Bab 16
Pagi cerah di Kota Batu pada musim kemarau. Tidak terlalu panas, namun tidak terlalu dingin. Seorang bocah berseragam merah putih berjalan lesu ke arah sebuah sekolah. Hanya sendirian tanpa teman.
Memasuki kelas, kawan sebangkunya mengangkat tangan menyapa Abi. Anak itu tersenyum senang. Hanya Dayat satu-satunya anak yang menyapanya. Mereka tidak terlalu dekat, hanya sebatas teman sebangku saja. Dia meletakkan tas merah di kursi. Lalu duduk tanpa berbicara apapun.
"Kenapa kamu, Bi?" Dayat bertanya penasaran. Tidak biasanya Abi terlihat sangat tidak bersemangat seperti hari ini.
Luka lebam di bibir dan lengannya juga terlihat masih baru. Apa mungkin dia kena marah lagi?
Anak di sampingnya tidak ada niatan untuk menjawab pertanyaannya. Rasanya cukup kesal setelah kemarin lusa anak itu juga tidak mempedulikannya. "Bi, ada apa? Kamu kena marah ibumu lagi?"
Bocah yang membenamkan wajahnya pada lipatan tangannya di meja mengangguk kecil. Sedari Abi duduk, dia sudah menempelkan kepalanya pada kedua tangannya yang ia lipat.
"Kemarin kamu pulang jam berapa?" Dayat bertanya lagi.
Kepala Abi sedikit terangkat. Dia kemudian menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi dengan muka masam yang masih setia terpasang. "Jam tiga pagi."
"Hah?!" Dayat terlonjak kaget. "Uang kamu habis berapa, Bi? Itu main terus sampai pagi?"
Sebuah anggukan lesu, tidak bersemangat untuk mengingat ulang kejadian kemarin lusa. Bel tanda upacara dimulai pun terdengar. Semua anak berlarian keluar beriap mengikuti upacara rutin tiap senin pagi. Dayat menepuk pundak Abi. Apa yang bisa dia lakukan sebagai kawannya? Tidak ada selain memberikan semangat.
Keduanya mengambil topi merah putih yang diletakkan dalam loker meja masing-masing. Setelah sedikit senyum, Abi melangkah menuju lapangan bersama siswa lainnya. Entahlah, tapi kejadian itu benar-benar tidak bisa hilang dari benaknya. Paman nya Trisno yang selalu lembut dan penyayang terhadap Abi, berubah menjadi monster menyeramkan sama seperti seseorang dulu. Ibunya yang selalu melindungi Abi, bahkan sekarang sudah tidak melakukan apapun. Hananya diam menahan tangis dari kejauhan.
Rasanya semua yang Abi miliki sudah hilang bersamaan dengan dunia baru yang datang di kehidupan anak itu. Saat ini hanya lah Dayat yang menjadi temannya. Entah sampai kapan mereka akan terus berteman.
***
Sudah dua semester dia lewati. Banyak sekali cerita yang datang di kehidupannya. Kebiasaan Abi masih sama. Dia suka pulang terlambat dan mengambil uang paman, nenek, atau ibunya tanpa ijin. Walaupun tidak sebanyak dulu, tapi mencuri tetaplah mencuri.
Trisno sudah cukup kejam pada anak itu. Memberikan hukuman hingga dia jera, namun belum ada niatan Abi untuk berhenti bermain. Dan, hari ini adalah hari di mana pembagian rapot diberikan pada masing-masing orang tua.
Lastri datang ke sekolah dengan pakaian sederhana. Dia duduk di meja paling belakang bersama seorang wali murid lain. Satu persatu informasi wali kelas Abi jabarkan pada orang tua murid yang hadir. Sesi saran, kritik, dan keluhan juga disampaikan baik oleh orang dewasa di dalam kelas.
Sampai tiba akhirnya tibalah saat pembagian rapor. Rapor diberikan secara urut dari siswa peringkat pertama hingga siswa peringkat terakhir. Lastri terus menunggu nama anaknya disebut. Sampai menghabiskan setengah wali siswa yang ada, nama anaknya tak kunjung disebut.
Hingga kelas kosong. Hanya tersisa dirinya dan wali kelas saja. Ibu guru di depan sana tersenyum ragu, "Abiandra."
Ternyata anaknya masuk peringkat paling bawah. Dia sudah menduga hal itu. Sedikit malu, Lastri berjalan ke depan menghampiri sang ibu guru. Namun, ibu guru tersebut meminta wanita itu untuk duduk sebentar di salah satu kursi.
Dia membawa rapor Abi dan duduk di sebelah Lastri. Dengan wajah yang turut prihatin namun senyuman masih ia paksakan, ibu guru memperkihatkan sebuah bacaan pada wanita di sampingnya.
Mata Lastri membulat tidak percaya. Bukan hanya berada di peringkat paling bawah. Tetapi anaknya juga...
"Maaf, Bu. Tapi nilai Abi tidak memungkinkan untuk membuatnya naik ke kelas selanjutnya. Dia harus tinggal kelas."
Bagaimana bisa?
Melihat ekspresi terkejut yang tampak dari wajah Lastri. Ibu guru mengerti satu hal. "Abi tidak pernah memperlihatkan hasil ulangannya pada Anda?"
Wanita itu menggeleng. Jangankan memperlihatkan hasil ulangan. Bertemu dengan anaknya saja hanya di malam hari. Tiga sampai empat jam setelah itu mereka tertidur karena kelelahan. Apakah Lastri sudsh benar-benar gagal mendidik anaknya?
"Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya, Bu. Awalnya kami pikir Abi memiliki potensi yang luar biasa. Dia sudah bisa menulis, bisa membaca, sudah pandai berhitung. Tapi entah kenapa. Akhir-akhir ini nilainya turun dan terus turun drastis sampai membuat kami keheranan. Apa Abi memiliki kesulitan dalam belajarnya?" Ibu guru itu bertanya sehati-hati mungkin. Dia ingin membantu salah satu siswanya, tapi jika Lastri tidak ingin bercerita. Perempuan itu tidak bisa memaksanya.
Dan, Lastri lebih memilih untuk bungkam kembali. Tidak mungkin rasanya menceritakan masalah keridak becusannya mendidik anak pada orang lain, itu adalah aib. Dia tersenyum sambil menggeleng pelan. "Ada masalah. Bu guru. Tapi biar saya yang akan berbicara dengan Abi nanti untuk menyelesaikannya."
Ibu guru itu mengerti, salah satu wali muridnya tidak ingin privasinya diganggu. "Baik, Bu. Tapi kalau ibu butuh bantuan, jangan sungkan untuk bilang sama saya. Saya pasti akan membantu ibu dan Abi. Karena yah... Abi juga adalah tanggung jawab saya. Rasanya sudah seperti anak sendiri."
Orang yang baik.
Perempuan 35 tahunan itu mengangguk mengerti. Dia kemudian beranjak dan berpamitan pada wali kelas anaknya. Di luar, Abi sudah menunggu dengan wajah was-was. Ketika ibunya keluar dengan wajah tak tersenyum paksa, perasaannya makin tak karuan.
Apakah ibu kecewa?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro