Bab 30
"Sob!" Cakra mengagetkan Feb yang asik meminum jus buah buatan emaknya. Anak itu tersedak, terbatuk-batuk sambil memukul Cakra yang usil.
"Situ mau saya mati keselek apa?"
"Wo wo wo, sabar sabar. Maap yo."
Feb berdengus kesal, "Serah, ah."
Eko yang melihat temannya itu sepertinya senang bukan sedih atau dalam sebuah masalah baru saja dipanggil BK, mulai penasaran dia pun bertanya perihal pemanggilan Cakra ke ruang Pak Edi.
"Oh, itu." Cakra tersenyum tidak bisa menutupi rasa senangnya.
Kedua orang yang hanya mampu mengernyit keheranan menatap penasaran. Ada apa sih di sana sampai ini anak senyum-senyum sendiri, tumben.
Cakra kemudian bercerita tentang kekonyolan akting yang Pak Edi lakukan di ruang BK tadi. Tentang dirinya yang mengira ada masalah kemarin membuat sekolahnya jadi tercoreng, atau tentang kasus lain yang belum dia sadari kasus apa itu.
Dan ternyata, "Pak Edi nunjuk aku buat ikut lomba."
"Lah, serius itu? Gak bercanda?" Feb mengedip-edipkan matanya.
"Serius. Aku aja awlanya kaget," ucap Cakra yang masih setengah tak percaya juga.
"Kereeeen." Laki-laki gendut itu menepuk tangannya takjub.
"Selamat yo." Eko menepuk-nepuk pundak sahabatnya.
Sementara Abi, dia mendengar percakapan mereka dari luar. Dalam hatinya dia turut senang mendengar Cakra yang ditunjuk sebagai perwakilan sekolah untuk ikut dalam sebuah lomba? Ah, anak itu turut bersuka cita. Tapi, kenapa? Rasanya ada sesuatu yang aneh Abi rasakan.
Sesuatu yang membuat hatinya sakit, dan tidak terima jika hanya Cakra saja yang ditunjuk oleh sekolah. Benar memang, jika dirinya selalu kalah dari anak itu. Dalam segala hal, Abi serba kekurangan. Ekonomi, fisik, kasih sayang orang tua, kehidupan yang layak, dan... Mungkin juga kecerdasan Abi juga kalah dari sobat yang sudah sering menolongnya itu.
Tapi, bukankah dia juga tak sebodoh itu? Lihat, bahkan dari sekolah dasar sampai sekarang prestasi Abi terus naik dan dikenal oleh banyak guru. Kenapa hanya Cakra saja?
"Bi?" panggilan seseorang membuat lamunan anak itu buyar. "Kok kamu di sini? Masuk yuk, ada yang mau aku bicarakan sama kamu. Kamu pasri suka, ini mas--"
"Gak usah, Cak." Abi langsung memotong kalimat Cakra, tanpa menatap mata remaja itu.
Rasanya ini cepat-cepat pergi dari sini. Ingin menjauh sejauh mungkin dari orang ini. Entah karena alasan apa, ada sesuatu yang mengganjal di hati Abi.
"Aku mau ke toilet."
"Oh, kebelet ya. Aku tem--"
"Gak usah," potongnya lagi.
Abi langsung pergi dari tempat itu tanpa berbicara apapun lagi pada Cakra. Sedangkan orang yang ditinggalkannya merasa ada yang lain dari temannya itu. Tidak biasanya Abi berucap dengan nada datar dan tidak mau menatap matanya. Ada apa? Apa dia berbuat kesalahan pada Abi?
Apa jangan-jangan anak itu sudah mendengar apa yang Cakra katakan dan merasa... I... Ri? Ah, gak mungkin. Mana bisa Abi iri padanya. Apa yang dia irikan pada anak seperti Cakra yang biasa-biasa saja seperti ini? Tapi, jika bukan itu. Lantas apa yang membuatnya terasa aneh?
***
B
eberapa hari berlalu, dan gelagat aneh Abi benar-benar membuat Cakra mengerti. Ada yang Abi sembunyikan darinya. Pasalnya, anak itu tidak menjauhi Eko dan Feb seperti dia menjauhi Cakra. Hanya anak berambut keriting dengan tubuh kurus itu saja yang Abi hindari.
Berkali-kali juga dia menyapa anak itu tapi tidak ada satupun sapaan yang ditanggapi. Cakra bahkan meletakkan diam-diam sebuah surat di laci, tas, seragam Abi ketika sedang olahraga namun, semuanya berakhir di tempat yang sama. Tong sampah.
Gimana lagi caranya minta maaf sama itu anak?
Sampai sebuah ide konyol terlintas di benaknya.
Sepulang sekolah, Abi berjalan sendirian. Dia tidak mungkin pulang bersama dengan yang lainnya, karena pasti ada Cakra di sana. Entah berapa hari sudah anak itu menghindari temannya sendiri. Membuang kertas-kertas ucapan maaf dari Cakra juga rasanya sangat kejam.
Aku kenapa sih?
"Bi!"
Bug
Sakit, nyeri bekas pukulan yang belum sembuh benar kini terasa lebih nyeri lagi. Orang yang melayangkan pukulan pada pipi Abi, menarik kerah anak yang terjatuh itu dan memukulnga lagi. Untungnya mereka sudah jauh dari sekolah.
"Mau sampai kapan menghindar?" tanya Cakra begitu memastikan jika Abi tidak akan kabur ke mana-mana lagi.
"Bi, kamu kenapa sih? Kalau aku ada salah ngomong!" pinta anak itu.
Namun, Abi tidak menjawab pertanyaan yang keluar. Dia sendiri bahkan bingung apa yang terjadi padanya sampai anak itu tidak ingin melihat wajah Cakra.
"Aku.. Gak tau," ucapnya bergetar. "Aku bahkan gak ngerti kenapa pengen ngindar dari kamu. Ada yang aneh tapi aku gak ngerti."
Dan benar, dugaan Cakra jika Abj merasa iri itu benar kan? Tapi karena polosnya sifat anak ini dia sampai tidak mengerti apa yang dirasakannya. Mereka masih kelas XI, di semester akhir.
Cakra diam cukup lama, sedangkan Abi menunggu gelisah. Apa Cakra mengerti apa yang dia rasakan? Tiba-tiba saja tawa dari temannya itu menggelegar, tidak mengerti karena apa Cakra terus tertawa.
"Bi, Bi. Kamu itu lucu ya. Kamu gak ngerti sama apa yang kamu rasain sendiri." Dia masih tertawa. "Bi, itu namanya kamu iri sama aku. Benci, gak suka. Kamu denger kan waktu aku bilang ditunjuk buat jadi oerwakilan sekolah? Sejak itu kamu jadi aneh."
Kepala Abi mengangguk. Jadi... Seperti ini rasanya iri dan benci itu? Apakah ketidak sukaannya pada Chocron termasuk benci?
"Belum paham sama perasaan? Nanti belajar jadi laki-laki peka deh. Kamu pasti mengerti."
Sebelah alis Abi terangkat.
"Dah gak usah bingung. Aku cuma mau jelasin sama kamu. Sebenarnya kamu gak perlu iri sama aku, Bi. Lomba itu, perwakilan yang dikirim bukan cuma aku aja. Eko, Feb dan kamu Bapak Edk tunjuk sebagai perwakilan sekolah. Kita datu kelompok, kalau lolos ditingkat kota, nanti akan dikirim mewakili povinsi. Bapak Edi tau kita berempat selalu bersama, dan Feb juga semakin hari semakin baik prestasinya. Maka dari itu kita berempat yang mewakili sekolah, selain prestasi, kekompakan kita juga dinilai."
"Ha? Maksud kamu?"
Cakra terkikik melihat raut wajah Abi yang menurutnya aneh. "Ya... Kita yang akan mewakili sekolah. Kita berempat." telapak tangannya ditunjukkan ke wajah Abi dengan jempol yang tertekuk.
Napas yang ditahan anak berkulit kumal itu berembus. Mulai dari Cakra bercerita dan memukulnya, napas Abi tertahan di dada. Namun, mendengar penjelasannya ada ruang yang sangat besar membuatnya ingin melepas udara yang ditahan.
"Kita? Mewakili sekolah?" ulangnya.
Kepala Cakra mengangguk mantap. Dan, di belakangnya sudah siap Feb dan Eko. Mereka membawa bak berisi air.
Byuur
"Makanya jangan langsung ngambek trus ilang-ilangan!" ucap Eko dan Feb serempak.
Dua anak itu, ah bukan dua lebih tepatnya tiga orang anak ini. Sudah membuat rencana untuk menangkap Abi sedari kemarin. Benar-benar gak ada kerjaan.
Semuanya tertawa, suasana hati Abi pun sepertinya sudah membaik dari sebelumnya. Cakra tersenyum lega menatap sahabatnya itu. Dengan begini anak itu tidak perlu menghindarinya lagi.
"Jadi gimana, Bi? Mau gabung sama tim kita kan?"
"Pasti dong, harus malah. Iya gak, Bi?" Feb merangkul orang yang bajunya sudah basah kuyup.
"Gak ada situ gak rame, Bi. Jangan nolak." Eko berucap santai seperti biasanya.
"Gimana?"
Abi menatap bergantian tiga temannya, dia kemudian tersenyum dan mengangguk semangat. "Mau!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro