
Bab 18
Kabut tipis menyelimuti Kota Batu. Burung-burung mulai berkicauan di atap rumah warga. Terlihat seorang wanita menggendong balita perempuan berjalan tergopoh-gopoh menuju rumah nan sederhana.
"Mak!" teriak wanita itu.
"Ada apa, Las?" perempuan yang sudah dimakan usia itu berjalan tertatih, untunglah seseorang langsung memegangi tangannga dan membantunya duduk.
"Ini, Mak! Ini!"
"Astaga, Lastri. Anak siapa itu? Kenapa kamu bawa kemari?"
"Jelasinnya bentar aja, Mak." Lastri menidurkan balita perempuan itu di kursi tamu. "Abi tolong jagain sebentar ya. Ibu mau buatin air hangat."
Tanpa babibu, wanita yang masih panik itu berlari ke arah dapur mwninggalkan orang-orang yang berkumpul di ruang tamu. Abi yang diperintahkan untuk menjaga gadis kecil itu duduk di bawah. Dia memperhatikan wajah mungil nan lusuh itu.
Banyak debu di wajah anak ini. Badannya juga kurus kering tidak berisi. Rambutnya usang dan kumal. Bajunya bahkan sudah banyak compang camping sana sini. Dia ini anak siapa?
Perempuan yang ada di dapur tadi kembali. Sambil membawa baskom berisi air hangat dan handuk kecil, dia duduk di dekat Abi. Tangannya meraba-raba bagian tubuh tertentj seperti dahi dan leher. "Panas," ucapnya singkat.
Lastri lalu mengambil handuk kecil yang sudah direndam dalam baskom, memerasnya dan membersihkan dengan telaten wajah gadis itu dari noda. Belum ada yang bersuara, membuka mulut untuk bertanya lagi. Siapa gadis sebenarnya gadis yang dibawa Lastri ini?
Barulah ketika pekerjaannya selesai dan menempelkan handuk kecil lain yang bersih di dahi gadis itu, wanita tua itu bertanya pada anaknya.
"Aku menemukannya di emperan toko, Mak."
"Kamu tau ini anak siapa?"
Perempuan itu menggeleng, tidak tahu.
"Lalu bagaimana kalau orang tuanya mencari dia, Las?"
"Mak, kenapa dia harus tidur di emperan toko dengan badan panas kalau orang tuanya mencari dia?"
"Ya bagaimana kalau dia anak hilang yang orang tuanya masih mencari dia sampai sekarang, tapi belum ditemukan?"
"Kalau memang dia anak hilang, sudah banyak beredar beritanya kalau orang tuanya mencari dia, Mak."
Romlah diam, dia tidak ingin melanjutkan pembicaraan dengan Lastri karena pasti anaknya ini akan terus mencari pwmbenaran.
"Terus mau kamu apakan dia? Gak sebaiknya kita lapor polisi saja?"
Dengan muka datar Lastri menjawab, "Aku akan merawatnya, Mak."
"Las."
"Siapa tau dengan itu Abi berenti pulang telat karena memiliki teman di rumah."
Abi yang sedari tadi hanya memandang wajah gadis itu, sambil mencuri dengar pembicaraan orang dewasa di sebelahnya, menunduk bersalah.
"Las."
"Keputusanku sudah bulat."
Wanita tua itu mengembuskan napasnya. Sejak cucunya, Abi sering pulang malam dan ketahuan mencuri uang ibu paman, dan neneknya, semua keadaan di rumah ini mulai berubah. Bahkan sikap Lastri yang awalnya penyayang mulai berubah keras.
Rasa khawatir yang berubah kesal karena Abi tidak mendengarkan perintahnya membuat Lastri perlahan menjadi keras terhadap anak itu. Tidak ada yang dapat Romlah lakukan. Dia sudah tua, sudah tak bisa menengahi atau pun memberikan anaknya itu nasihat.
Ketika memberikan nasihat pun, Lastri akan balas berkata. "Anak dulu dan sekarang itu beda, Mak. Kalau mereka gak dikerasi, mereka bakal terus membangkang."
Dan Romlah tidak pernah sependapat dengan asumsi perempuan satu anak itu. Dan sekarang, dia ingin mengadopsi anak yang tidak tahu asal usulnya dari mana. Dengan alasan agar Abi tidak lagi pulang malam karena memiliki seorang teman di rumah?
Tapi apa mau dikata, Romlah tidak bisa melarang anaknya itu. Dia membiarkan Lastri membesarkan gadis kecil yang masih tertidur dengan handuk yang menempel di dahinya. Dia juga tak tega membiarkan seorang gadis kecil berkeliaran di luar tanpa tahu tujuan.
Mulai hari ini, Abi mendapatkan seorang adik. Kulit mereka berdua sama, tidak terlalu kuning. Masih coklat kumal. Rambut mereka juga sama, sedikit berhelombang berwarna coklat. Bedanya, wajah adiknya manis dan menggemaskan. Sedangkan, Abi? Dia merasa biasa-biasa saja.
***
"Irma, kalau ibu tanya kakak pergi ke mana. Bilang aja kakak pergi main ke tempat biasa."
"Irma ikut, Kak."
"Gak boleh." Abi mendudukkan adiknya itu di kursi, kemudian berjongkok menatap imbar yang setengah berkaca-kaca.
"Kalau kamu ikut, nanti ibu bakal marahin kamu juga. Mau ibu marah sama kamu?" anak gadis itu menggeleng.
"Tapi kakak jangan lama-lama juga. Nanti kakak kena marah ibu lagi, irma juga cuma berdua di rumah sama nenek. Kakak gak kasian?" gadis berusia tujuh tahun itu sudah pandai mencari alasan.
Ini yang membuat Abi tidak tega untuk berlama-lama pergi. Meski sebagian dirinya juga malas menanggapi Imbar yang manja. Tapi, jiwa seorang kakak sudah tumbuh.
Abi harus pergi, dia sudah mengumpulkan cukup banyak uang jajannya. Dia ingin bermain, setelah selama dua tahun ini ibunya selalu melarang Abi untuk pergi. Lastri mulai pulang lebih siang dari biasanya. Jam tiga sore dia sudah ada di rumah, otomatis Abi harus sampai sebelum jam itu. Agar dia tidak ketahuan jika pergi bermain sebelumnya.
Namun, karena terlalu asik dia lupa waktu. Sampai di rumah dengan rasa takut, Lastri sudah berdiri di depan pintu. Menyeret anak itu masuk ke dalam rumah dan memarahinya.
Dan sekarang ini adalah kesempatan Abi. Ibunya sedang mengerjakan membantu tetangga mereka yang akan mengadakan acara kawinan lusa. Lastri menitipkan Abi dan Imbar pada Romlah, karena sepertinya dia pulang larut malam. Mendengar itu, Abi langsung bersorak senang. Akhirnya dia bisa bermain sepuasnya kali ini.
"Ir, kakak pergi dulu ya. Jaga nenek."
"Irma mau ikut, Kak."
"Gak boleh, kalau kamu ikut nenek sendirian. Udah ya, nanti kakak belikan coklat buat kamu. Dah Irma."
Gadis kecil itu berdiru di teras rumah. Air matanya sudah mengalir karena Abi tak mengizinkannya untuk ikut. Sementara kakaknya dengan semangat berlari menuju tempat game. Dia yakin tidak akan mendapat amarah ibunya kali ini.
Abi sepuluh tahun terlalu yakin pada apa yang sebenarnya belum dia ketahui.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro