Bab 17
Liburan kenaikan kelas telah usai. Waktunya untuk masuk sekolah kembali. Lastri membangunkan, Abi yang masih terlelap tidur. Anak itu kelehan setelah semalam pulang cukup larut dan mendapat nasehat dan cubitan dari dirinya.
Trisno tidak lagi tinggal di rumah ini, beberapa bulan yang lalu dia melamar pekerjaan di malang dan akhirnya diterima. Untuk memudahkan pulang pergi ke tempat kerjanya. Laki-laki itu memutuskan untuk menyewa sebuah kamar kos. Dan pergi lah dia dari rumah.
Sekarang, hanya tinggal Lastri, emaknya dan Abi di rumah ini. Rasa sepi semakin terasa ketika Abi telat pulang karena terlalu asik bermain game. Wanita itu tidak melarang Abi. Tidak! Sama sekali tidak.
Anak itu bebas melakukan apapun. Tidak ada larangan. Yang Lastri khawatirkan hanya ketika Abi pulang malam. Meninggalkan shalatnya dan lupa makan. Itu yang membuatnya tidak tenang sampai Abi sampai di rumah. Dia juga tidak tahu bagaimana caranya mengatakan jika diringa itu cemas, kenapa anak itu harus pulang malam terus? Tidak kah dia dapat mengerti bagaimana kebingungannya Lastri tiap malam menunggui bocah itu?
"Abi bangun! Waktunya sekolah, Nak." Badan Abi yang digoncang cukup kuat membangunkannya dari alam mimpi.
Perlahan matanya terbuka, Abi duduk di atas kasurnya. Sementara ibunya kembali ke dapur. Satu hal yang Abi ketahui adalah dia telat untuk shalat subuh lagi. Kebiasaan yang terus berulang sampai rasanya Abi merasa tak bersalah meninggalkan shalat tiap waktunya.
Tubuhnya terhuyung-huyung, berjalan masih setengah sadar menuju kamar mandi. Tiga puluh menit kemudian dia sudah siap dengan seragam putih merah di atas kursi. Menunggu sarapan yang dibuatkan ibunya.
"Dihabiskan, ya. Jangan lupa baca doa dulu." Abi mengangguk mengerti.
Lastri menarik kursi di sebelahnya, dia memperhatikan cekungan hitam di bawah mata Abi. Mata anak itu sayu, lelah, tidak bersemangat seperti dulu. Wajahnya muram, padam, bahkan rambutnya yang sedikit keriting terlihat acak-acakan.
Baru kali ini ibu itu sadar. Banyak sekali perubahan dari anaknya ini. Perubahan buruk, bukan baik. Abi terlihat tidak terawat, guratan kurang kasih sayang juga nampak pada wajahnya. Matanya tidak lagi bersinar seperti dulu.
Apakah yang Lastri lakukan selama ini adalah salah? Dia benar-benar menyesal. Tapi harus bagaimana lagi? Harus apa lagi yang wanita itu lakukan? Dia tidak tahu, dengan sendirinya amarah menguasai dirinya.
"Abi sudah selesai, Bu." Anak itu mencari tangan Lastri dan menciumnya. "Assalamu'alaikum," ucapnya kemudian pergi.
"Wa'alaikumsalam, hati-hati di jalan ya, Nak."
Tidak ada sahutan. Anak itu keluar dari rumah tanpa sepatah kata apapun lagi. Membua rasa bersalah semakin menganga lebar dalam dada Lastri.
Di perjalanan menuju sekolah, seperti biasa Abi berjalan sendirian. Tidak ada teman yang akan mengajaknya mengobrol atau pun bercerita tentang keseruan bermain saat liburan kemarin. Dia berjalan tidak semangat memasuki gerbang sekolah.
Bukan teman lama yang akan menyambutnya. Dan Dayat tidak akan lagi menjadi teman sebangkunya yang mengajaknya main game dingdong sepulang sekolah. Tidak, bahkan anak gemuk itu sudah tidak lagi bermain di tempat game. Dia berhenti karena ibunya melarang.
Berat hati Abi memasuki koridor utama sekolah. Banyak mata melihat ke arah anak itu. Bukan di sini saja, sepanjang dia berjalan menuju sekolah. Sudah banyak bisikan tak mengenakan yang ia dengar.
Dikucilkan, dibicarakan, dibenci. Hidup Abi rasanya semakin kosong.
Brak!
Seorang anak laki-laki menabrak bahunya sampai Abi terhuyung ke belakang. Ditatapnya anak tadi, dan coba tebak siapa yang Abi lihat? Dayat!
Abi tersenyum senang, namun seketika senyuman itu hilang. Dayat melihat sinis ke arahnya, bukan seperti dayat yang dulu. "Jangan dekat-dekat aku. Kamukan gak naik kelas" ucapnya dingin.
"Gara-gara kamu yang ngajakin aku main sampai malam ibuku jadi suka marah-marah dan malah ngelarang aku main lagi!"
Bocah kurus itu terdiam, mematung. Sampai Dayat pergi menjauh dia tetap berdiri tak bergerak. Rasanya sakit, sesak. Dulu ayah, setelah itu paman dan ibu, dan sekarang? Teman satu-satunya yang dja miliki juga ikut pergi.
Abi salah apa?
Bisikan dan lirikan semakin tajam menusuk. Kaki Abi terasa sangat berat untuk melangkah terus ke dalam kelas lamanya. Dia tidak menyukai berada di sekolah. Semenjak hari itu, bermacam bullyan dia terima.
Dipojokkan, di paksa menyerahkan uang, kadang juga ada yang memukulnya sebagai bahan lelucon. Ketika Abi melawan juga, teman laki-laki satu kelasnya akan memukulinya bersamaan. Namun nasib beruntung selalu berpihak pada Abi.
Pernah satu hari ketika salah seorang bocah laki-laki meminta uang spp milik anak itu, dia menolaknya bahkan melawan. Entah mungkin karena terlalu kesal, sampai akhirnya teman-temannya yang lain ikut membela anak yang salah itu dan berakhir memukuli Abi bersama-sama. Untungnya ibu guru, wali kelas Abi melihat kejadian itu dan melerai mereka.
Walaupun sebenarnya wajah dan bagian tubuh Abi sudah lebam penuh luka. Rini cepat-cepat membawa Abi ke UKS, dan membersihkan luka di tubuhnya. Untuk pertama kalinya perempuan itu tertegun melihat luka baru dan lama di tubuh kurus Abi.
Anak itu bahkan diam saja ketika obat merah ditempelkan pada lukanya. Apa yang sebenarnya terjadi pada anak ini? Bukankah ibu yang memasukkannya ke sekolah ini untuk kuawasi? Tapi, aku benar-benar tidaj tahu apapun tentang Abi.
Semua orang tidak akan mengerti, semuanya tidak akan tahu. Dunia seperti apa yang Abi terima. Cerita apa yang dia lalui. Sampai sekarang dia hanya mampu diam menunggu takdir lainnya bermain.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro