Bab 5
Debu dan asap kendaraan menghantam wajah orang-orang yang berlaku lalang. Penjual mainan juga kacang keliling mondar mandir ke sana ke mari mencari pembeli. Sedangkan supir-supir bus meneriakkan kota tujuan yang akan membawa penumpang masuk dan memenuhi busnya.
Abiandra dan ibunya berjalan di sederet bus yang terparkir rapi. Salah seorang supir menanyakan akan pergi ke daerah mana mereka. Satu persatu mereka bertanya, hingga Lastri menemukan bus tujuan yang dia cari. Mereka berdua naik, dan memilih kursi di bangku nomor dua setelah bangku kemudi.
Lastri meletakkan tasnya di depan dada. Dia tidak mau jika harus menemptakan tasnya di bagasi atas. Walaupun tidak ada barang berharga di dalam sana, rasa waspada pastilah perlu.
Abi duduk manis di dekat jendela, air matanya sempat mengalir beberapa menit lalu. Namun sekarang sudah mengering diembus angin. Matanya memperhatikan keluar jendela yang sedikit tinggi. Langit hari ini biru, cerah, dan panas. Ada beberapa burung berwarna hitam kecoklatan yang bertengger di salah satu kabel listrik.
Burung-burung itu bergerombol, duduk bersama sambil melompat ke sana dan ke mari.
"Ayah, Ibu! Aku mau yang warna itu!" teriakan dari seorang anak membuat Abi menoleh ke arahnya.
Dia tidak menemukan anak yang barusan berteriak. Bocah kecil itu lantas berdiri dari duduknya. Di sampingnya Lastri yang duduk tenang sedikit terkejut. Dia ikut mengintip apa yang sedang anaknya lihat.
Di bawah sana, seorang anak seumuran dengan Abiandra tertawa senang. Tangannya memeluk boneka pikachu berukuran sedang. Tangannya yang lain bergandengan dengan tangan ibunya. Lalu, pria di samping anak itu memberikan selembar uang dengan senyum yang sama-sama menampakkan kebahagiaan.
Keluarga kecil itu berjalan menjauh, namun mata Abi tetap mengikuti kepergian mereka. Lastri yang sedari tadi ikut melihat apa yang anaknya perhatikan, menatap sendu. Rasa gagal memberikan kehangatan dari seorang ayah dan ibu menjalari hatinya.
Selama ini anak itu hanya duduk diam, mendapat cacian, menerima perlakuan kasar dari orang yang tidak layak disebut seorang ayah. Bukan bahagia yang Abi terima seperti anak perempuan tadi. Tetapi penderitaan.
Lastri mengelus bagian kepala anaknya, dia tahu laki-laki kecil itu juga ingin merasakan apa yang gadis kecil tadi rasakan. Tapi, untuk saat ini rasanya tidak bisa. Takdirnya tidak seberuntung anak itu. Dia harus pasrah, menerima dan menjalani takdir yang Tuhan berikan.
Ketika sudah hilang dari pandangan sosok gadis kecil tadi. Abi duduk kembali di kursinya. Wajahnya terlihat suram, dalam pikirannya kira-kira kapan dia bisa tertawa sambil bergandeng tangan dengan ibu dan bapaknya? Jangankan menyentuh tangan bapaknya, menatap wajahnya saja anak itu sudah ketakutan.
Seorang pedagang melewati kursi Lastri dan Abiandra. Dia membungkuk menawarkan buku tulis dan buku mewarnai serta bolpoin dan crayon pada setiap orang yang ada di dalam bus.
"Bukunya, mbak? Buat si kecil."
Lastri melihat ke arah laki-laki penjual buku itu sebentar, lalu menatap Abiandra bergantian. Anaknya ini belum ia masukkan ke lembaga pendidikan. Belum juga Lastri sempat mengajarinya menulis sebuah huruf abfabet. Tapi, untuk mewarnai? Mungkin Abi bisa.
"Buku mewarnainya berapaan, Mas?"
Si penjual mengambil satu buah buku, "Buku mewarnai enam ribu, Mbak. Mau yang mana, monggo dipilih."
Wanita itu tersenyum, dia lantas mencoleh pipi Abi yang masih menatap tidak semangat ke luar jendela membuatnya menoleh ke arah sang ibu. Lastri kembali melengkungkan bibirnya.
"Abi mau mewarnai? Ibu belikan buku ya, biar gak bosan."
"Maei dek bukunya dipilih mau yang mana. Yang gambar hewan, mobil-mobilan, bung--"
"Abi mau buku tulis sama pensil."
Buku tulis dan pensil?
Kening Lastri berkerut. Dalam kepalanya bertanya-tanya untuk apa Abi memilih buku tulis? Bukankah anak seusianya biasa menyukai buku mewarnai? Bahkan Abi belum belajar bagaimana caranya menulis?
"Buku tulis sama pensilnya empat ribu." laki-laki penjual itu mengagetkan wanita yang masih kebingungan.
Lastri membuka tas bagian depan dan mengambil selembar uang lima ribu rupiah yang kemudian disodorkan pada laki-laki yang berdiri di sampingnya. Si penjual tersenyum senang kemudian pergi meninggalkan mereka berdua.
Pensil yang dipegangnya diketuk-ketukkan ke dagu. Karena belum diraut Abi kebingungan untuk menulis kata pada lembaran buku barunya. Sekarang, untuk apa dia membeli keduanya jika tidak biaa digunakan?
Raut wajahnya semakin suram, Lastri yang sedari tadi memlerhatikan gerak gerik dan perubahan mimik dari anak itu. Dia tertawa kecil, "Abi kenapa? Kok kertasnya kosong? Tulis sesuatu dong. Dicoret atau Abi gambar apa gitu?"
Abi menoleh ke arah ibunya, bibirnya mengerucut. "Pensilnya gak bisa dipake."
Wanota itu terkikik, dia mengeluarkan sebuah benda berwarna merah jambu berbentuk gajah. "Sini, ibu rautkan pensil Abi."
Pensil yang ada di tangannya diberikan pada sang ibu. Kedua bola mata Abi memperhatikan Lastri meraut pensil yang tadinya tidak bisa digunakan. Setelah itu, dia berikan pada anaknya lagi.
Abi tersenyum senang menerima pensik dari Lastri. Dia buru-buru mencoba menggoreskannya pada buku berwarna putih bersih di pangkuan.
Bisa!
Senyumannya semakin mengembang, diam-diam wanita di sampingnya melihat apa yang Abi tulis di buku kosong itu. Dan....
Rasanha terkejut ketika Abi menuntaskan gambar dan tulisannya di kertas itu.
Gambar seorang laki-laki berkepala bulat dengan jarum-jarum rambut di sana-sini, perempuan dengan rambut panjang dan seorang anak laki-laki di antara kedua saling berpegangan tangan. Tersenyum bahagia dengan sebuah tulisan di bawah gambar...
"Bapak, Abi, Ibu"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro