Bab 29
Kemarin adalah kejadian yang tidak pernah terpikir akan terjadi sebelumnya. Abi bahkan mungkin tidak akan tahu apa yang terjadi pada dirinya jika Cakra, Eko dan Feb tidak membantunya. Menolongnya memikirkan sebuah rencana untuk meringkus anak-anak nakal itu agar tidak lagi menganggu hidup mereka sekaligus meresahkan para warga sekitar.
Dengan begini, mereka berharap anak-anak nakal itu bisa berhenti melakukan hal bodoh dan berubah lebih baik. Walaupun itu tak menjamin semua. Bisa saja mereka tetap bersikap buruk dan membalas dendam pada keempat laki-laki yang melaporkan mereka ke pihak berwajib. Ya, apapun bisa terjadi. Karena hati manusia tidak ada yang tahu rupanya seperti apa.
Abi dan teman-temannya hanya mampu mendoakan mereka. Hanya Tuhan yang dapat membolak balikkan hati manusia.
Sehari berlalu dari kasus penangkapan anak-anak berandal itu. Abi dan ketiga orang temannya mengira mereka sudah melakukan hal yang benar dan tidak merasa bersalah, masuk ke sekolah di hari selasa. Dan ketika memasuki gerbang, Bapak Edi selaku guru BK sudah menunggu mereka dengan wajah menyeramkan.
Ada apa ini? Abi, Cakra, Eko dan Feb saling bertatapan.
Bapak Edi dengan kumis tebalnya menyipitkan mata, melirik tajam ke arah Cakra yanh berada di samping kiri Abi. "Cakra! Kamu ikut bapak ke kantor!"
Lantas ketiha pasang mata yang lainnya menatap Cakra yang juga terlihat kebingungan. Apa ini gara-gara kemarin?
"Cak," Panggil Abi sedikit khawatir.
"Udah gak apa. Emang awalnya ini kan ide aku." Dia menepuk pundak Abi pelan. "Dah, aku ikut Pak Edi dulu. Kalian ke kelas aja."
Laki-laki bertubuh tinggi kurus itu meninggalkan teman-temannya yang masih berdiri khawatir di bibir gerbang sekolah. Yang mereka heran adalah, mengapa hanya Cakra saja yang dipanggil menghadap BK? Guru-gurunya tidak mungkin tahu bukan siapa yang membuat rencana? Lagipula, bukankah mereka juga tahu jika ini masalah Abi? Ya coba saja lihat mukanya. Bonyok tak terkira, lalu kenapa harus Cakra?
"Sudah lah, Rek. Kita ke kelas aja nunggu Cakra balik. Dia gak bakal kenapa-kenapa kok." Eko juga berusaha menenangkan suasana hati sohibnya.
"Ini bukan masalah kemarin kan, Ko? Orang-orang berterimakasih sama kita. Kenapa BK malah marah sama kita?"
Eko mengangkat bahunya, "Entah lah, Bi. Aku juga gak tau masalah apa yang Cakra dapet. Kita doakan aja, moga bukan masalah kemarin."
"Iya bener." Feb yang mulai tadi diam, kini ikut mengambil suara . "Kali aja masalah lain, Bi. Lagian cuma Cakra yang dipanggil. Kalau yang kemarin harusnya kita juga ikut kena hukum."
"Udah lah. Yuk, sholat dhuha aja. Bentar lagi udah mau masuk."
Keduanya mengangguk kemudian bergegas ke mushola kecil yang ada di sekolah mereka. Melakukan kegiatan rutin yang biasa mereka awali ketika baru sampai di sekolah.
Sementara di ruang BK, Cakra duduk tenang di salah satu kursi yang menghadap meja Pak Edi. Wajahnya terlihat tenang, seolah tidak memiliku rasa takut sedikit pun. Namun, dalam hatinya dia terus berdoa agar tidak mendapatkan amarah dari oranh di depannya ini.
Guru yang terkenal killer karena hukumannya membuat anak-anak nakal kapok membuat kesalahan. Bapak Edi menduduki kursinya setelah dia mendapatkan kertas-kertas yanh diinginkannya di sebuah laci meja paling bawah.
"Kamu tau apa kesalahanmu sebelum bapak menguraikannya?" ucap beliau dengan nada tegas sambil membuka lembar demi lembar kertas di tangannya.
"Kasus yang kemarin, Pak?"
Pak Edi mengalihkan pandangannya dari kertas pada anak yang masih berwajah datar itu, sejenak kemudian kembali menatap kertas-kertas di tangannya lagi. "Yang kemarin bapak gak tau."
Cakra mengernyit bingung. Gak tau? Terus masalah yang mana kalau gitu?
"Ini masalah lain, bukan yang itu. Ada lagi masalah yang lebih besar daripada masalah kemarin."
Masalah apa lagi? Seingatnya dia tidak pernah membuat ulah.
"Kamu masih bingung? Tidak tau apa kesalahan yang kamu buat?"
Laki-laki itu menggeleng. Sedetik kemudian Pak Edi meletakkan kertas-kertas yang dipegangnya di hadapan Cakra.
Ini...
"Kamu tau ini apa?"
Ya, dia tahu kertas-kertas ini. Tapi apa hubungannya dengan masalahnya? Bahkan, ada nama Abi, Eko, dan Feb di sana. Nama orang-orang yang tidak ada di ruang BK.
Anak itu menjawab masih dengan wajah setengah bingung, "Hasil nilai saya dan teman-teman saya, Pak?"
"Yap, benar."
"Lalu apa hubungannya nilai kami dengan masalah yang bapak sebutkan tadi? Saya rasa, nilai-nilai kami tidak ada yang di bawah KKM."
Tawa Pak Edi yang tiba-tiba pecah mengagetkan Cakra. Dia mengelus dadanya, sambil sesekali meniup kedua telinganya. Tawa pria ini benar-benar besar seperti badannya.
"Kalian ini, murid jaman now. Kamu tau tidak ada di peringkat paralel berapa kamu dan teman-teman kamu ini?"
Cakra menggeleng, dan lagi-lagi itu membuat Pak Edi menggeleng heran sambil tertawa tidak percaya. Ada pula siswanya yang seperti ini?
"Kamu, Abi, Eko, dan Feb berturut-turut ada di peringkat yang bagus. 1, 2, 10, dan 65. Yah, walaupun Feb adalah pengecualian sebenarnya. Tapi prestasinya cukup bagus dari semester kemarin."
"Lalu, Pak?"
Tanpa berbicara, Pak Edi memberikan sebuah brosur dan tanpa perlu penjelasan lagi. Cakra mengerti apa yang dimaksud gurunya ini. Jadi ini yang beliau mau?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro