Suka semua yg berbau korea?

Nih ada resep ayam goreng korea.
Yg  dijual di sana kurleb 17000 won. Atau sekitar 221.000 rupiah per ekornya.

Dari pada susah-susah ke korea dulu. Mending bikin aja..
Nih aku kasih resepnya.

Apapun bisa kalian lakuin, hanya saja manusia lebih sering ngeluhnya dari pada usahanya.

Yes! Gue keterima kerja di kontraktor itu. Gila banget. Enggak pernah gue bayangin sebelumnya. Setelah hampir dua minggu enggak ada kabar, eh, akhirnya ada juga panggilan lewat telepon yang mengatakan gue lolos tes dan bisa mulai masuk awal bulan besok ini. Luar biasa. Ternyata penantian gue selama ini terbayarkan juga.

Karena itu, setelah tahu bagaimana hasil dari usaha gue ini. Gue mulai berani ngomong sama orangtua gue. Yang jelas gue harus ngomong ke nyokap dulu perihal hasil tes gue yang ternyata lulus. Karena mau enggak mau gue harus keluar dari perusahaan keluarga itu. Dan itu adalah perusahaan keluarga dari nyokap gue.

Takutnya nih kalau gue enggak ngomong baik-baik dan secara jelas ngomong ke semua orang penting di perusahaan itu, bisa-bisa nyokap gue yang jadi bahan omongan di keluarga. Nanti disangkanya gue kayak kacang yang lupa kulitnya, padahal perusahaan itu yang sudah mau terima gue kerja dengan minim pengalaman.

Yah, walau semua itu belum kejadian, tapi sebelum terjadi semuanya alangkah baiknya gue harus antisipasi semuanya.

"Ma, Pa, aa mau ngomong sesuatu."

Gue sengaja ngomongnya waktu nyokap bokap lagi kumpul di ruang keluarga pas malam hari kayak gini.

Dari yang gue lihat reaksi mereka berdua kayak lagi melihat hantu ke gue. Kaget dan bingung.

Tapi setelahnya waktu gue lanjutin maksud dari omongan gue, mereka pelan-pelan mulai mencerna situasi dan kondisi.

"Jadi kamu keterima kerja di sana? Perusahaan kontraktor? Jadi apa kamu di sana, A?"

"Aa jadi IT di sana. Sesuai jurusan kuliah aa dulu. Terus kantor pusatnya di Tomang Raya. Enggak terlalu jauh."

Nyokap bingung harus ngomong apalagi. Dia cuma ngelirik ke bokap, nunggu bokap ngomong sesuatu.

"Papa enggak pernah maksa kamu kerja di mana pun, atau perusahaan apapun. Karena papa yakin kamu lebih tahu apa yang akan kamu jalani. Cuma satu pesan papa jangan keseringan pindah-pindah, mulailah mantapkan hati kamu buat sebuah pekerjaan yang kamu sukai. Karena terlalu sering berpindah tempat kerja juga tidak bagus dalam penilaian perusahaan."

Gue setuju apa kata bokap. Tapi gue pengen pindah dari kantor sebelumnya memang murni karena kerjaan di sana enggak sesuai sama kemampuan gue. Karena rasanya percuma aja gue kuliah hampir 4 tahun, ngobrak abrik daleman komputer, terus buat-buat jaringan, tapi kalau yang dipakai cuma kemampuan komunikasi gue, alias semacam sales, karena ketemu sama klien doang kerjaannya, buat apa coba gue capek-capek kuliah dan buat TA.

"Mama enggak tahu harus ngomong apa sama Aa. Mama cuma enggak mau Aa terlalu gegabah dalam bertindak. Pokoknya kalau mau melakukan sesuatu dipikirkan dulu. Didiskusikan sama papa dan mama. Jangan kayak gini. Setelah lulus baru kami diinfokan."

Ada benarnya juga apa yang nyokap bilang. Tapi masalahnya kalau gue izin dulu sebelum melamar di tempat lain, memangnya diizinkan. Kan enggak juga.

"Ya sudah, Ma. Sekarang kita tinggal dukung aja. Mungkin memang tempatnya di sana yang paling cocok dengan background Abel. Papa enggak akan mempermasalahkan apapun pekerjaannya."

Karena lampu hijau sudah ditangan, dan keputusan bokap enggak bisa diganggu gugat. Akhirnya gue tersenyum puas.

Yeah, pindah kerja juga ke kantor yang sesungguhnya.

***

Andri terus aja ngomong sambil temani gue beres-beres barang di kantor. Memang barang yang akan gue bawa enggak begitu banyak, karena selebihnya bakalan gue tinggal. Tapi kayaknya si Andri kagak ikhlas gue resign dari tempat ini.

Setelah tadi gue ngomong sama si bos, dan dia setuju kalau gue ambil langkah jauh untuk bisa lebih cepat mandiri, akhirnya hari ini gue putusin buat menjadi hari terakhir gue di kantor.

Sebenarnya untuk masuk kantor baru masih ada jeda 3 hari lagi, jum'at, sabtu dan minggu. Tapi masalahnya gue mau istirahat sejenak sebelum menghadapi hal baru lagi, di tempat yang baru, tentu saja.

"Bel, lo dengarin gue enggak sih? Kalau udah sukses, inget. Bawa gue keluar dari sini juga."

Gue ngelirik dia yang terus-terusan ngerengek kayak anak kecil. Kalau dia memang niat mau keluar dari kantor ini harusnya dia usaha. Bukan malah gelayutan lagi di bawah ketek gue.

"Lo usahalah. Jangan nunggu doang bisanya. Sekarang kita bukan tim lagi. Jadi lo harus uber bolanya dari bawah. Giring, dan bawa ke gawang. Bukan cuma nunggu bola doang di bagian depan."

"Yah loh tahu kan, Bel. Gue ini enggak ada kemampuan kayak lo."

"Ya udah. Di sini aja terus. Toh perusahaan ini butuh lo."

Sengaja gue jawab dengan tengil, sampai si Andri ngerasa kesal sendiri.

"Awas ya lo!!"

Sambil bawa beberapa barang di dalam tas ransel gue yang mengembang besar,  gue pamit sama semuanya. Termasuk satpam, teman ngopi gue. Waktu dia tahu gue mau resign, dia kaget banget katanya. Tapi menurut dia, kalau gue pasti bisa dapat perusahaan yang jauh lebih baik dari sini.

Jadi dia malah dukung banget gue resign.

"Sukses ya, Pak."

"Yo. Pasti, Pak. Makasih buat jadi teman ngopi saya selama ini."

Gue tepuk berulang kali bahunya sebelum gue pamit, hidupin motor buat segera pergi dari sini.

Sedikit gue intip Andri yang kelihatan sedih banget dengan keputusan gue ini. Tapi ya mau gimana lagi, gue mau sukses dengan kedua kaki gue sendiri. Bukan malah sukses dengan nama besar keluarga.

Sambil narik napas dalam, gue ngomong sama diri gue sendiri. Ini barulah langkah awal. Dan gue harus lebih kuat buat melangkah, mengokohkan diri gue supaya seorang ayah di luaran sana yakin buat menyerahkan tanggung jawab dia menjaga anak perempuannya kepada gue.

***

Malam ini gue janji jemput Ghena di tempat kerjanya setelah hampir setengah harian ini kerjaan gue cuma istirahat doang di rumah.

Sebenarnya pertemuan gue malam ini sama Ghena semata-mata karena cewek itu mau bilang makasih ke gue. Karena yah beberapa waktu lalu pernah ngerepotin gue saat dia sakit. Hehehe.

Si Ghena seharusnya enggak perlu kayak gini buat bilang makasih doang. Tapi karena gue emang lagi enggak ada kerjaan, dan pengen aja ngobrol sama dia, akhirnya gue terima aja ajakan dia.

"Cie Aa, sengaja pulang kerja cepat, buat pacaran yak."

Adek cewek gue yang paling ngeselin mulai kambuh lagi. Dia nempel-nempel ke dinding, kayak ulet, sambil ngelihatin gue pakai sepatu sebelum pergi.

"Apaan sih lo."

"Haha, bilang mama ah, kalau Aa bener-bener punya pacar baru."

Gila! Bisa banget dia ngancemnya. Karena gue males debat, gue kasih aja uang buat dia jajan ciki di warung. Biar mulutnya enggak bawel lagi.

"Nih. Beli ciki sana lo. Jangan ganggu aa."

Gue beres pakai sepatu, dan siap-siap mau jalan, ada aja lagi gangguannya. Sambil sedikit menjauh dari Elin, adek cewek gue yang ngeselin, gue lihat pesan masuk ke hape gue.

Dari Dandan.

Dandan

Aa, bisa ke rumah gue sekarang? Bokap gue meninggal. Dan gue cuma sama nyokap gue di rumah. Rafka belum bisa dihubungi. Gue bingung. Tolongin gue. Cuma nama lo yang gue inget.

Walau ini cuma sebatas pesan, tapi kenapa gue bisa dengar suara dandan yang merintih minta tolong ke gue. Karena gue enggak tega, akhirnya gue pilih buat ke rumah dandan dulu. Bantu sesuatu yang gue bisa. Baru jemput Ghena. Semoga keburu semuanya.

Continue.
Tanpa kabar, dia menghilang. Padahal aku sedang menunggumu datang. Tapi sayangnya harapan tinggal menjadi kenangan. Sebelum rasa luka menjadi jawaban.

Jujur aku nulis ini tuh cuma ambil bagian2 yg aku inget aja. Pastinya bagian2 menyakitkannya. Hahaha.. Sakit versi ghena apa versi abel nih.. 😆😆😆😆