Bab 15
"Happy ending, hanya lah sebuah kobohongan dalam cerita. Tapi, sangat banyak orang yang menyukai kisah berakhiran bahagia. Apakah aku juga akan mendapatkan kisah berakhiran bahagia?"
***
Jam menunjukkan pukul tiga dini hari. Tapi tidak ada keinginan dari bocah yang duduk menatap layar persegi itu untuk bangkit, sekadar mencari makan atau minum. Atau mungkin terpikirkan untuk pulang?
Jari-jemarinya lincah berpindah dari satu tombol ke tombol lain. Matanya menatap tak berkedip sampai tulisan "K.O" muncul pada layar, dia akan berteriak "Yes!" dengan semangat sambil mengangkat kedua tangannya ke udara.
Sudah beberapa kali dia menang untuk hari ini, kegilaannya pada game membuat anak itu lupa waktu. Dan lupa, sudah berapa uang dia habiskan hanha untuk memuaskan rasa kesendirian.
Dayat sudah pulang kemarin malam, dia berulang kali mengajak kawan sebangkunya itu untuk pulang dan makan tetapi Abi tidak menggubris. Kesal karena tidak dipedulikan, bocab gemuk itu pulang lebih dulu meninggalkan Abi sendirian di tempat game dingdong.
"Dik, bentar lagi tempatnya mau mas tutup. Pulang sana, dari semalam kamu belum pulang. Orang tua kamu gak nyariin, apa?"
"Yah, Mas. Bentar lagi, satu permainan lagi ya." bukannya mendengarkan nasihat si penjaga, Abi merengek mengatakan jika ia masih ingin di tempat ini.
Remaja laki-laki bertubuh kurus itu mengembuskan napasnya, "Gak bisa, Dik. Mas udah mau tutup. Ini mau masuk jam shalat subuh, mas juga mau pulang buat makan dan tidur. Anak kecil baiknya tuh gak begadang. Tapi istirahat trus belajar. Kamu gak kasian orang tua kamu yang biayain kamu sekolah dan cari makan buat kamu? Sudah sana pulang. Bisa-bisa aku didemo orang tua kamu lagi. Sana, sana!"
Setelah cermah panjang lebar dari sang penjaga, Abi akhirnya diusir paksa. Benar kata penjaga itu, Anak seharusnya tidak di sini. Dia itu harusnya ada di rumah dan belajar untuk masa depannya. Tapi, aku menyukai game. Ketika bermain, duniaku terasa lengkap. Aku bahagia dengan game yang aku mainkan.
Uang di dopet kuning terang itu kini hanha tersisa satu lembar saja berwarna biru. Sudah terlalu banyak uang ibunya juga yang Abi pakai untuk ditukar dengan koin. Bagaimana cara mengembalikan uang-uang berwarna merah itu ke dalam sini lagi? Berapa jumlahnya saja Abi tidak tahu, apalagi mencarinya.
Dengan lesu, kepalanya tertunduk berjalan tak bersemangat. Kakinya menuju rumah nenek, tapi hatinya tak pernah ingin pergi ke arah sana. Dia takut, jika nanti ibunya kecewa dan marah. Anak itu takut, jika pakleknya ikut marah besar dan menghukum Abi dengan kekerasan. Siapa yang akan menolongnya? Jawabannya. Tidak ada.
Ini adalah kesalahan bocah itu. Penyesalan yang datang terlambat setelah pemikiran pendeknya. Berpikir jika dia tidak akan menggunakan banyak uang ibunya, nyatanya uang itu hampir habis karena terlalu asik bermain. Tenggrlam dalam dunianya.
Kakinya berhenti melangkah. Rumah masih gelap, tidak ada lampu yang menyala. Mungkin ibu, paman, dan neneknya sedang tertidur pulas sekarang ini. Ya, lagipula ini masih pukul tiga pagi.
Mengendap-endap, Abi menekan ke bawah gagang pintu rumah. Tidak terkunci!
Hatinya bersorak gembira begitu tahu jika dia bisa masuk ke rumah tanpa kesulitan apapun. Sampai akhirnya ketika pintu sempurna ditutup. Lampu dalam ruang tamu menyala. Anak itu terkaget setengah mati, begitu tahu pamannya sudah berdiri di belakang punggung Abi.
Badannya gugup, gemetar, ketakutan. Perlahan Abi memutar badannya, dan....
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. Merah, panas, dan nyeri. Sama seperti tamparan yang ia dapatkan dari seseorang dulu. Mata Trisno menyalang tajam, dia geram. Lastri di belakangnya bahkan hanya diam menonton, kali ini dia sama sekali tidak menolong anaknya itu. Rasa kecewa wanita itu lebih dalam.
Trisno juga memintanya untuk diam menyaksikan, laki-laki itu melakukan hal ini pada Abi agar bocah itu mengerti akan kesalahannya.
"Sudah pukul berapa ini kamu baru pulang?!" bentak Trisno.
Abi tidak menjawab, mulutnya bungkam. Badannya seolah menyusut kecil. Dia takut saat digertak.
"Jawab Abi! Pergi main ke mana kamu sampai baru pulang dini hari?!"
"A-aku b-bermain game, Paklek."
Plak!
Satu tamparan lagi mendarat, lengannya ditarik paksa oleh sang paman. Mata pemuda yang belum menikah itu menangkap benda yang sepertinya kakaknya cari saat dia kembali pulang ke rumah. "Ini punya siapa?! Dapat dari mana kamu benda ini?!"
Abi takut untuk menjawab lagi, dia takut dipukul. Dia hanya menunduk dan terus menunduk menyembunyikan air matanya yang terus menetes.
"Kamu mencuri uang ibumu sendiri?!"
Sambil menangis sesenggukan, Abi mengangguk. Dadanya tidak kuat untuk terus menyimpan ketakutan.
Bug!
"Trisno!" Lastri yang sudah tak tahan berteriak. Adiknya ini sudah kelewat batas.
"Kamu! Sama saja seperti laki-laki tak berotak itu!" Laki-laki itu mencubit geram paha Abi. "Membuat orang lain khawatir!" mencubitnya lagi. Begitu seterusnya sampai amarahnya padam.
Sedangkan Abi? Anak itu hanya mengaduh kesakitan, memknta ampun dan minta maaf. Berharap Trisno berhenti mencubiti lengan dan pahanya. Sakit, Bu. Tolong Abi.
Hukuman dan amarah laki-laki jangkung itu mereda seiring adzan berkumandang. Pemuda itu melepaskan Abi, dan berjalan keluar rumah untuk mencari amgin, menghilangkan kekesalan bercampur kasihan terhadap bocah yang sudah disakitinya barusan.
Trisno tidak punya jalan lain untuk membuat anak itu berhenti. Sudah berkali-kali orang di rumah memperingatkan Abi dan menasehati anak itu. Tapi, hasilnya tetap saja. Bahkan sekarang dia malah lebih brani lagi dengan mencuri uang ibunga sendiri. Sudah habis kesabaran orang-orang rumah. Jika bukan Trisno yang turun tangan, siapa lagi? Lastri tidak mungkin tega melakukannya.
Di dalam rumah, Abi menangis sesenggukan. Tidak ada yang memeluknya, lalu membisikkan maaf, semuanya bukan salah dia atau apapun itu. Lastri hanya meljhat dari jauh, menutup mulutnya ikut menangis.
Apa yang salah? Kenapa Abi harus menjadi nakal seperti ini? Apa ini hukuman dari Tuhan karena sering dia menelantarkan Abi? Apakah inu sebuah teguran?
Matanya terus berkaca-kaca.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro