Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 9

"Aku meninggalkannya bukan berarti aku melarikan diri dari takdir Tuhan. Aku pergi, karena aku tau. Tuhan telah menyiapkan bab cerita baru untuk kujalani."

***

"Assalamu'alaikum, Mas."

Manik hitam pekat itu masih sama. Masih sama menampakkan aura yang membuatku ciut, merasa kerdil. Bibir hitamnya tidak ada niatan untuk menjawab salam yang sudah Lastri katakan. Tidak masalah, perempuan itu juga tidak membutuhkan doa dari manusia seperti ini.

Terdengar angkuh dan sombong, ya itu karena dirinya sangat tidak menyukai laki-laki itu. Bukan benih pahala yang ia tanam, tapi tumpukan dosa yang terus ia kumpulkan jika terus berhadapam dengan Aried.

"Ini sudah seminggu."

Ya! Akupun tau jika ini sudah satu minggu aku meninggalkan dia! Lalu apa? Ingin mengusirku dari rumah ini? Oh tenang, aku juga tidak akan lama berada di sini dengan Abi.

Kini giliran Lastri yang tidak menyauti perkataan Aried. Dia lebih memilih masuk ke dalam rumah bersama Abi, menuju kamar bocah itu.

"Lastri!" teriak Aried.

"Kita bicara nanti saja, Mas. Aku dan Abi mau tidur, kami capek."

Wanita itu menarik kain yang menajdi pembatas kamar anaknya dengan ruang tamu rumah. Tidak seperti biasanya, Aried membiarkan Lastri dan Abi lolos dari amarahnya yang sudah menyala hingga ubun-ubun. Jika biasanya dia akan ikut masuk kemudian berkata kasar bahkan menyakiti keduanya, sekali ini pria itu membiarkan keduanya lolos.

Mata hitamnya menatap nanar ke arah kamar Abi. Tidak lama, hanya beberapa detik saja. Aried kembali masuk ke dalam kamarnya sendiri, menunggu malam untuk berbicara pada istrinya.

***

Semua makanan sudah tersaji di meja dapur. Sore, Lastri buru-buru ke pasar terdekat mencari sayur dan tempe yang sekiranya masih dijual. Dua ikat kangkung dan satu bungkus tempe dia bawa pulang, meskipun sudah layu tapi tak apa. Setidaknya ada yang bisa mereka makan untuk malam ini.

"Bu," Abi yang baru datang dari masjid, masih lengkap dengan kopiah dan sarung kecilnya mengahampiri Lastri yang menyiapkan nasi di dapur.

"Eh, sudah pulang. Ngajinya sudah?"

Abi mengangguk, "Iya, sudah. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam, Abi. Yuk, makan dulu. Ibu sudah buatin tumis kangkung sama tempe goreng."

Dia mengangkat tubuh anaknga yang enteng, didudukkan di atas kursi di sebelahnya. Kemudian, pria itu juga ikut masuk dan duduk di seberang kursi mereka tanpa permisi. Oh ya, Lastri lupa jika dirinya menyiapkan makanan untuk orang ini juga.

"Bagianku mana?" suara berat itu berucap menahan sesuatu yang rasanya ingin bergejolak sekarang.

Sementara Lastri menatap tak sudi untuk melayaninya lagi, "Gak sholat magrib dulu, Mas?"

Wajah Aried yang awalnya terus berpaling, mengarahkan perhatiannya pada apa saja yang ada di dapur mendadak mendongak. Terangkap melihat wajah perempuan yang berdiri di hadapannya. Sepertinya Lastri salah berbicara, atau seharunya dia tidak ikut campur masalah lelaki ini.

"Mulutmu itu lancang sekali ya. Tak pernah kau sekolahkan atau gimana?" sambil menunjuk-nunjuk Lastei dengan jarinya, kalimat kasar ikut keluar dari mulut Aried.

"Tak perlulah kau urus aku shalat atau belum. Memangnya kau ini siapa? Emakku? Ustadzah?" lelaki itu tersenyum sinis, "Wanita yang dijual janji bapaknya saja sok-sok an bertanya aku sudah shalat atau tidak. Bah."

Hati Lastri rasanya tertampar. Wanita apa barusan? Dijual janji bapak? Apa maksud omongan orang ini? Dia mengatakan hal yang menohok hatinya, merendahkannya seolah dirinya ini wanita murahan? Di depan Abi!

Lastri geram, air matanya tak tahan untuk tidak keluar. Dia menarik napasnya dalam-dalam. Bukan sekarang, bukan sekarang waktunya untuk bertengkar. Perempuan itu cukup menerima cacian pria gila di depannya saat ini. Setelah isya' semuanya akan selesai. Lastri tidak perlu lagi menerima cacian menusuk lagi.

Dengan setengah hari wanita itu menyiduk nasi, meletakkannya di atas piring yang akan diberikan untuk Aried. Makan ini, Mas! Makan! Setelah ini tidak akan ada lagi wanita yang mau mengurus orang kasar sepertimu?

Pria itu mengambil bagiannya, melahap hampir semua lauk yang ada di meja. Benar-benar manusia rakus! Sendawa keras keluar dari mulut pisaunya itu. Perutnha kenyang, bahkan pikirannya sudah kembali segar. Aried keluar dari dapur dengan angkuh meninggalkan Lastri dan Abi yang mampu menatapnya melahap makanan di atas meja.

Pria itu kemudian bersenandung di teras rumah, suaranya yang tak enak didengar masuk ke gendang telinga dua orang yang menatap piring-piring di atas meja. Abi menoleh ke arah ibunya sedikit sedih. Kembali ke rumah berarti kembali perutnya hanya akan terisi nasi dan garam saja untuk dimakan.

Lastri tersenyum, mengelus kepala Abi. Menyalurkan rasa sabarnya melalui sentuhan. Sedikit tumis kangkung dan satu tempe yang tersisa dia berikan pada piring Abi. Biarlah, tak apa dirinya tidak bisa makan untuk malam ini. Asalkan Abi kenyang dan dapat tertidur pulas untuk Lastri itu jauh daei cukup.

"Dimakan, yuk. Bentar lagi isya', ibu mau ikut ke masjid bersama Abi."

Kepala bocah itu mengangguk lemas. Dia mulai memasukkan suapan nasi ke dalam mulutnya. Untuk malam ini saja, untuk kali ini saja. Ibu mohon bertahan sedikit lagi ya, Abi.

***

"Mas aku mau bicara."

Aried menoleh sebentar ke arah belakang. Dia terlihat sangat malas ketika tahu Lastri menghampiri dirinya. Mau apa lagi orang ini?

Tanpa menunggu persetujuan pria itu, Lastri lantas duduk di samping Aried. Perempuan itu sebenarnya takut, tangannya berulang kali gemetar. Walaupun terlihat berani melawan suaminya, sebenarnya Lastri sangat ketakutan. Dia takut jika pria tak berotak ini tiba-tiba memukulnya sampai babak belur.

Hening, embusan angin malam menerbangkan daun-daun yang jatuh ke tanah. Baru kali ini kedua duduk berdua tanpa ada pertengkaran.

"Mas, kita sudahi rumah tangga kita malam ini."

Kalimat itu meluncur begitu saja, tidak ada lagi keraguan di hati Lastri, dia menatap lurus ke depan. Hatinya kosong, bahkan mengatakannya tanpa beban sama sekali. Dia memang ingin melakukan ini dari dulu, dan restu dari bapaknya sudah resmi dia dapatkan.

Aried menunduk kemudian mendongak lagi. "Kau itu bodoh, padahal aku sudah mentalakmu dua kali. Harusnya kau itu sudah pergi dari dulu."

Sama seperti Lastri, Aried juga tidak memiliki beban. Dia tidak merasa kehilangan. Bahkan dirinya bisa mengurus diri sendiri meski ditinggalkan istrinya itu.

"Jadi mas tidak ada masalah? Mas tidak akan mengancam Abi ataupun aku, bukan?"

Pria itu tertawa kecil, lucu. "Buat apa aku mengancam kalian, Ha? Lucu kali kau ini. Kalau mau pergi, pergi saja kalian. Jauh-jauh sampai aku tidak melihat muka jelekmu dan anakmu itu. Sejak kalian pergi dari rumah, aku tak pernah lagi menganggap dia anakku. Bahkan sekarang mau mengambilnya juga tak ada gunanya buatku. Bikin susah aja."

"Talak aku lagi."

Pandangan Aried berbelok ke arah Lastri. "Ha?"

"Talak aku lagi. Dengan begitu sudah lengkap tiga talakmu buat aku, Mas. Aku bisa pergi dan kamu tak perlu lagi mencari kami."

Kali ini Aried tertawa lebih keras dari sebelumnya. "Hanya itu?"

Dia tertawa lagi, "Talak, talak, talak. Lastri binti Haryono aku talak kamu malam ini dan jangan lagi kau tunjukkan mukamu itu dan anakmu," telunjuknya mengarah ke kamar Abi. "Di depan mataku lagi."

Lega, itu yang pertsma kali wanita itu rasakan. Tali yang mengikat dirinya semua terputus. Dia berdiri dari duduknya, beranjak pergi meninggalkan Aried untuk mengemasi barang-barangnya dan Abi. Namun, langkahnya terhenti sebelum memasuki rumah.

Lastri berdiri di ambang pintu. Ingat kelakuan kejam kamu terhadapku dan Abi? Dengar, Mas. Kami memaafkan semua perbuatanmu. Semua hal yang kamu lakukan pada kami. Karena kini, setelah matahari terbit besok. Kamu tidak akan lagi melihat kami berdua. Semoga suatu hari nanti kamu sadar. Jika perbuatanmu menyakiti kamu beruda adalah salah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro