namun sebisa mungkin Lea berpikiran positif. Berbagai kemungkinan ia ucapkan dalam hati, sebagai bentuk penolakan atas rasa kecewa karena pemuda itu tak kunjung datang.
Mungkin rumahnya jauh banget dari sini.
Mungkin jalanan macet.
Mungkin hpnya lowbat.
Mungkin...
Lea tak dapat meneruskannya, karena setetes air mulai meluncur dari sudut matanya. Ia tak mampu memikirkan kemungkinan lainnya, tanpa merasa kecewa atau ketakutan.
Sekelebat pemikiran bahwa Mahesa mempermainkannya membuat dada Lea sesak, namun Lea tak ingin memikirkan kemungkinan lain yang lebih buruk dari pada itu.
Lea tak ingin berpikir bahwa sesuatu yang buruk terjadi pada Mahesa selama perjalanan ke sini.
Ketika isakannya mulai kencang, air tak jatuh lagi menyentuh kepalanya. Azalea membuka matanya, saat merasakan sepasang sepatu menyentuh ujung sepatu miliknya.
Dengan secercah harapan, gadis itu mengangkat kepalanya perlahan.
Seorang pemuda berdiri memayungi Azalea, membiarkan tubuhnya sendiri yang basah terkena air hujan.
"Kirain siapa, ternyata lo," ujar pemuda itu tenang.
Bukan. Pemuda itu bukan Mahesa.
Terbata, Lea mengeja namanya.
"Nu...gi?"
--------------
A/n:
Ciat ciat ciat ciat!
Alay banget Lea sama Esa, idih. Maapin ya, gue kelamaan jomblo soalnya jadi nggak tau gombal yang bikin melting dan nggak alay gimana. Lah curhat(?)
Yah, Mahesanya sama Lea jadinya jadian nggak nih? Wkwk
Kalian tuh ya, nethink mulu sama Ken, padahal sebenernya Ken nggak jahat-jahat banget juga :(((
Tak menyangka aku tuh, sudah masuk part 15 :')
Wdyt tentang part ini?
Ah ya, aku minta maaf ya Selasa mangkir dari update, lagi tumbang say, megang HP pun cuma buat buka IG mantau #waitingforifonly, kalian udah ikutan belum? Ikutan dong.
Sebagai gantinya, kayaknya banyak yah yang mau jadi anak komunikasi? Aku nggak pinter di kampus, tapi kalau ada yang kalian mau tanyain soal kuliah Ilmu Komunikasi comment aja di sini, nanti inshaAllah kalau tau jawabannya aku jawab. Di line comment ini ya!
Dan main tebak-tebakan lagi ya, ini siapa hayo.
Apa lagi ya.
Udah itu aja kayaknya.
See you when i see you.
Salam sayang,
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro