Bab 10
Minggu pagi, jam menunjukkan pukul lima. Seorang wanita dengan tas hitam besarnya keluar dari rumah diikuti bocah kecil di sampingnya.
Mereka berdua masih bermalam di rumah itu. Setelah kejadian semalam. Lastri mengemasi pakaian dan barang miliknya dan Abi. Dia juga mengatakan pada anaknya itu bahwa mereka akan pindah dari rumah ini.
"Kenapa, Bu?" wanita itu tersenyum lembut membelai rambut putranya.
"Kita tidak bisa hidup dengan bapakmu lagi. Abi dan ibu akan tinggal di rumah nenek dan pakle untuk sementara waktu. Gak papa, kan?"
Laki-laki kecil itu mengangguk ragu, "Tapi kenapa Abi gak bisa tinggal sama bapak lagi?" ucapnya polos.
"Nak," Lastri mendekat. "Suatu hari, Abi pasti mengerti. Untuk sekarang Abi gak perlu tau dulu ya?"
Matanya menatap murung. Abi tidak tahu apakah pergi dan tidak lagi tinggal bersama bapaknya adalah hal baik atau buruk. Dia tidak terlalu mengerti karena mata Lastripun memancarkan ketidak pastian tentang perasaan wanita itu.
Saat akan keluar dari rumah sederhana bercat putih pucat itu, Aried lebih dulu keluar dari rumah menyenggol bahu Lastri. Dengan jaket kulit coklatnya yang lusuh dia berkata, "Aku mau pergi dengan kawanku. Kalian tinggal di sini, jaga rumah ini sampai besok pagi. Subuh-subuh sekali cepat angkat kaki. Aku tak sudi melihat muka kalian berdua lagi ketika aku kembali." pria itu menatap sinis, kemudian pergi meninggalkan rumah.
Dan di sinilah mereka. Abi dan Lastri tidur hanya untuk semalam. Sebenarnya wanita itu tidak mengerti maksud Aried. Kenapa pria itu tiba-tiba bersikap baik? Ah, tidak. Mungkin apa yang dilakukannya untuk menebus kesalahan selama tujuh tahun ini. Mungkin dia sudah sadar meski hanya sedikit tentang semua kesalahannya.
Setelah memasakkan oseng tempe, mereka berdua cepat-cepat pergi dari rumah. Lastri mengunci pintu rumah Aried dan meletakkan kuncinya di bawah keset yang ada di depan pintu masuk.
"Yuk, Abi." tangannya meraih tangan kecil milik Abi.
Anak dan ibu berjalan di kegelapan, matahari belum terbit. Hanya kokokan ayam yang terus berbunyi sepanjang perjalanan mereka berdua. Rumah ibunya cukup jauh dari rumah Aried. Ini akan menjadi perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan bagi mereka berdua.
Di ujung gang seorang laki-laki berusia sekitar 25 tahunan menunggui seseorang dia tas motor bututnya.
Begitu melihat sosok wanita dan anak kecil yang ditunggunya muncul. Dia turun dan menghampiri mereka berdua. "Assalamu'alaikum, Mbak Las," sapanya.
"Lah? Trisno. Wa'alaikumsalam, dek. Kok kamu bisa di sini?" Lastri menatap laki-laki yang diapnggilnya Trisno bingung.
"Aku disuruh emak sama bapak buat jemput mbak. Mbak Ningsih nelpon ke emak kemarin, katanya Mbak Las mau keluar dari rumah Mas Aried kemungkinan kamarin malam. Eh tak tungguin ternyata ndak muncul-muncul. Jadi aku nginap di rumah temen deket sini. Aku malas ketemu sama si brengsek itu mbak. Bawaannya emosi, tau sendirikan?" Trisno menceritakan panjang lebar alasannya ada di sana.
Dengan anggukan masih keheranan Lastri mengiyakan apa yang adiknya itu katakan. Memang ada benarnya, terakhir kali mereka bertemu Aried dan Trisno berakhir dengan babak belur. Permasalahan ketika Lastri mengandung tua namun Aried tidak peduli dan lebih memilih barang-barang berharganya untuk berjudi.
"Abi! Astaga, sudah besar ya kamu," Teisno menggendong tubuh mungil itu, enteng.
"Pagi Pakle."
"Pagi juga, Abi."
"Yaudah, Tris. Yuk pergi. Takut Mas Aried dateng liat kita. Nanti ngamuk lagi malah."
Trisno mengangguk, dia menurunkan Abi dan beralih menaiki motornya lagi. Mesin sudah hidup, Lastri menaikkan Abi di jok kemudian dirinya. Mereka berdua pergi meninggalkan tempat tinggal asal. Tempat Abi lahir berkat bantuan tetangga yang berprofesi sebagai bidan.
Meninggalkan kenangan pahit tiap harinya yang selalu mereka terima. Mencari kebahagiaan baru yang mungkin masih tersisa untuk keduanya. Abi menatap gang kecil itu. Di dekat gang berdiri sebuah tiang listrik yang cukup besar. Dan di balik sana. Remang-remang mata sipit itu menangkap sosok pria. Berdiri menatap kepergian keduanya.
Aried melihat Abi dan mantan istrinya pergi. Dia memberikan kesan buruk seorang ayah. Terlalu lama menyia-nyiakan keduanya. Lalu, kemudian dia bisa berbalik meminta maaf dan berjanji jika akan berubah ketika Lastri mengatakan ingin berpisah darinya?
Mustahil! Harga dirinya jauh lebih tinggi daripada itu. Selama seminggu ditinggal mereka berdua hidup Aried tak menentu. Makanan, pakaian, rumah dan dirinya. Tidak ada yang mau mengurus. Semua terasa sulit, tapi sangat memalukan jika dia mengeluh dan mengemis pada wanita itu. Tak sudi rasanya.
Mengucapkan 'talak' pada Lastri juga sangat berat untuknya. Perempuan itu sudah mengurusi hidupnya, tanpa wanita itu. Siapa yang akan mengurus hidupnya setelah ini? Ah, Aried harus pasrah. Dia harus membiarkan keduanya pergi.
Berpura-pura semuanya baik-baik saja tanpa mereka dan bersikap congkak itulah Aried. Tidak perlu menyesal, lagipula selama ini dia tidak banyak melakukan kebaikan apapun pada keduanya. Mencari nafkah, mendidik anak, menyayangi istri. Tidak ada satupun! Dia hanya pria miskin, dengan pikiran andai-andai.
Memberikam kebebasan pada keduanya adalah salah satu kebaikan yang bisa dia lakukan. Aried tersenyum tipis. Dia juga merasa lega, selama seminggu ditinggal pergi dirinya sudah sadar akan semua kesalahannya. Sekarang waktunya untuk dia berubah, bertobat. Meski tidak akan merubah pandangan Abi pada bapaknya yang keras dan tak berotak.
Selamat tinggal, Nak. Semoga kalian bahagia.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro