Bab 26
Sinar matahari masuk mengahangatkan ruang tamu. Romlah berjemur di teras rumahnya bersama Imbar yang sebentar lagi akan memasuki tingkat SMP.
"Bu. Aku sama Irma berangkat dulu ke warung ya." Lastri yang sudah siap dengan segala perlengkapan dan bahan untuk jualannya keluar dari dalam rumah.
Irma yang duduk, langsung berdiri membersihkan bajunya, membantu Lastri mengangkat jualannya. Seperri biasa, ketika liburan ataupun sepulang sekolah. Baik gadis itu atau kakaknya akan bergantian membantu Ibunya dan menemani neneknya di rumah.
Berbicara tentang anak itu, Abi sudah mulai baikan. Luka-luka di tubuh dan wajahnya memang sudah mengering. Tapi bekasnya masih tertinggal cukup jelas. Setelah kejadian malam itu, beberapa hari Abi menginap di rumah sakit.
Berkat bantuan Eko, Feb, dan satu lagi anak yang masih belum Abi tahu namanya. Dia terbebas dari maut, setidaknya Tuhan masih menyayangi Abi. Mengizinkannya untuk mencicipi dunia yang Tuhan ciptakan.
Setelah Chocron dan teman-temannya pergi, mereka bertiga langsung membawa Abi ke rumah sakit berkat usulan si anak misterius itu. Eko memberitahu Ibu Abi, sedangkan Feb dan anak itu ke rumah sakit.
Selama tiga hari Abi dirawat, kondisinya mulai pulih. Giginya yang patah dan muka penuh lebam, membiru bengkak dan tulang lengan yang patah membuatnya sempat tidak bisa bergerak dalam beberapa hari.
Abi belum sempat berterimakasih pada orang-orang itu. Karena bukan hanya membantu menyelamatkan dirinya, mereka juga membantu Abi membayar uang rumah sakit. Namun herannya ketiga orang itu tidak pernah muncul lagi setelahnya.
Itu yang membuat Abi sedikit heran. Ada beberapa pertanyaan di kepalanya. Kenapa Eko dan Feb tahu jika anak itu akan pergi bersama Chocron malam itu? Bagaimana bisa mereka tahu tempat Abi pergi? Kenapa timing mereka datang sangat pas saat Abi dipukuli oleh teman-teman palsunya?
Kenapa, bagaimana dan pertanyaan lain terus berputar memnuhi kepalanya. Anak itu berharap jika di sekolah barunya nanti dia bisa bertemu lagi dengan penyelamat-penyelamatnya, agar Abi bisa berterimakasih dan mengembalikan uang mereka.
***
Hari masuk sekolah baru sudah tiba. Abi berangkat sekolah bersama Irma kali ini, kebetulan arah menuju sekolah mereka sama. Dan Lastri bisa langsung menuju ke warung tanpa perlu mengantar anak sulungnya ke sekolah.
Sedikit bekas membiru di wajah anak itu masih terlihat. Sebagian lain masih tertempel plester luka untuk menutupi sobekan akibat pukulan anak-anak gila itu. Irma memperhatikan wajah kakaknya.
"Yakin mas, mau tetap masuk? Wajahnya masih gitu." telunjuknya menyentuh plester luka yang ada di sudut bibir Abi.
Remaja laki-laki itu mengaduh kesakitan. "Gak apa kok, ini lukanya juga udah mau sembuh. Yaaaa... Cuma nyeri aja dikit."
Karena luka-luka ini juga, Abi izin tidak mengikuti kegiatan MOS di sekolahnya. Dia masih terbaring lemah saat itu. Tulang-tulangnya terasa patah semua. Irma menepuk punggung kakaknya, spontan membuat laki-laki itu mengaduh kesakitan.
"Apa sih, dek? Kamu itu mukul gak kira-kira. Awh, punggung mas jadi sakit."
"Makanya jangan sok tegar." Irma menggelengkan kepalanya. "Yaudah, Irma pergi dulu. Itu Sinta nungguin Irma di sana."
Ibu jari gadis itu menunjuk anak perempuan di perempatan jalan. Arah sekolah mereka memang sama. Tapi setelah perempatan jalan ini arah keduanya menjadi beda. Abi mengangguk, sambil memegangi punggungnya yang masih terasa sakit.
Gadis itu berjalan menjauh, hingga hilang dari pandangan sang kakak. Sedangkan Abi berdiri menatap kepergian keduanya. Remaja itu mengembuskan napas, "Sendirian lagi."
Denhan paksa Abi melangkahkan kakinya ke sekolah baru. Entah kali inu dia akan bersekolah damai tanpa gangguan seperti di SD dan SMP dulu, atau masih ada cobaan dari lingkungan sekolah yang akan diterimanya? Rasanya sudah berkali-kali dia mengemis pada Tuhan agar kisah semasa sekolahnya tidak seburuk yang dulu.
Tapi, apakah doa Abi kalo ini akan dikabulkan? Mengingat di SMP dia tetap mendapat kekerasan dari teman sebayanya.
"Oi." seseeorang menepuk pundak laki-laki itu dari belakang. Membuatnya terlonjak kaget. Abi lantas berbalik untuk melihat siapa yang menyapanya.
Dan coba tebak siapa dia?
"Eko? Feb?" dua orang penyelamatnya dan satu laki-laki lain berdiri di sana. Belum terhubung pikirannya, Abi betanya heran. "Kok kalian ada di sini?"
Tiga orang yang ditanyai mengernyit sama bingungnya. "Kita kan sekolah di sini, Bi. Satu sekolah, bahkan satu kelas sama kamu."
"Ha?!" keterkejutannya semakin menjadi. "Lah, ini serius? Kalian gak lagi bohongin aku?"
"Bahaha," Feb tertawa. "Iki seragam kita samaan loh. Masa situ gak sadar-sadar juga?"
Abi langsung mengecek seragam yang dipakainya, dan seragam yang tiga orang di hadapannya ini pakai. "Lah iyo bener."
"Bah, Bi. Kamu masih butuh istirahat sepertinya. Pulang sana."
Eko, Feb, dan satu laki-laki yang mulai tadi tidak ikut berbocara tertawa lepas. Arek iki kok nyebelin ya?
Remaja laki-laki itu diam tak berekspresi sama sekali. Padahal hatinya dongkol ingin menarik pipi Feb dan Eko lebar-lebar. Tapi itu tak mungkin dia lakukan.
Mereka berempat berjalan bersama memasuki halaman sekolah menengah kejuruan. Dengan mengambil jurusan sama rekayasa perangkat lunak, Abi, Eko, Feb dan satu orang yang namanya baru Abi ketahui Cakra, mereka dikelompokkan di kelas yang sama.
Tunggu, rasanya Abi mengenal orang yang bernama Cakra ini. Kalau tidak salah dia orang yang ditabrak Abi saat baru masuk sekolah menengah pertama dulu. Anak laki-laki bertubub tinggi, yang awalnya dia panggil kakak. Ternyata dia yang ikit menolong Abi ketika dipukulj Chocron dan teman satu gengnya itu.
"Eh, aku mau tanya waktu kejadian itu kok bisa kal--"
"Guru dateng, woi. Balik ke bangku masing-masing."
Semua anak grasak grusuk menempati tempat duduk mereka masing-masing. Abi yang awalnya mau mengangkat suara untuk bertanya. Akhirnya harus pupus semetara. Biarlah, mungkin setelah ini dia bisa bertanya pada mereka berempat tentang kejadian itu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro