02 | Empat Orang di Dalam Bingkai
Behind the most beautiful eyes,
lay secrets deeper and darker
than the mysterious sea.
(yld)
⏱️
Perkenalan Mahesa dengan Azalea tentu saja ditanggapi berlebihan oleh Bryan dan Kania. Saat ini mereka bertiga sudah berada di ruang tamu kamar Lea, menonton serial drama Korea While You Were Sleeping. Namun, sepanjang film terputar alih-alih Lee Jong Suk justru Mahesa Januarlah yang mendominasi percakapan.
"Le, gimana rasanya?" Kania menusuk-nusuk lengan Lea.
"Enak," sahut Lea tak acuh, menuding pada kripik kentang yang tengah ia kunyah.
"Ish, maksudnya di samperin Kak Esa, gimana rasanya? Deg-degan nggak?"
Dengan jari telunjuk Lea menahan dahi Kania yang hendak mendekat. "Gue nggak lebay kayak kalian ya."
Terus tadi apa namanya Le? Senam jantung?
Azalea ingin mengalihkan topik pembicaraan, tapi mata gelap Esa sedikit menganggunya. Sekalipun scene romantis ada di depan matanya, tapi justru nama Mahesa yang berbunyi nyaring dalam kepalanya.
Maaf Oppa, ternyata Mahesa memang lebih bikin penasaran.
"Gue bingung deh, kenapa sih kalian segitu sukanya sama Mahesa? Padahalkan banyak yang lebih ganteng," ujar Lea seraya mengambil chesee stick di sampingnya. Sebisa mungkin ia menjaga nada suaranya agar tak terdengar penasaran.
"Pake nanya!" Kania berseru gemas. "Kak Esa tuh nggak sekadar ganteng Le, dia tuh charming, the real definition of a perfect guy in the world!"
"Yap, mungkin yang ganteng banyak, tapi yang semisterius dia? Nggak ada cyin, jamin eike." Bryan ikut menambahkan.
"Misterius?"
Melihat Lea yang mulai penasaran, Bryan dan Kania jadi tambah bersemangat.
"Duh, makanya Le, dese update gosip kampus dong jangan kuper-kuper amat, perlu nih eike follow-in instagram lambe kampus?" Bryan mencibir, lantas mengibaskan tangannya seolah memerintah Kania. "Nek, kasih tau deh sama Azalea apa kelebihannya Mahesa."
Kania tersenyum senang, merasa terhormat dapat menceritakan kisah seorang Mahesa Januar.
"Mahesa tuh ganteng, jelas. Pinter, jelas. Tajir, kayaknya nggak perlu diragukan ya, lo lihat sendiri mobilnya kinclong banget." Mobil yang Kania maksud adalah audi Q7 putih yang selalu Kania elu-elukan sebagai 'Mobil Kania Januar di masa depan'. Saking noraknya, gadis itu bahkan pernah berlama-lama memeluki SUV tersebut.
"Ya terus? Banyak kali yang begitu, kalo yang lo lihat ganteng sama mobilnya kenapa nggak sekalian aja lo nikah sama SPB Fortuner?"
"Ish," Kania berdecak sebal. "Bukan cuma itu ya, kalo itu doang sih, mending sekalian gue kejar tuh Arjuna Pranaja dari kampus sebelah, atau Fabian tuh temennya yang dikedipin dikit langsung nyantol."
"Ya terus apa dong spesialnya Mahesa Januar?"
"Dia tuh bener-bener menghormati perempuan Lea," kini mata Kania berbinar karena memuja. "Nggak pernah tebar pesona, selalu minta maaf setiap harus nolak perempuan, nggak pernah ngomong kasar sama perempuan." Kania memegangi kedua pipinya yang bersemu merah. "Apalagi kalau inget cerita itu, aduh, nggak tahan."
Azalea mengerutkan dahinya geli. Astaga, ia seperti melihat dirinya yang dinotice Justin Bibier di konser bertahun-tahun silam.
"Cerita apaan?"
Kalimat Lea otomatis menghentikan kegiatan fangirling Kania. Ia menatap Bryan yang kini melongo tak percaya, rautnya seolah Lea telah melakukan dosa tak termaafkan.
"Demi apose yey nggak tahu cerita legend tentang Mahesa?"
Lea menggeleng polos.
Bryan dan Kania berdecak prihatin. Dengan gerak cepat, Bryan merebut ponsel Lea. "Kania Santoso, yey tolong training Azalea yang kudetnya kebangetan ini, biar Bryan Tambayong yang urus sisanya."
Pemuda gemulai itu segera membuka fitur instagram Azalea, memfollow semua akun gosip paling hits se-Indonesia. Termasuk lambe kampus tentunya.
Sementara itu, Kania merapihkan posisinya. Ia menghela napas sekali sebelum mulai bercerita, seolah-olah cerita yang ia lontarkan akan merubah tatanan dunia.
"Dulu waktu masih maba, Kak Esa tuh jadi inceran senior. Secara gitu kan gantengnya nggak manusiawi banget. Tapi yah pamornya belum setinggi sekarang, soalnya masih banyak tuh kan saingannya. Nah, ada satu senior cewek, namanya Kak Radin, naksir juga sama Kak Esa." Alis Azalea naik mendengar nama asing yang disebut Kania. "Tapi, Kak Radin ini punya cowok, namanya Kak Raga."
"Kak Mahesa ngerebut Kak Radin, gitu?"
"Ih, sabar dong bu, belum selesai gue." Kania menggerutu, namun tetap melanjutkan ceritanya.
"Zaman dulu kan masih eksis tuh yang namanya bullying sama senioritas di Kampus. Nah, kak Raga tuh kasar sama ceweknya, kayak psiko lah. Bahkan, ada yang bilang Kak Radin pernah dikunciin di sekret UKM Petala semaleman gara-gara ketahuan lagi lihatin kak Esa." Sejenak Kania memberi jeda, membiarkan Lea turut larut dalam ceritanya. "Nah sekali waktu, Kak Radin di jambak di depan umum, diseret buat nyamperin kak Esa. And you know what? Di saat semua orang nggak berani ngelerai mereka, Kak Esa langsung nolongin Kak Radin. Gila, gentle abis nggak sih?!"
"Terus? Lea berujar tak sabaran. Ia bahkan sudah tak peduli kalau terlihat penasaran.
Kania berdeham sebentar sebelum melanjutkan ceritanya. "Ya lo bayangin dong, preman pasar lawan pangeran berkuda poni. Kalahlah Kak Esa, selama di hajar, dia tuh diem aja, bahkan sampai dia di seret ke depan lapangan basket, dia nggak ngelawan."
Si Badak ini mikir dia udah menang tuh, tapi ternyata yang ada dia malah abis. Pas di lapangan basket itu, dia nyorakin Kak Esa, ngatain dia banci di depan yang lain dan akhirnya, Kak Esa ngamuk disitu."
"Dia? Ngamuk?" Lea tak bisa membayangkan bagaimana seorang Mahesa Januar bisa marah. Sorot mata itu terlalu lembut untuk mengeluarkan letupan kemarahan.
"Raga abis di hajar sama Kak Esa, sampai tuh preman sendiri yang ngemis-ngemis minta ampun. Lo bayangin aja, Le, di depan ratusan pasang mata. Di depan anak-anak buahnya, harga diri Raga diabisin sama maba. Gimana nggak mampus, tuh?!"
"Jadi, karena itu dia jadi legenda?"
"Bukan, bukan karena itu," Kania menggelengkan kepala, membuat Lea mengerutkan dahinya. "Lo mau tau, apa yang Kak Esa lakuin setelah ngehajar si Badak?"
"Apa?"
"Dia ninggalin si Badak gitu aja buat nyamperin kak Radin, dan lo tau dia bilang apa?"
"Apa Kania? Jangan setengah-setengah, plis!" Lea berseru gusar, sudah tak sabar.
Untuk memberikan efek dramatis, Kania mendekatkan tubuhnya pada Lea. Lantas berbisik lirih di telinganya.
"Don't cry, lo aman mulai sekarang."
Rupanya cara Kania bercerita berhasil membuat tubuh Lea berdesir.
"Coba Le, bayangin, disaat badannya ancur, mukanya bonyok dimana-mana, dan dia malah nanyain keadaan orang lain! Kurang gentle apalagi coba, kan?!"
Lea tak menjawab, dalam kepalanya justru terputar visual peristiwa yang Kania ceritakan. Dapat ia bayangkan luka dan darah di sekujur tubuh Esa, lebam di wajah Radin, bahkan ia dapat mendengar suara lembut Mahesa di telinganya.
"Tuh kan eike bilang apa cyin, nggak ada yang tahan sama pesona dia, Lea aja sampai nggak bisa berkata-kata," kata Bryan penuh kebanggan.
"Le?"
Suara Kania menarik Lea dari lamunannya. "Terus? Kak Radinnya gimana? Jadian sama kak Esa?"
Kania dan Bryan saling berpandangan, sebelum menggeleng. "Beberapa minggu setelah Kak Raga DO, kak Radin keluar dari kampus dan hilang gitu aja, ada gosip yang bilang dia udah meninggal, ada juga yang bilang kalo dia hamil diluar nikah. Nggak ada yang tau yang sebenarnya."
"Dan yey tahu apa yang lebih menarik lagi, bo'?" tanya Bryan yang disahut Azalea dengan gelengan kepala. "Nggak ada yang tahu soal latar keluarganya, selain kenyataan kalau dia tajir melipir. No one."
Suara Bryan yang di beratkan pada kalimat terakhirnya membuat Lea tercenung untuk beberapa lama.
Mungkin benar. Mungkin Mahesa Januar, memang bukan pemuda sembarangan.
⏱️
Jauh dari tempat Lea, Kania dan Bryan berkumpul seorang pemuda duduk di mini bar kediaman keluarga Januar. Ia baru saja menyulut api ke ujung rokok yang terselip di bibirnya. Senyum sinis terbentuk dibibirnya, mengejek potret yang terpajang di dinding ruang tamu.
"Manusia goblok, masih aja dipajang," gumamnya pada diri sendiri. Tak ada yang salah dengan lukisan suami istri tersebut, justru siapapun yang melihat bisa menangkap kasih sayang yang terpancar dari sorot mata keduanya.
Muak melihat potret tersebut, pemuda itu meraih pisau, lantas melemparnya ke arah lukisan tersebut. Bak pemain dart handal pisaunya menancap tepat pada sosok sang kepala keluarga.
Setelah puas dengan bidikannya, pemuda itu melumat sumbu rokok dengan ujung sepatunya. Ia malas merokok, ia butuh sesuatu yang lebih seru. Mematahkan leher orang mungkin ide yang bagus, namun para pelayan rumah ini saja sudah tumbang di atas lantai. Yang ada hanya pelayan perempuan. Oh tidak, ia memang bajingan, namun ia tidak memukul perempuan.
Pemuda itu melirik jam di dinding. Sebentar lagi Tuan Muda rumah ini akan terbangun. Sepertinya, bukan hal yang buruk bermain-main dengan anak Mama.
Senyum miring tercetak di bibirnya, dengan langkah santai ia melenggang menuju kamar di lantai dua. Kamar Mahesa Januar.
⏱️
Hal yang pertama Esa lihat begitu ia membuka mata adalah langit-langit kamarnya. Ia baru saja ingin bangkit. Namun, kepalanya sakit luar biasa. Esa mengatupkan bibirnya. Butuh beberapa menit baginya, hingga sakit kepala itu berkurang dan ia bisa membuka mata.
"Anak Mama sudah pulang?" suara itu menarik perhatiannya. Membuat tubuh Esa tegap seketika. Sebentuk refleks sikap waspada.
Bukan. Bukan Mamanya yang berbicara—Mamanya sudah lama terkubur enam kaki di bawah tanah—melainkan seseorang yang sedang duduk di atas sofa. Seseorang yang memiliki wajah persis seperti dirinya.
"Ken?" Esa meneguk salivanya sendiri saat memanggil nama itu.
Melihat reaksi Mahesa, Kenandra tersenyum culas. Ia bangkit, lantas berkeliling kamar Mahesa. Matanya meneliti setiap inchi kamar Esa. Masih sama dengan dua tahun lalu, kamar ini didominasi warna putih, biru dan abu-abu. Warna yang cocok untuk orang yang membosankan seperti Mahesa.
Ken meraih salah satu bingkai foto yang terletak di atas meja. Sekilas ada rindu dalam matanya saat melihat empat orang tersenyum di dalam sana. Namun hanya sesaat sebelum senyum getir menggantikannya.
"Mau apa?" suara Mahesa kini mulai dingin. Ia sudah mendapatkan kembali keberaniannya.
"Sederhana, kematian lo atau..." Ken menjeda sejenak, menatap foto tadi dengan tatapan nanar. "Kematian Bokap... ralat, Geraldi Januar."
Geraldi Januar yang disebut Ken adalah Ayahnya. Pria yang menurut Ken bertanggung jawab atas kehancurannya.
"Tenang, selama lo nggak ganggu gue, gue juga nggak akan ganggu lo." Ken melangkah menuju pintu, sebelum keluar ia melemparkan senyum miring.
Senyum yang sama sekali tidak bersahabat.
---
A/n:
Ealah, ada yang salah fokus sama nama yang disebut Kania? Wkwk
Sampai di sini, ada yang sudah bisa nebak siapakah Kenandra?
Lemesin aja shay, masih part dua ini wkwk
Oh Sehun as Kenandra Januar
Sebelum Ken berubah jadi Sehun, nih penampakannya.
Sebelumnya gue bilang kan, cerita ini terinspirasi dari Dodot, jadi nama Ken juga diambil dari nama doi wkwk
Walaupun pada akhirnya dengan labilnya gue mangganti cast haha
Cast Azalea gue share di part 3 ya.
Yaudahlah, semoga kalian suka Part 2 dan menunggu part 3 juga part-part selanjutnya.
Salam sayang,
Published: 18.01.18
B
onus:
Oppa ngambek sm kamu Le, nggak Oppa mianhaein. - Lee Jong Suk.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro