Bab 29. Ketemu Camer
Sebagai cowok gue enggak pernah kenal kata nanti untuk membuatmu benar-benar menjadi milikku.
Sebenarnya hal yang mau gue ucapin ke Ghena udah beberapa kali gue sindir. Entah itu lagi ngobrol biasa, atau lagi serius. Cuma ya gitu, nih cewek gue katanya masih belum siap aja. Dia masih takut. Takut dia bukan cewek terbaik untuk gue. Takut ini lah, itulah, banyak ketakutan yang sering banget dia kasih tahu ke gue.
Walau beberapa kali gue coba kasih penjelasan ke dia tentang rasa takutnya, namun masalahnya si Ghena emang belum mau melangkah ke status yang lebih jauh lagi. Pikirannya masih kecil banget. Masih keseringan hura-hura dan bahagia. Masih suka mengikuti jejak oppa-oppa Korea yang buat gue geleng kepala. Tapi balik lagi, gue enggak mungkin nungguin dia terus. Capek juga nahannya. Nahan buat enggak rindu sama dia. Nahan buat enggak peluk dia. Pokoknya nahan segalanya deh. Karena emang sejujurnya gue pacaran sama Ghena benar-benar gue tahan semua hal yang berhubungan dengan napsu setan gue. Cukup masa kelam Ghena yang udah sakitin cewek kesayangan gue ini. Jangan sampai gue juga ikutan.
Untuk itu gue mau coba cara baru nih. Pengen gue ajak ke rumah gue. Ketemu nyokap. Mungkin mereka akan banyak ngobrol, dan Ghena menjadi lebih terbuka pemikirannya. Yah, semoga aja. Ini jalan gue satu-satunya.
Pertama-tama, yang harus gue lakuin itu, tanya ke Ghena kapan dia bisa libur? Apalagi sebagai seorang sales, gue paham banget enggak mungkin si Ghena libur di hari weeekend atau tanggal merah. Soalnya dulu, awal-awal gue pacaran sama Ghena, gue dengar dia ribut sama temen salesnya di toko, karena katanya si Ghena liburnya diistimewain. Padahal dari yang gue tahu, si Ghena cuma izin ke SPV nya, minta libur seminggu 2kali karena harus kuliah. Selebihnya dia akan lembur demi mengganti waktu kerjanya. Gila banget kan. Gimana gue enggak setengah mampus cinta banget sama dia. Ini yang buat gue mikir kalau Ghena tuh beda banget sama cewek lain.
"Halo, assalamu'alaikum, Yang. Kamu lagi di mana?"
"Wa'alaikumsalam. Di rumah. Baru pulang ujian."
"Kamu enggak kerja?"
Dia diam. Jangan-jangan si Ghena geleng-geleng kepala. Yah, mana gue lihat?
"Iya, izin libur. Aku lagi ujian soalnya. Enggak bisa diganti banget jadwalnya hari ini."
Sengaja gue ngelirik jam, udah jam 3 sih emang. Inilah minusnya pacaran sama Ghena, dia paling benci kalau sering-sering ditelepon. Katanya dia sih, kalau gue enggak percayaan banget sampai nelepon berulang kali.
Jadinya sekarang setelah beberapa bulan pacaran, paling banyak gue hubungi dia sehari sekali. Itu juga enggak lama, paling 2-3 menit, abis itu cuma bales chat dia yang kirimnya satu-satu kayak bom.
"Nanggung juga sih ya. Kalau jam segini ke toko, jam berapa kamu kerja."
"Hm."
Embusan napas Ghena yang terdengar kasar, berulang kali gue dengar. Pikiran gue malah semakin bertanya-tanya, dia enggak lagi marathon, kan?
"Nanti sore aku jemput ya."
"Mau ke mana?"
"Ke rumahku. Kamu kan belum pernah ke rumahku."
"Gimana?"
"Bukannya udah pernah?"
"Kapan?"
"Waktu itu. Yang nungguin kamu ganti baju pas kita mau jalan."
"Hahaha. Itu mah enggak dihitung. Yaudah pokoknya siap-siap. Balik kantor aku jemput."
Sengaja langsung gue putusin aja sambungannya sepihak. Padahal sebelumnya enggak pernah gue begini. Cuma kayaknya kali ini harus. Secara gue enggak mau dengar Ghena nolak. Kalau dia nolak lagi, kapan gue ngomongnya?
Dulu nembak dia aja enggak secara langsung. Masa pas ngelamar juga masih enggak secara langsung. Duh, jangan sampai deh.
***
"Masuk, A."
Sampai di rumah Ghena, seperti biasa ibunya Ghena menyambut dengan ramah. Sambil memomong cucunya, dia jalan ke dapur, buatin minuman pasti buat gue.
Di rumah ini, gue udah ngerasa kayak rumah sendiri. Gue bisa sebebas-bebasnya, bahkan tidur di kamar abangnya Ghena aja pernah gue lakuin. Kejadiannya waktu itu gue main ke rumah Ghena, eh kehujanan. Dan mana gue tahu kalau akhirnya gue meriang. Untung ibunya Ghena cepat tanggap banget. Dia kasih gue obat penurun panas, terus buatin gue teh hangat, dan suruh gue tidur dulu sampai ujan reda. Sedangkan si Ghena? Boro-boro perhatian ke gue. Dia sibuk main sama ponakannya. Enggak ada tanya ini itu, yah minimal tanya gue udah sehat apa enggak. Dia orangnya enggak pernah bisa basa basi busuk. Suka ya bilang suka. Enggak ya dia akan ngomong enggak suka. Sesimple itu sebenernya karakter Ghena. Cuma masalahnya di lingkungan masyarakat Indonesia, basa basi busuk itu perlu banget. Berpura-pura baik itu perlu banget. Karena orang yang berhasil memerankan akting seperti itu akan jauh lebih banyak memiliki teman. Kalau si Ghena mah jangan ditanya. Temannya cuma bisa dihitung jari yang benar-benar bisa memahami kekurangan dia ini.
Gue langsung aja buka jaket. Duduk di sofa tamunya Ghena. Main sama kucing peliharaan dia sebentar. Terus didatangin sama nyokapnya Ghena lagi sambil bawa teh hangat.
"Minum dulu. Ghena baru mandi tuh. Dari tadi ibu teriakin tapi dia malah main aja terus sama ponakannya."
"Enggak papa, Bu. Cuma mau ke rumah Abel kok sebentar."
"Ke rumah Abel?"
Nyokapnya Ghena seperti ada feeling sesuatu. Cuma dia ketawa aja setelah ulang kata-kata gue sebagai bentuk pertanyaan.
"Ya udah hati-hati. Jangan pulang kemalaman. Dia masih ujian deh kayaknya."
"Iya, Bu. Pasti."
Enggak berapa lama, si Ghena keluar dari kamarnya. Rambutnya masih basah, kayak enggak dikeringin sama sekali. Terus dia cuma pakai sweeter warna rainbow, dengan celana jeans. Mukanya sama sekali enggak dandan. Bahkan gue lihat dia pucat banget.
"Sisiran sana!"
Gue usir dia karena langsung aja duduk di samping gue sambil mainin kucingnya.
"Ih, belum kering. Kalau belum kering, terus disisir, pasti rontok!!"
"Lagian diwarnain rambutnya. Pasti rontok lah."
"Emang kelihatan banget ya rambutku diwarnain? kayaknya aku pakai blue black deh."
"Emang kamu pikir mataku udah rabun sampai enggak ngelihat."
Dia cuma nyengir aja, tapi tangannya sibuk elus-elus kepala kucing.
"Kamu enggak tanya kita mau ke rumahku ngapain?"
"Mau ketemu ibumu, kan?"
"Udah enggak takut lagi sama mamaku?"
Ghena melirik sambil meringis. "Yah, anggap aja uji nyali."
"Dia enggak jahat, Ghe. Percaya deh. Kamu harus lebih coba buat kenal sama mamaku."
"Udah kenal kok. Waktu Elin beli hape di tokoku."
"Dih, bukan begitu!!"
"Terus gimana? Aku harus gimana lagi sih? Males ah kalau disuruh-suruh yang enggak aku suka."
Aku balas meliriknya. "Emang aku suruh kamu apa sih? Cuma minta kamu kenalan sama mamaku. Udah kok. Gitu doang. Masa di rumah ini aku udah biasa keluar masuk kayak rumah sendiri. Tapi kamu, ke rumahku aja belum."
"Udah ya!!!"
"Iya, udah. tapi cuma sebentar!!!"
"Terus aku harus nginep gitu biar lama?"
Aku tidak langsung menjawabnya. Sampai fokus Ghena yang tadinya tertuju pada kucing, langsung memandangku. "Benar kamu suruh aku nginep?"
"Iya. Nginep di rumah mamaku sebagai status menantunya dia."
"Udah kesekian kalinya kamu ngomong gitu."
"Dan udah kesekian kalinya juga kamu anggap kata-kataku bercanda."
continue...
hahhaa.. cowok khilaf ya gini. Maksa banget...
Mukanya berharap banget GHe. Lo mah keterlaluan.... sebeeelll
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro