Bab 22
Sekolah baru, teman baru, lingkungan baru, suasana baru, seragam baru. Dan segala hal baru yang Abi rasakan ketika dinyatakan lulus dari sekolah lamanya. Seperti biasa dia bercermin, melihat pantulan dirinya di benda datar itu.
Seragamnya kini berganti, yang dulunya putih merah sekarang menjadi putih biru. Seusai memastikan semua barang sudah lengkap dan siap, meskipun di tahun ajaran baru biasanya kegiatan belajar mengajar belum dimulai. Abi selalu menyiapkan beberapa buku dan alat tulisnya.
Anak itu duduk di salah satu kursi sambil menggendong tasnya. "Abi kalau mau makan tasnya ditaruh di bawah dulu."
"Iya, Bu."
Irma menatap kakaknya yang terlihat sumringan, bahagia. "Kakak senang banget ya masuk sekolah baru?" tanyanya polos.
Abi terkikik kecil, "Banget. Gak sabar pengen liat sekolah baru."
"Yaaah..." gadis itu mengerucutkan bibirnya, lucu. "Padahal Irma gak senang."
Dahi remaja laki-laki itu mengernyit, "Kok gak senang?"
"Iya," perempuan dengan rambut yang dikuncir kuda mengaduk nasi gorengnya tak semangat. "Soalnya Irma jadi gak bisa berangkat bareng ke sekolah sama kakak. Sekolah kakak sama Irma kan beda jalur."
Orang yang ada di dapur tertawa bersamaan, kecuali anak gadis yang masih cemberut. "Irma nanti berangkat sekolahnya sama ibu ya? Nanti ibu anterin sampai ke depan kelas Irma deh."
"Beneran, Bu?" matanya berbinar menatap Lastri.
"Iya, beneran. Tiap hariiiiiiii, ibu bakal anterin anak cantik ibu ini."
Irma bersorak senang, walaupun bersama kakaknya lebih menyenangkan tapi setidaknya dia tidak berangkat sekolah sendirian. Urusan di kelas nanti, dia tidak perlu khawatir. Karena berbeda dengan kakaknya itu, Irma mudah mendapatkan seorang teman karena sifat cerianya.
Abi lekas menghabiskan sarapan yang Lastri buatkan untuknya. Dia langsung berpamitan pada ibu dan neneknya, tak lupa menarik gemas pipi Irma kemudian bergegas pergi. Dia tak mau harus terlambat di hari pertamanya masuk sekolah.
Setelah sebelumnya dia harus mengikuti MOS yang sangat melelahkan. Satu minggu kemarin, masih sulit untuk Abi beradaptasi dengan sekolah barunya. Bahkan tidak banyak orang yang mau mengajaknya bicara di kelas.
Masing-masing anak sudah memiliki teman dari teman satu angkatan di sekolah dasarnya dulu. Abi memiliki satu orang teman yang sama menempati kelas unggulan seperti dirinya, tapu sayangnya dia tidak pernah akrab dengan anak itu.
Rasanya ada di mana pun dia, berinteraksi dengan yang lain adalag hal yang paling sulit Abi lakukan.
"M-maaf," ucap anak itu ketika tidak sengaja menabrak seseorang di koridor sekolah yang masih sepi.
Ya, ini masih jam enam kurang seperempat pagi. Masih sangat seidikit siswa yang ada di sekolah. Abi datang lebih pagi agar dia bisa mendapatkan kursi yang paling strategis di kelas.
"Iya, gak papa kok," anak yang ditabraknya tersenyum sopan.
Kakak iniii..... Tinggi banget!
"Lain kali hati-hati ya."
"E-eh? I-iya, Kak."
Remaja laki-laki itu kemudian pergi meninggalkan Abi yang masih tidak percaya ada orang setinggi itu di dunia ini. Atau memang dia yang terlalu pendek ya? Ah, sudah lah. Tidak perlu Abi pikirkan. Yang penting saat ini dia harus cepat ke kelasnya.
Abi mendapatkan kursi yang diinginkannya. Deret dan bais paling tengah, di bawah kipas angin yang sebenarnya kadang tak dibutuhkan. Karena udara di Kota Batu yang dingin.
Buku catatan kecil ia ambi dari dalam tasnya. Sejak kapan ya, dia berhenti menulis? Sekarang, Abi mulai membuat tulisan tiap hari seperti saat masih berusia enam tahun.
Sekolah baru
Teman baru
Suasana baru
Dan
Baru saja aku bertemu dengan laki-laki
Entah mungkin dia seumuran denganku? Karena lambang kelas di lengan kanannya berwarna kuning. Sana sepertiku.
Tapi,
Aku memanggilnya kakak
Nanti kalau kupanggil, 'Bro' malah kena jitak karena gak sopan.
Hehehe
Rasanya gak sabar menempuh hidup baru.
Eh,
Menempuh pendidikan baru maksudnya.
Namun, tidak seperti yang Abi pikirkan. Semuanga tidak berjalan mulus sesuai angan seseorang. Ada kisah berbeda yang sudah Tuhan tuliskan untuknya.
Entah akan menjadi cobaan untuk Abi agar dia melatih lagi kesabarannya. Atau anak itu akan terjerumus dan kembali ke jalan yang salah seperti dulu?
Semua siswa dan siswi sudah berkumpul di dalam kelas. Banyak orang saat ini dalam kelas itu, tapu tak ada satu pun yang menyapa Abi di sana. "Di sini masih kosong?"
Satu anak laki-laki berbicara pada anak itu. "Oh iya, masih kosong kok."
Dia mengangguk, tanpa berpamitan lagi anak laki-laki itu sudah duduk di dekat Abi. "Nama situ Abiandra kan? Aku Eko, salam kenal."
Dia mengulurkan tangan yang Abi sambut, "Panggil Abi. Salam kenal juga."
"Oi, Ko. Besok main PS di rumah kamu bisa a?" remaja laki-laki lain mendatangi tempat Abi dan Eko.
"Ogah, Feb. Situ mainnya rusuh. Ibuku jadi ngomel-ngomel terus."
"Ish, pelit."
Abi yang berada di tengah keduanya, hanya diam memperhatikan. Dia tidak tahu harus menanggapi apa, atau ikut berbicara. Mulai pembicaraan dari mana ya? Anak itu sama sekali belum pernah berinteraksi dengan temannya saat di sekolah dasar dulu. Sekarang dia malah kebingungan untuk berbicara.
Sampai akhirnya Eko dan Febrian pergi meninggalkan tempatnya, Abi belum bisa berbicara apapun kecuali berkenalan dengan mereka berdua tadi.
Mulut Abi mengembuskan napas, berat. Sesulit inikah mendapatkan seorang teman? Dulu, bagaimana dia dan Dayaf berteman ya?
Ah, Dayat. Jadi teringat anak itu. Bagaimana kabarnya ya?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro