Bab 20
"Bolehkah aku mengakhiri semua cerita, jika Tuhan menciptakanku untuk tidak bahagia?"
***
"Itu anak yang disiran sampai pingsan sama ibunya?"
"Iya kali. Itu tangannya aja memar-memar gitu."
"Biasa, anak nakal mah emang harus dikasih hukuman."
Bisik-bisik, lirikan mengintimidasi dan tatapan seolah mengatakan jika mereka jijik melihat anak itu terus terngiang di telinganya. Masuk, keluar tidak jarang juga ada yang tinggal di otak karena kasarnya kalimat yang diucapkan.
Sudah biasa. Tiga tahun Abi bertahan dengan semua cemoohan dan perlakuan kasar teman-temannya, empat tahun dia bertahan dari amarah ibunya dan pamannya. Sekarang dirinya sudah tidak peduli lagi pada dunia.
Sudah muak akan kehidupannya yang tak pernah mencicipi bahagia.
Mereka tau apa? Mereka gak pernah ada di posisi aku. Mereka hanya berkata ini itu tanpa tau fakta apapun! Bahkan ibu, orang yang aku anggap akan menjaga dan melindungiku. Memberikan kasih sayang seperti dulu, sifatnya menghilang dan berubah keras. Setelah aku pingsan seperti kemarin, ibu baru sadar akan kesalahannya.
Haha, apakah aku perlu mati saja agar semua orang hidup tenang. Tanpa perlu membully seorang anak di sekolahnya lagi, tanpa kisah ibu yang hampir membunuh anaknya karena pulang terlambat, tanpa cerita tentang anak yang mencuri demi bermain game. Apa perlu aku mati saja?
Sebuah lemparan kertas yang gulung mengenai kepalanya, berkali-kali. Kemudian tawa segerombol anak laki-laki seusianya bergema ke seluruh sudut ruang kelas. Abi diam, matanya menatap pada meja.
Dia duduk sendiri di bangku paling pojok, menunduk bukan karena sedang menahan tangis seperti sebelumnga. Dia hanya diam, dengan tatapan kosong. Memikirkan suatu hal yang mungkin akan dia lakukan nanti malam.
Abi sudah tidak dapat menangis lagi. Air matanya sudah habis, mengering. Hatinya kosong, tidak memiliki apapun untuk mengisinya. Gersang seperti gurun pasir.
***
Angin malam membuat badan Lastei menggigil, musim penghujan rasanya kota ini semakin dingin saja. Dia baru pulang setelah tadi membeli obat untuk Abi di apotek terdekat. Anak itu sebenarnya masih perlu istirahat tapi dia memaksa untuk berangkat ke sekolah tadi pagi, akhirnya badannya menjadi panas lagi.
"Ibu! Ibu!" Irma keluar sambil menangis, dia berlari dan memeluk Lastri.
"Irma. Ada apa, nak? Kamu kenapa?"
"Las." Romlah ikut keluar dari rumah, sambil berpegangan pada dindinh dia berkata, "Abi, Las. Abi!"
"Abi kenapa, Mak?"
"Abi hilang. Dia gak ada di kamarnya, Emak sudah cari di seluruh rumah tapi gak ada. Irma juga udah keliling sini dan ke tempat game biasanya Abi main, tapi orang sana gak liat Abi sama sekali."
"A-abi." Lastri jatuh, terduduk lemas.
Apa lagi ini? Ke mana lagi dia? Kenapa dia pergi? Bagaimana bisa keluar tanpa sepengetahuan orang rumah?
Pikiran wanita itu mulai kacau kembali. Obat yang ada di genggamannya diremas.
"Ibu. Sabar, kakak pasti pulang."
Ibu harap juga begitu, Nak. Ibu berharap sama. Tapi mata kakak kamu, sedari dia keluar dari rumah sakit, kosong. Hampa, kilatan di matanya pun hilang. Ibu takut kehilangan kakakmu.
Embusan angin menerbangkan beberapa helai rambutnya yang sudah memanjang. Kakinya melangkah tak tentu arah. Pikirannya kosong, tidak terlintas apapun di benaknya saat ini.
Abi berjalan, terus melangkah menyusuri jalanan tak berujung itu. Suara klakson, lampu mobil, bahkan orang-orang sekitar yanh berlalu lalang seperti tak ada dalam dunianya.
"Abi, Nak." panggilan seorang wanita juga tak dapat dia dengar.
Dirinya terus menyusuri jalan hingga sampai di depan sebuah lapangan sepak bola yang sudah tidak dipakai lagi. Abi berhenti, mendongakkan kepalanya, menatap ke atas. Kemudian berjalan lagi memasuki lapangan.
Hembusan angin yang cukup kencang menerpa wajah kurusnya. Darj atas tribun manik hitam Abi menatap ke bawah. Satu langkah saja, satu doromgan. Maka, akan habis semua kisah hidupnya untuk sepuluh tahun ini.
Abi mengangkat sebelah kakinya, tinggal berpijak pada kaki yang bebas di udara, bukan? Hanya itu.
"Abi!" sebuah tangan memeluk anak itu dari belakang. Menariknya menjauh dari bibir tribun.
"Alhamdulillah, masih sempat," Ucap wanita itu lega.
Abi berbalik untuk melihat siapa yang sudah menolongnya. Ibu Siti?
Siti yang menyadari tatapan Abi tersenyum lembut, "Assalamu'alaikum, Abi. Lama gak ketemu ya."
"Kok ibu bisa di sini?"
Siti mengangkat alisnya sebelah, "Tadi ibu ketemu kamu. Ibu panggil tapi kamu gak denger. Jadi ibu ikutin deh. Eh tau-taunya malah di sini, mau terbang seperti burung ya?" goda Siti.
Abi sedikit tersenyum paksa. Wajahnya tetap murung, tapi pikirannya sudah kembali tersadar.
"Ada apa, Nak? Kamu ada masalah? Abi boleh cerita sama ibu."
Wanita yang berucap lembut ini, memandang Abi dengan mata yang teduh. Anak itu merasa ternaungi setiap melihat manik milik Siti. Dia akhirnya bercerita tentang segala hal yang dia alami. Seolah terbius dengan tatapan Siti.
Hidup itu, tidak akan melulu menyedihkan. Tidak akan selalu pahit hingga ending. Jika kamu pahit sekarang, berarti kamu akan mendapat bahagia untuk besok. Atau mungkin kamu sudah mendapat bahagia kemarin, sehingga sekarang pahit yang kamu rasakan.
"Abi ingat Allah? Mengaji? Shalat, bagaimana?"
Abi diam, hampir lima tahun dia jauh dari Tuhan nya. Dia sibuk bermain dengan dunia. Dia bahagia ketika bermain maka dia memderita setelah itu. Ah, ucapan Ibu Siti ada benarnya.
Semua yang Tuhan berikan pasti akan berpasang-pasangan. Jika ada buruk pasti ada baik, hitam dengan putih. Dan bahagia dengan kesengsaraan. Abi mengerti, Abi paham sekarang apa dan kenapa dia merasa selalu kosong. Dia lupa, dan jauh.
"Bu, bisakah Abi berubah lagi sepeti dulu?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro