Bab 6
Penumpang yang sampai pada tujuannya berbondong-bondong turun dan mengambil barang-barang mereka di garasi bus. Begitupun dengan Lastri dan Abiandra yang turun perlahan keluar dari bus yang dua jam tadi mereka tumpangi.
Dua orang itu berjalan beriringan menuju pangkalan ojek, yang nantinya akan membawa mereka ke tempat tujuan selanjutnya. Rumah orang tua Lastri. Sebuah desa kecil di Jawa Timur.
"Suwun, Mas." selembar uang sepuluh ribu rupiah Lastri sodorkan pada rukang ojek yang mengantarnya dan Abiandra.
"Sami, Mbak." laki-laki dengan helm hitam butut itu membelokkan motor bebeknya dan pergi meninggalkan dua orang penumpangnya di tempat tujuan.
"Yuk, Abi."
Kepala Abi mengangguk pelan, tangannya menggenggam tangan ibunya dan berjalan memasuki jalanan sempit menuju rumah sang kakek. Rumah berukuran sedang beratap joglo, di sampingnya berdiri gubuk kecil sebagai dapur.
"Assalamu'alaikum...."
"Wa'alaikumsalam. Loh, Lastri? Abi?"
Seorang wanita yang usianya tiga tahun lebih tua dari Lastri keluar dari rumah, diikuti laki-laki tua yang berjalan di belakangnya. Laki-laki dan perempuan jmitu sama-sama terkejut melihat kedatangan ibu dan anak itu. Mereka kemudian menyuruh keduanya masuk ke dalam rumah.
"Kok kamu bisa ke sini, Las? Kenapa? Ada apa di rumah kamu?" Ningsih mendudukkan Lastri di kursi kayu panjang. Sementara Abi diantarkan oleh kakeknya menuju kamar yang dulunya ditempati oleh anak perempuan keduanya itu.
Mata Lastri masih mengikuti ke arah ke mana Abi pergi bersama bapaknya. Dia tersenyum ketika Abi menoleh ke belakang melihat dirinya dan Ningsih berdua di ruanh tamu. Sampai hilang dari pandangan dua orang wanita itu melanjutkan percakapan.
"Las, bilang sama aku. Ada apa sampai kamu pulang ke rumah? Bahkan tanpa kabar jika akan membawa Abi bersamamu." Ningsih kembali mengulang ucapannya tadi.
Wajah wanita di depannya berubah lesu, matanya memancar tidak bersemangat menatap saudara perempuannya dengan senyum terpaksa. Tangan Lastri menepuk-nepuk pelan punggung tangan Ningsih yang menggenggam sebelah tangannya.
"Aku gak apa, Mbak. Aku dan Abi baik-baik saja."
"Bohong, Las. Gak mungkin gak ada apa-apa. Lalu kamu ke sini karena apa?"
Lengkungan paksa Lastri tampilkan, "Aku rindu pada Bapak."
"Sudahlah, Las." Suara laki-laki tua namun masih terdengar tegas membuat keduanya menoleh. Pria yang dimakan usia itu membawakan segelas air putih yang kemudian diletakkan di hadapan Lastri. "Jangan mengelak begitu. Katakan pada kami, ada masalah apa kamu dengan Aried?"
"Benar kata Bapak, Las. Cerita aja, kamu ada masalah apa? Aried ngapain kamu lagi?"
Lastri melihat takut ke arah sebuah kamar yang berisi Abi di sana. Dia takut Abi mendengar ibunya berkeluh kesah, dia tidak ingin dianggap lemah oleh anaknya. Lastri harus kuat, dia harus memperlihatkan bahwa dirinya bisa melindungi Abi.
"Tidak usah takut, Nak. Ceritakan saja, Bapak rasa Abi juga pasti mengerti."
Kepalanya menggeleng, "Gak mungkin, Pak. Abi masih kecil, dia juga sudah sering disakiti Mas Aried. Aku tau perasaan dia melebihi siapapun."
"Jadi pria brengsek itu tetap gila?"
"Hus! Ningsih, jaga ucapan kamu."
"Kenyataannya dia memang brengsek dan gila, Pak," ucap Ningsih memberengut kesal.
Haryono mengembuskan napasnya, dia juga ikut prihatin atas masalah keluarga Lastri yang dari awal sudah menuai banyak sekali penolakan. Ini salahnya, salah dirinya yang berjanji pada sahabat karibnya Musleh. Aried adalah anak piatu, tak punya ibu sedari dia kecil. Sri meninggal ketika melahirkan dia, dan Musleh yang merawatnya hingga dewasa.
Anak yang kurang kasih sayang, sering ditinggalkan begitu saja karena pekerjaan Musleh sebagai buruh, dan sejak kecil juga diperlakukan kasar. Hingga akhirnya dia salah jalan dan sering beradu mulut bahkan tak jarang perkelahian fisik antara anak dan bapak itu tidak dapat dihindarkan.
Suatu hari Musleh terkena stroek mendadak, ketika mendengar anaknya Aried ditangkap polisi karena diduga menggunakan obat-obatan terlarang. Dia sangat shock, merasa sangat gagal menjaga anaknya sendiri. Sampai akhir hayatnya dia menitipkan Arief pada Haryono.
Meminta untuk menjodohkan Lastri dengan Aried. "Siapa tau, dengan bersama Lastri dia bisa jauh lebih baik. Dari kecil dia sudah sangat menyukai anakmu, Har."
Pesan terakhir yang kemudian Haryono kabulkan. Meski berulang kalI Lastri menolak, bahkan sempat melarikan diri karena dia tak mau hidupnya hancur bersama laki-laki awur-awuran seperti Aried. Tapi apa dikata? Takdir dan bujukan akhirnya membuat Lastri meng-iyakan permintaan bapaknya.
"Kamu yang sabar, Las. Ini cobaan, pasti ada kebahagiaan setelah ini buat kamu." Ningsih memeluk adiknya yang terus menangis, mengusap punggung wanita itu prihatin. Dia tidak mungkin menyalahkan bapaknya, dia juga tidak mungkin menyalahkan takdir ataupun permintaan dari sahabat bapaknya.
Semua sudah terjadi, tidak ada yang harus disesali. Semuanya harus sama-sama ikhlas dan menerima garis cerita dari Tuhan.
Di dalam sana. Bocah kecil berkulit coklat itu menguping percakapan orang dewasa di luar. Dia ingin berlari dan memeluk ibunya juga. Ingin mengatakan jika dia juga tidak suka berada di rumah.
Buku tulis yang dipeluknya ia buka. Abi menghapus air matanya kasar. Pensilnya mencoret gambar laki-laki dan tulisan bapak di buku miliknya. Dia akan bahagia, meski hanya dengan ibu. Ibunya akan bahagia, meskinm hanya bersama Abi. Abi tidak butuh bapak.
Abi takut pada bapak
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro