Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

07 | Pijar dari Mata Cokelat

I had never been at peace

with my own reflection,

untill i saw it

in your eyes.

(Renata Suzuki)

Harapan Azalea untuk bertemu dengan Mahesa di kampus nyatanya juga tidak terkabul. Pemuda itu tidak masuk kuliah, bahkan sampai satu minggu kemudian. Sebisa mungkin Lea menyembunyikan kekhawatirannya, tapi Bryan dan Kania tahu alasan Lea berlama-lama di perpustakaan atau makan siang di kantin bersama setiap hari.

“Masih nyariin juga?” tanya Kania seraya membuka kotak makannya di atas meja. Seperti biasa, hari ini mereka kembali makan di kantin, namun Mahesa tetap belum terlihat batang hidungnya.

“Ada dijudesin, nggak ada dikangenin, gimana sih dese?” kini giliran Bryan yang berbisik, membuat Lea mencebikkan bibirnya kesal.

“Apa sih? Siapa juga yang nyariin Mahesa?”

“Loh, kita kan nggak nyebut Mahesa ya, Yan?” dengan wajah polos Kania menoleh pada Bryan yang dijawab Bryan dengan anggukan setuju.

Lihat kan, kalau soal begini aja, kompak.

Lea baru saja ingin menggerutu, ketika matanya menangkap sosok seorang. Pemuda itu tengah berjongkok, memberi seekor kucing makanan, tangannya yang bebas bergerak-gerak mengusap kepala kucing kampung tersebut dengan sayang. Dari tempatnya, dapat Lea lihat bagaimana kelembutan terpancar dari mata Mahesa.

Kania dan Bryan yang tadinya tak peduli, akhirnya mengikuti arah pandang Azalea, karena gadis itu terpaku dengan sorot mata kagum.

“Astaga dragon, udah ganteng panjang umur lagi itu lekong, baru diomongin udah nongol. Pengen dong jadi kucingnya, dielus-elus manja.”

Tepat setelah Bryan mengatakan kalimat tersebut, Mahesa menoleh. Seperti de javu dua mata gelap itu langsung tertuju pada manik mata Azalea. Mahesa menyugar rambutnya, sudut bibirnya tertarik ke atas, membentuk sebuah senyuman.

“Astagfirullah, itu orang gantengnya nggak pake Bismillah, ya?”

Tak ada yang menyahut Kania, Azalea terlalu fokus pada keterkesimaannya. Dalam bentuk kata apapun, tak bisa Azalea jelaskan apa yang membuat Mahesa begitu tampak ethereal. Tak nyata. Terlalu indah untuk menjadi suatu yang kasat mata.

Azalea tak tahu, bahwa di tempatnya berjuta pikiran di kepala Mahesa berkecamuk. Ia tahu, bahwa setelah Ken menemukan Azalea, maka ada banyak hal yang mungkin akan berubah.

Mungkin ia harus menebas jarak, atau justru mungkin ia berdiri di samping Azalea, menjaga gadis itu dari cerminan dirinya sendiri. Dari seseorang yang paling dekat dan paling mengenalnya, namun juga bisa jadi paling menginginkan kematiannya.

“Hai,” dengan kikuk Mahesa menyapa Azalea, meskipun kekakuan itu hanya ia yang merasakannya.

Azalea mengerjapkan matanya beberapa kali, sebelum kesadarannya pulih sempurna. Sebisa mungkin ia menyembunyikan senyumannya.

Judes harus konsisten, bos!

“Ya?”

“Masih ada kelas?” tanya Mahesa yang dijawab Lea dengan gelengan kepala.

“Nggak ada. Kenapa?”

Mendengar kalimat Lea, Bryan dan Kania sontak melotot.

Icikiwir, nggak mungkin kan dese mau cabut lagi?

“Le, kita kan ada...” belum sempat Kania menyelesaikan kalimatnya, Lea telah menggenggam tangannya, memberi kode untuk tidak mengatakan apapun.

“Kalau begitu, boleh kita bicara sebentar, sepertinya ada yang harus saya bicarakan.” Lea terdiam beberapa saat. Sengaja mengulur waktu. “Hanya sebentar saya janji.”

Jika beberapa waktu yang lalu gengsinya yang menang, maka hari ini rasa penasarannya lah yang bersorak germbira. Tanpa pikir panjang, Lea menyetujui ajakan Mahesa, meninggalkan dua sahabatnya yang masih melongo tak percaya.

⏱️

Mulanya, Lea mengira bahwa Mahesa akan membawanya keluar kampus, namun ternyata tidak, mereka hanya duduk di rooftop gedung FISIP.

Lea mengerutkan dahi, saat melihat ada lebih dari dua puluh pot mawar yang tersusun di pinggir rooftop. Setahunya, rooftop kampus biasanya hanya diisi genset dan kursi tak terpakai, bukan sebuah taman kecil dengan mawar merah yang bermekaran.

“Maaf ya saya bawa kamu kesini.”

“Nggak papa, saya baru tahu kalo FISIP punya taman pribadi,” kata Lea seraya memperhatikan sekeliling. Meskipun masih belum layak disebut taman, namun tempat ini tentu saja lebih 'hijau' daripada atap gedung lain.

“Seharusnya memang nggak ada,” Mahesa berjongkok, lantas memotong setangkai mawar yang sudah mati. “Yang tahu saja cuma kamu dan beberapa office boy.”

“Kakak yang buat?” tanya Lea seraya menaikkan sebelah alisnya.

“Kamu tahu jawabannya,” jawab Mahesa seraya membersihkan telapak tangannya.

“Buat?”

“Ibu saya namanya Rosaline, semua mawar ini hadiah untuk beliau.” Mahesa menunjuk label yang tertempel pada pot mawar tersebut. Ada yang bertuliskan Selamat Hari Ibu, Selamat Ulang Tahun, dan sebagainya.

Astaga, entah Mahesa Januar ini memang berhati lembut atau melankolis? Bayangkan saja, disaat seniornya yang lain tak segan-segan pipis di pohon kalau sedang kebelet, seorang Mahesa Januar justru sibuk merawat mawar-mawar yang katanya hadiah untuk ibunya?

Lea tak tahu, bahwa Mahesa yang katanya tidak pernah memiliki hubungan dengan siapapun, punya sisi seromantis ini. Manis membayangkan hubungan pemuda itu dengan ibunya.

“Oh iya?” senyum Lea terkembang, siapapun dapat melihat binar dari matanya. “Kenapa malah ditaro di sini nggak langsung dikasih Ibu Kakak biar ditanam di rumah?”

“Ibu saya sudah meninggal, dan saya tidak tahu makamnya,” kata Mahesa santai, membuat Lea merasa bersalah.

“Sorry, saya nggak tahu.”

“Nggak masalah.”

“Jadi itu yang mau diomongin?”

Pertanyaan Azalea membuat Mahesa bangkit dari tempatnya, tanpa melepaskan senyumnya Mahesa memasukan dua tangannya di dalam saku. Orang akan berpikir bahwa ia memiliki kepercayaan diri yang tinggi, karena tak ada yang pernah tau, bahwa di dalam saku, kedua tangan itu mengepal gelisah. “Bukan itu alasan saya mengajak kamu kemari.”

“Terus?”

“Saya dengar kamu bertemu kembaran saya?”

“Kembaran?” tanya Lea bingung, ia tak ingat ia pernah bertemu kembaran Mahesa, setidaknya sampai mata setajam elang yang ia temui di rumah sakit menghantam ingatannya.

“Iya kembaran saya, Kenandra.”

“Ah, jadi yang di rumah sakit itu bukan Kak Mahesa? Astaga pantes ada yang beda.” Azalea mengangguk kecil, kini pertanyaannya selama seminggu terjawab juga. Pantas saja auranya beda, orangnya juga beda.

Lalu seperti teringat hal lainnya, Lea sontak bertanya. “Jadi, yang saya temui di Nine to Six itu juga kembaran Kakak?”

“Nine to Six?” kini Mahesa yang ganti bertanya, membuat Lea semakin yakin bahwa Kenandra-Kenandra itulah yang ia temui di kelab malam itu.

Entah mengapa Lea merasa lega mengetahui bahwa bukan Mahesalah yang bersama gadis bule malam itu. Setidaknya, pemuda di hadapannya mungkin memang sebaik yang dikatakan Kania dan Bryan.

“Kelab malam di Jaksel,” Lea mengibaskan tangannya. “Udah nggak usah dipikirin, maaf karena saya sudah ketus terakhir kali kita ketemu, kayaknya saya salah paham.”

“Nggak apa-apa,” Mahesa tersenyum simpul, ia sudah terbiasa mengalami hal seperti ini. Jadi tak masalah, yang penting Azalea sudah mengetahuinya.

“Saya baru tahu Kakak punya kembaran.”
Mahesa menaikkan sebelah alisnya. “Kan kita memang baru kenal, wajar kalau kamu baru tahu.”

Lea langsung merapatkan bibirnya, menyadari kebodohannya. Jangan sampai Mahesa tahu, bahwa dirinya selalu menjadi topik paling hangat disetiap percakapan ia dengan dua sahabatnya. Apalagi kalau sampai tahu ia digosipkan homo. Jangan sampai.

“Lagi pula, kayaknya kamu memang orang pertama yang tau,” kalimat Esa membuat Lea menghembuskan napas lega, sekaligus terkejut.

“Serius?” Ia tak menyangka, bahwa Mahesa memang semisterius itu.

Mahesa mengangguk.

“Saya dan Kenandra sudah lama hidup terpisah, jadi nggak banyak yang tahu kalau kami punya kembaran.”

“Oh, begitu, kalian mirip banget ya?” Lea mengingat-ingat wajah Kenandra, lantas memperhatikan pemuda di hadapannya. “Mukanya aja sih, selebihnya beda.”

Mahesa lembut, dan Kenandra sedikit—atau justru lumayan—brutal.

“Kembar identik,” ujar Mahesa sebelum merubah raut wajahnya menjadi lebih serius. “Ng, Azalea, boleh saya bertanya?”

“Apa?”

“Ken melakukan sesuatu pada kamu?” suara Mahesa yang tegang, membuat Lea terdiam sesaat. Dalam benaknya, terputar kejadian tempo hari.

Ia ingat, bahwa kalimat Ken yang memintanya jangan pergilah yang sempat mengganggu konsentrasinya selama seminggu. Namun, sepertinya hal tersebut tak perlu ia ceritakan pada Mahesa. Ia belum tahu pasti alasan Ken mengatakan hal tersebut padanya, lagipula Azalea tak mau dianggap narsis oleh Mahesa.

Azalea menggelengkan kepalanya pelan. “Nggak kok, dia nggak ngapa-ngapain.”

Cuma megang tangan saya, minta saya jangan pergi, terus menghajar orang-orang di rumah sakit.

“Syukurlah.” Ada kelegaan dalam raut wajah Mahesa, kini suaranya terdengar lebih rileks. “Saya boleh minta tolong sama kamu?”

“Apa?”

Tampak ragu sesaat, Mahesa akhirnya mengatakan permintaannya dengan yakin. Ia tidak ingin gadis di hadapannya terluka.

“Kalau kamu bertemu Ken, jauhi dia.”

“Kenapa memangnya?” tanya Lea penasaran. Harus ada alasan mengapa Mahesa memintanya menjauhi seseorang, terlebih orang tersebut adalah saudara kembarnya sendiri.

“Saya nggak bisa kasih tahu kamu alasannya sekarang, hanya saja tolong jauhi dia, terutama kalau dia sedang marah.” Mahesa meraih pulpen di saku celananya, lantas meminta Lea menyerahkan tangannya. Lea mengerutkan dahinya, namun hanya menurut ketika Mahesa menuliskan sesuatu di telapak tangannya.

“Ini nomor telepon saya, kalau dia berbuat sesuatu, tolong hubungi saya.”

Sebenarnya Lea masih penasaran, namun ia tak kuasa memaksa Mahesa untuk menceritakan alasannya. Akhirnya, ia hanya mengangguk pelan.

“Oke.”

“Terima kasih Azalea.” Mahesa tersenyum lembut, membuat Lea menggigit bibir bawahnya.

Ada debar tak wajar dalam dadanya yang berusaha Lea redam, entah apa namanya. Sementara tanpa Lea ketahui, debar tersebut tak sebanding dengan desiran dalam darah Mahesa.

Mahesa tahu, bahwa meminta Lea menjauhi Ken, sama saja meminta gadis itu untuk berdiri di sampingnya. Sepenuhnya ia menyadari, bahwa mungkin keputusannya saat ini akan melukainya di masa depan.

Namun Mahesa tak bisa mundur. Ia tak bisa meminta Lea menjauhinya, setelah mata mereka bertemu tadi.

Azalea tak tahu, bahwa bukan ia yang terpikat sejak pertemuan pertama mereka. Melainkan Mahesa.

Bahwa sejak mata mereka bertemu seminggu yang lalu, Mahesa seperti melihat sebuah harapan berpijar pada mata cokelat Azalea. Sebuah cahaya yang mungkin saja menuntun Mahesa keluar dari labirinnya yang gelap.

-------
A/n: Hi! Yes gak telat lagi.

Gimana part 7?

Jadi, ada apa antara Lea, Esa, Ken?

Wohooo~

As my promise, cerita ini awalnya aja agak gimana gitu, ke sininya kita happy2 aja.

Udahlah itu aja, gue lg di KRL dan berdiri desek2an jadi nggak bisa cerewet.

Bonus:

Bang Esa.

Salam sayang,

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro