Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 13

Hari senin, hari pertama untuk Abi bersekolah. Sudah lebih dari lima belas menit anak itu berpose di depan cermin. Berputar, berbalik, tersenyum, dan gaya lucu lainnya. Setelah sholat subuh, Abi lekas menyiapkan alat tulisnya dan mandi. Rasa antusias karena hari ini adalah hari yang paling dia nanti.

"Abi, ayo sarapan dulu." dari arah dapur suara Lastri menggema hingga ke kamar Abi.

"Iya, Bu," jawab Abi. Tangannya meraih tas punggung kebesaran berwarna merah.

Abi sudah siap, topi merah putih, dasi, seragam putih merah, dan sepatu hitam yang sudah Trisno semir kemarin sore sudah terpakai pas. Dengan hati senang dia duduk di atas kursi kayu dapur. Tasnya bocah itu sandarkan pada kaki kursinya.

"Wah, laki-laki kecil kamu udah rapi Mbak. Makin keliatan keren aja ini anak." Trisno berucap gemas sambil menggoyangkan kepala Abi menggunakan telapak tangannya. "Mau paklek yang nganteri atau ibu?" tawar laki-laki itu setengah menggoda.

"Jangan godain Abi terus, Tris." dari arah samping Lastri menjawir telinga Trisno, laki-laki itu mengaduh kesakitan.

"Abi dimakan dulu ya. Bentar lagi ibu anterin kamu ke sekolah." sepiring nasi goreng hangat Lastri letakkan di hadapan bocah itu. Dia tersenyum dan mengangguk semangat.

Abi melahap nasi goreng buatan Lastri setelah membaca doa. Sepersekian detik nasi sudah habis. Anak itu sudah tidak sabar untuk segera berangkat, dia segera turun dari atas kursi begitu air putih di mejanya juga habis.

Tangannya memegang rok batik Lastri yang sedang mencuci piring sisa semalam. Membuat isyarat jika dia sudah selesai dan siap untuk pergi ke sekolah.

Lastri yang mengerti maksud anaknya itu tersenyum senang, tapu sayang masih ada sisa beberapa piring lagi yang harus dia gosok."Tunggu sebentar ya, Abi? Tinggal tiga piring lagi baru selesai. Abi bisa nunggu?" katanya sedikit hati-hati.

"Lama banget, Bu?" bocah yang takut akan telat masuk kelas hari pertamanga itu bertanya sedikit kecewa.

"Sebentar kok, sedikit lagi ibu selesai."

Anak itu tertunduk lesu. Baiklah, tidak apa-apa jika dia bukan jadi anak pertama yang sampai di kelas. Walaupun keinginannya seperti itu, tidak apa lah. Lagipula ibunya belum selesai mencuci, Abi tidak bisa memaksa.

Tris no yang asik menikmati nasi goreng miliknga memperhatikan pembicaraan ibu dan anak yang tidak jauh dari tempatnya duduk. Dia melihat wajah Abi, salah satu keponakan kecilnya murung. Sedangkan Lastri, anak kedua dari keluarganya tersenyum paksa. Sepertinya keduanya juga ingin cepat-cepat selesai dan pergi ke sekolah bersama.

Sesuap nasi goreng memasuki mulutnya. Ah, bagaimana kalau sekarang ini dia menjadi superhero untuk mereka? Hitung-hitung pahala menolong orang.

"Pergi saj--," belum juga Trisno mengucapkan kalimatnya. Batuk akibat tersedak nasi goreng yang masih bergerumun di mulutnya lebih memotong kalimat yang akan dia ucapkan.

"Duh, Tris." Lastri mengambilkan segelas air minum. Sambil menepuk pelan punggu laki-laki itu dia menegur adiknya. "Kalau masih makan jangan bicara dulu. Habisin yang di mulut kamu baru ngomong. Lagian makan gak baca doa, sih."

"Iya Mbak, iya." Trisno terbatuk kecil, masih ada sisa rasa sakit di tenggorokannya. Hancur sudah rencana awalnya untuk terlihat keren.

"Udah, jangan lebay. Barusan mau ngomong apa?"

Trisno mengerucutkan bibirnya, "Cuma mau bilang, kalau mbak sama Abi mau ke sekolah berangkat aja. Biar aku entar yang beresin sisa cuci piring mbak."

Alis wanita itu terangkat sebelah, "Tumben kamu mau bantuin mbak. Ada udang di balik batu nih pasti."

"Ish, si mbak," laki-laki berambut seperti jarum itu melihat ke arah lain. Mbaknya ini bukannya bersyukur dia tolong malah mengatakan jika ada niat tersembunyi. "Aku tuh ikhlas mbak. Mau nolongin Abi sama mbake biar cepet berangkat ke sekolah. Malah dituduh yang bukan-bukan."

"Iya, iya. Heran aja sih gak biasanya kamu mau bantuin, Mbak. Yaudah, itu ada tiga piring lagi. Tinggal kamu bilas trus lap aja. Mbak mau nganterin Abi. Jangan lupa bawa emak jalan-jalam pagi."

"Iya, nyonya menir. Siap laksanakan perintah."

"Hush! Mulutmu itu. Yaudah ah, mbak sama Abi berangkat."

"Iye, monggo kanjeng ratu."

Lastri memutar bola matanya, dia berbalik mengambil tas merah Abi yang masoh tergeletak di lantai. "Abi, yuk berangkat."

Anggukan semangat dan senyuman senang, anak itu berlari menuju ibunya. Saat akan melewati pamannya, Abi mengucapkan terimakasih dan berpamitan pada Trisno. Sama yang ia lakukan ketika di luar. Neneknya yang duduk berjemur tersenyum ikut senang melihat Abi. Anak itu mencium punggung tangan keriput milik neneknya, begitupun Lastri.

Keduanya berangkat ke sekolah. Jarak antara rumah dan sekolah baru Abi tidaklah terlalu jauh. Jadi, ketika sudah cukup lama dan mengahapak jalan pulang, anak itu bisa pulang sendiri tanpa perlu Lastri jemput lagi.

Seperti yang sudah diduga, banyak orang tua dan siswa baru maupun siswa yang sudah lama datang ke sekolah. Mereka berdua mencari kelas yang nantinya akan ditempati Abi. Hanya ada dua belas kelas jadi tidak sulit untuk mereka berdua mencari kelas Abi.

Tidak perlu waktu lama, Abi menemukan kelasnya. Namanya terpampang di kertas putih yang ditempel cukup tinggi. "Ibu, kelas Abi di sini."

Perempuan itu langsung menghampiri Abi, dia sempat kebingungan ketika anaknya menghilang dari sampingnya sampai suara anak itu masuk ke gendang telinganya. Abi menyalimi ibunya begitu Lastri sampai dan memastikan jika nama anak itu memang benar-benar tercantum.

Sedikit perasaan gugup, Abi masuk ke dalam kelas. Dia memilih tempat duduk kosong di barisan tengah paling belakang, karena meja paling depan dan tengah sudah diisi oleh anak lain. Ada anak laki-laki bertubuh gemuk yang akan menjadi teman sebangkunya.

"Namaku Dayat, kamu?" tanpa diduga anak di sampingnya itu memperkenalkan diri. Padahal dia terlihat judes dan tidak ramah, mungkin sedikit menakutkan jika dari mata Abi.

Ragu, Abi menjawab. "Namaku Abi."

"Oh, Abi. Kamu tinggal di mana?"

Anak bernama Dayat terus mengajak Abi berbicara. Tidak seperti tampangnya, dia ternyata ramah meski mukanya jutek. Mereka berdua terus mengobrol sampai bel masuk berbunyi. Dari balik jendela, di luar kelas. Lastri memperhatikan anaknya. Dia tersenyum melihat Abi sudah bisa berinteraksi dengan teman sebayanya. Akhirnya setelah sekian lama ingin melihat anaknya tumbuh seperti anak lainnya, sekarang ini dia bisa menyaksikan sendiri.

Alhamdulillah, semoga kamu betah bersekolah di sini Nak.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro