Bab 4. Resmi Berkenalan
Malaaaammm..
Masih ada Yang baca ini enggak sih?
Soalnya kata Abel dikit Yang baca..
Merhatiin aja dia.. 🤣🤣🤣🤣
Ramein deh, biar si Abel seneng.
Btw.. Inget ya, beberapa kondisi dalam cerita ini diambil dari kejadian real.
Tapi tenang, gak semua kok..
Jadi kalian kudu nikmati semuanya..
Nanti akan muncul cast ini, kira-kira ada yang bisa nebak jadi siapa di cerita ini?????? 🤪🤪🤪
Ganteng mana sama cast Abel???
Apa? Abel tua?
Emaaaaangggg.. 🤣🤣🤣🤣🤣
Banyak orang sibuk meninggi, tapi apa daya Tuhan tidak pernah tertandingi.
Kumpul bareng temen emang jarang banget gue lakuin, tapi kemarin ini temen gue maksa banget harus gue datang hari ini. Alhasil di sinilah gue sekarang. Di tempat nongkrong, lokasi daerah rumah gue sebenernya, dengan menu khas burger, emang rame banget setiap sorenya.
Bukan cuma dipakai tempat nongkrong anak-anak, tapi juga tempat kaula muda pacaran. Jadi enggak aneh kalau malam minggu begini kondisinya ramai sekali. Bahkan antrian untuk pembelian makanannya saja seperti orang-orang mau mengantri sembako.
Waktu gue sampai, gue harus nunggu orang lain keluar dulu baru motor gue yang ukurannya lebih besar dibandingkan motor-motor matic pada umumnya, bisa parkir dengan aman.
Sambil buka jaket beberapa temen gue udah ngelirik gue sambil nunjuk-nunjuk. Emang keterlaluan mereka. Mentang-mentang datang bawa pasangan, semuanya kelihatan sok. Padahal belum tentu mereka bisa bersanding di pelaminan sama pasangan mereka.
"Woi, Abel. Apa kabar lo? Sombong amat sekarang."
Gue balas juga tepukan di bahu dia beberapa kali, sambil melirik ke arah seorang cewek yang duduknya di samping temen gue, Ariva, entah siapa namanya yang jelas kayak familiar bagi gue. Cuma gue aja yang pelupa sampai enggak inget punya temen yang mukanya begitu.
"Hari ini makan disponsorin Abel, kan?"
Salah satu temen gue main tembak aja, emang keterlaluan mereka semua. Mentang-mentang gue yang jarang ngumpul, bisa-bisanya dia ngomong seenaknya.
Sambil taruh kunci motor di atas meja kayu, gue ngelirik sebentar ke arah antrian, melihat menu utama dan satu-satunya yang ada di sini, burger atau hot dog. Yah, walaupun cuma dua itu, tapi kedua makanan ini gue akuin enak buat dimakan sambil nongkrong bareng temen-temen begini.
"Pada mau pesen apa?"
Gue emang bener-bener lemah. Baru ditembak dikit, langsung aja terima. Kalau kata orang Jawa, legowo. Eh, bener enggak, cuk?
"Gue cheese burger."
"Dua. Dua cheese burger."
"Tiga. Tiga yang keju."
"Empat deh, sama gue."
"Eh, gue Chili dog, yang XL. Maklum orangnya enggak cukup yang kecil mah."
"Lo apaan, Ghe? Mumpung ada bos yang mau traktir."
Gue sempat diam, nungguin tuh cewek mikir. Dia kayak lagi lihat spanduk menu di dinding, terus ngelihat ke gue.
"Cheese burger juga deh. Tapi yang ada telornya."
Dia ngomong santai banget. Kayak gue pelayannya.
"Ada lagi enggak?"
"Ya, biasalah. Cola, terus kentangnya juga boleh."
"Gue milo aja."
Lagi-lagi ini cewek ngomong kayak gue pelayannya. Dia nungguin respon gue atas pesanannya itu.
"Oke. Yang lain cola, dan lo, milo."
"Cieelah, elo. Kenalan dulu kali."
Temen gue yang lain sibuk banget ngebacot. Yah, yah. Gue akuin, malam ini adalah sebuah kesalahan gue datang. Karena dua temen cowok gue pada bawa ceweknya ngumpul. Sedangkan si Ariva kayaknya datang sama tuh cewek.
"Buruan kenalan. Anjir. Susah amat lo. Disuruh kenalan aja."
Daru, salah satu temen gue dorong-dorong, maksa gue buat kenalan sama cewek yang duduk di samping Ariva.
Sebenernya dipaksa-paksa gini gue paling males orangnya. Karena buat apa dipaksa, nanti gue juga kenalan sendiri. Tapi karena temen-temen gue ini enggak sabaran, jadinya gini deh.
"Abel."
"Ah? Siapa? Abel?"
Dia ngelirik Ariva yang ketawa dari tadi, terus ngelirik gue lagi kayak orang bingung. Elah, ini orang belum makan aja udah eror.
"Kenapa deh? Dia kenal sama Abel?"
Si Ariva langsung ambil alih semuanya. Dia masih ketawa tapi coba jelasin semua.
Jadi ternyata... ternyata, cewek ini yang sering neror wa gue dengan segudang wa dia. Dia juga yang ngomel-ngomel ke gue gara-gara pak Hadi.
Jadi begini bentuknya, cewek yang statusnya menghindar lebih baik?
"Pantes kok mukanya kayak pernah lihat." Dia ngomong lagi sambil ikutan ketawa.
"Maaf ya mas Abel, gue Ghena. Ghena yang kemarin ngerepotin."
Suara-suara halus pada sibuk godain gue sama ini cewek. Padahal mereka enggak tahu aja kelakuan Ghena selama neror gue lewat WA. Keterlaluannya minta ampun.
Karena enggak mau kalah, gue langsung pasang ekspresi menjengkelkan. Jadi benar dia Ghena. Pantas tadi kayak familiar.
"Oh, ini Ghena. Salam kenal kalau gitu."
Sebatas itu. Gue sama sekali enggak salaman atau sebatas basa basi buat tanggapi godaan serta candaan temen-temen gue. Karena gue langsung aja jalan, buat antri beli makanan.
Bahkan temen-temen gue kelihatan aneh lihat reaksi gue.
"Kenapa tuh orang? Coba Va, lo bantu si Abel tuh. Kayaknya dia lagi punya masalah."
"Gue aja ya. Biar gue yang bantu."
Gue yang lagi antri buat beli makanan bener-bener kaget dengar respon si Ghena. Dia malah mengajukan diri buat bantu gue. Emang anaknya kurang ajar banget.
Waktu gue lihat dia bergerak ke gue, langsung gue pura-pura sibuk tatap layar hape sambil nunduk. Padahal gue tahu dia ngedekat.
Eh, tapi ngomong-ngomong tinggi juga ini cewek.
"Tadi pesanannya apa aja ya, Mas?"
Rambutnya yang panjang kelihatan kusut banget. Ya elah, ini cewek sisiran enggak sih?
Gue nengok ke arah dia. Tapi dianya malah sibuk lihat daftar menu yang ada di spanduk depan.
Manik matanya menyipit, buat gue yakin dia punya mata minus. Yang enggak bisa lihat kalau dari jarak jauh.
"Itu bacaannya apa sih?" tunjuknya ke arah menu nomor dua dari atas.
"Itu pesenan lo tadi."
"Oh, kok dari sini enggak kelihatan ya."
Dia ketawa sambil ngelirik gue. Terus tanpa sadar kok gue malah ikutan ketawa lihat dia ketawa. Emang kurang ajar ini mulut. Nanti disangka kesenengan bareng dia.
"Udah, lo duduk aja. Biar gue aja yang beli."
"Enggak papa. Sekalian gue mau bilang makasih soal kemarin. Padahal pak Hadi udah setuju gue masuk, cuma gue nya aja yang enggak mau."
Dia bisa ngomong sesantai itu, padahal sebelumnya dia ngata-ngatain pak Hadi si botak yang ngeselin.
Dasar cewek labil.
"Terus sekarang lo udah kerja?"
"Hm. Udah. Sales sih. Tapi lumayan lah. Hehehe. Padahal gue belum gajian, tapi udah ngomong lumayan aja."
"Bagus deh."
Dia ketawa lagi, terus melangkah maju karena antrian kita bergerak ke depan. "Soalnya kalau gue terima kerjaan yang pak Hadi kasih, gue harus pindahin jadwal kuliah gue ke malam. Dan gue ini orangnya malesan. Kalau udah malam pengennya tidur bukan belajar. Jadi gue putusin ambil kerjaan yang shifting."
"Oh gitu. Kenapa lo mau kerja kalau masih kuliah?"
"Kalau lo gue tanya balik, kenapa masih mau hidup padahal udah jelas-jelas bakalan mati."
"Beda konteks ya!" Gue langsung ngegas dikit, karena respon dia bikin gue kesel.
"Sama aja. Dengerin gue ya, kenapa gue bilang sama. Karena gue pengen pendidikan dan pemasukan bisa seimbang. Sama kayak hidup dan kematian. Lo sibuk ngurusin kematian terus, yang ada lo stres, Mas. Tapi kalau lo sibuk ngurusin hidup terus dan lupa kalau bakalan mati, itu juga salah. Jadi harus seimbang kan. Lo berjuang buat hidup yang baik, biar di sana lo tenang."
"Di sana mana?"
"Di alam kematian. Elah, gitu aja pakai tanya."
"Bacot banget sih lo."
"Hahaha, lo sensitif banget, Mas. Kalau ngomong sama gue jangan pakai hati, yang ada lo bakalan gigit jari nantinya."
Benar-benar diluar pemikiran gue. Menunggu antrian sepanjang ini bareng Ghena benar-benar enggak kerasa. Paling yang gue rasa cuma emosi doang. Capek ngantri mah enggak.
"Giliran kita."
"Mas, pesen cheese burgernya empat. Terus chilli dog yang XL satu, sama cheese burger yang ada telornya. Satu. Terus minumnya 5 cola, sama satu milo."
"Ada lagi?"
"Eh, Mas. Lo pesen apa?"
Dia nyikut gue karena dari tadi gue cuma diam dengarin dia ngomong. Kok dia hafal?
"Ah? Gue? Samain aja kayak lo. Tapi minumnya soda ya. "
"Mas, yang cheese telor tambah satu lagi ya. Sodanya juga satu lagi."
"Oke. Kita total ya pesanannya ada 7 makanan dan minuman."
"Totalnya jadi 210 ya, Kak."
Waktu disebutin nominal pembelian kita, si Ghena cuma ngelirik gue sambil senyum-senyum.
Hahaa, emang sih. Enggak ada sejarahnya cewek bayarin cowok. Dan kali ini pun begitu.
Continue.. Whakaka..
Cieee.. Abel, inget ini enggak?
Kalau enggak salah waktu itu bulan puasa yak? Apa bukan sih? Lupa.. 🤣🤣🤣
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro