#13
NUGI
Ada perasaan menyenangkan setiap kali aku menghabiskan uang pemberian Tante Silvi untuk hal-hal yang tak berguna seperti ini. Dan mumpung Andini sekarang juga sekolah di sini, sekalian saja kuajak dia nonton bareng. Ini jauh lebih baik dari pada saat hanya berdua dengan Santini. Apalagi cewekku ini suka meraba-raba pada bagian yang tak sopan di temaramnya ruangan bioskop.
Dan ngomong-ngomong soal Andini, aku cukup lega saat tahu dia punya best friend di sekolah. Bukannya apa, sejak kecil Andini terlalu lengket denganku sehingga seringkali dia tak punya teman sebaya. Aku sempat khawatir soal kehidupan SMA-nya, tapi sejauh ini semuanya baik-baik saja. Mungkin juga karena dia sekelas dengan Gesang.
"Jangan di sini," bisikku pelan pada Santini yang duduk di sebelah kananku.
Ini harus kukatakan sebab sejak tadi dia berusaha mengelus-elus pahaku. Selain geli dan tak nyaman, aku juga tak ingin Andini yang duduk di sebelah kiriku tanpa sengaja melihat kakaknya digrepe-grepe seorang cewek. Ada semacam harga diri yang ingin kujaga di hadapan Andini.
Bila sudah begini, Santini akan menggoda siapapun yang ada di samping lainnya. Bukan untuk membuatku cemburu tapi memang pada dasarnya sifatnya memang begitu. Dia akan pura-pura memegang tangan cowok di sampingnya pada adegan yang tak begitu mengerikan, menaruh tangannya di atas paha orang lain, atau mengelusnya sedikit. Bila sudah begitu, aku akan pura-pura tidur agar Santini lebih leluasa melakukan apapun yang ia lakukan. Aku tak begitu mempedulikannya. Meski kita berdua pacaran, kurasa tingkat kesetiaan kita berdua nyaris 0%.
Tapi berhubung cowok yang jadi korban kali ini adalah Gesang, aku tak perlu pura-pura tidur. Aku sedikit ingin tahu bagaimana ia menghadapi godaan dari cewek yang notabene sudah jadi pacar orang lain. Dari yang kulihat, dia sangat menjaga jarak dengan Santini. Entah apa yang sudah cewekku lakukan padanya hingga membuat Gesang seperti sedang berurusan dengan najis.
****
"San, jangan mainin Gesang," bisikku lirih pada Santini saat kami keluar dari ruang bioskop. Andini dan Gesang agak di belakang karena menunggu Mai.
"Jangan-jangan pacarku cemburu, nih?"
Aku mendengus kecil. Baik aku maupun dia tentu paham jika ini bukan karena cemburu.
"Serius. Dia anak baik-baik. Nggak kayak kita."
"Kamu belum tahu aslinya Gesang aja, sayang."
"Aku sama dia baru sekosan selama setahun tapi aku yakin dia itu anak baik-baik. Jangan kamu godain, San. Kasihan, anak lugu begitu. Ngerti?"
Santini malah senyum miring menyebalkan.
"Iya. Iya. Aku ngerti, pacarku tersayang."
Santini masih menyunggingkan senyum yang menyebalkannya saat Andini dan lainnya datang menghampiri kami. Dia tanya topik yang kami bicarakan karena kami berdua terlihat serius, tapi kujawab jika itu bukan hal yang penting untuk dibicarakan. Kulihat Andini tidak begitu menyukai jawabanku, tapi biarlah kubiarkan begitu.
"Jadi, Andini kamu mau bareng sama kita lagi atau baliknya sama Gesang?" tanya cewek tengikku ini bikin suasana jadi awkward.
Kulihat Andini agak kebingungan dengan pertanyaan itu. Bagaimanapun, aku yakin dia merasa sungkan karena seperti mengganggu pacaranku dengan Santini meski sebenarnya aku lebih suka pacaranku diganggu. Aku jadi kasihan dengannya. Hendak kubantu jawab, keduluan Gesang.
"Kamu sama Mas Nugi aja, Ndin. Aku cuma bawa helm satu doang."
Adikku yang manis itu lalu menganggukkan kepalanya sedikit.
"Kalau Mai gimana?" tanyaku kemudian. "Bawa kendaraan sendiri atau mau sekalian barengan sama kita?"
"Aku gampang deh, Mas Nugi. Masih ada perlu juga sebentar."
****
Mobil melaju pelan menelusuri kota Solo pada malam di bulan Agustus yang selalu saja gerah. Sebenarnya, baik mau musim penghujan ataupun mesim kemarau, Solo selalu gerah. Setidaknya itu pendapat dariku yang secara teknis adalah anak rantau. Saat ini kami berada di Jalan Yos Sudarso yang begitu kentara lengangnya jika dibandingkan dengan siang hari.
"Makan, yuk," ucap Santini begitu tiba-tiba seperti semeribit wangi melati pada malam hari.
"Kita belum makan, ya?" ujarku retoris. "Pengen makan apa, Ndin?"
"Langsung balik aja, Mas Nugi."
"No. Malam ini kita harus nunjukkin Andini pada dunia malam di Solo, sayang," kata Santini. "Nasi bakar Manahan, yuk? Apa Kusumasari?"
"Jam segini udah tutuplah Kusumasari. Terus kalau ke Manahan muter banget," protesku.
Berdua, aku dan Santini, ribut soal di mana kami akan makan sementara Andini terlihat begitu enggan. Aku agak kasihan, tapi ini kesempatan yang baik bagi Andini buat mengenal Solo dan terlepas dari kebiasaannya yang super introvert itu.
Pada diskusi yang nyaris melibatkan cakar-cakaran, kami berdua setuju untuk makan di Kedai Shi Jack daerah Gading. Shi Jack adalah kedai susu yang memiliki cukup banyak franchise di Solo. Kami bertiga mendatangi Shi Jack di daerah Gading semata-mata karena tempatnya yang bisa sejalan menuju pulang. Santini memarkiran mobilnya dengan semena-mena karena kalah diskusi.
Di Shi Jack, Santini memesan susu melon dengan beberapa gorengan dan sosis-sosis yang begitu banyak. Aku memesan beberapa bakso dan susu murni.
"Abangmu itu suka susu," bisik Santini pada adikku. Kujambak rambut cewek tengil itu pelan dan hanya ditanggapi dengan senyumnya yang selalu terlihat menyebalkan. Andini begitu jelas memancarkan aura yang mengatakan ia bete.
Di meja pelanggan, sambil menunggu gorengan dan sosis-sosis kami dibakar, Santini lagi-lagi mengeluarkan pertanyaan aneh yang membuat suasana jadi awkward.
"Andini udah punya pacar belum?"
"Kepo banget kamu, San."
"Nggak papa, kan calon adik ipar," jawabnya dengan mata gemilang. Dia lalu menanyakan ulang, "Jadi udah punya pacar belum, Ndin?"
"Nggak ada," jawab Andini enggan.
"Nggak usah ditanggapi pertanyaan cewek ini, Ndin. Nggak bakal habis," kataku lagi.
"Nggak papa." Andini kemudian menyeruput susu hangatnya.
"Kayaknya Gesang cocok banget jadi pacarmu, deh."
Seketika itu juga Andini menyemburkan minumannya. Itu persis ketika karakter dalam komik tersedak oleh pertanyaan yang tiba-tiba. Aku heran, Santini tersenyum penuh kemenangan, sementara Andini untuk alasan yang tak bisa kumengerti hanya menolehkan wajahnya pada layat TV di pojok ruangan. Kentara sekali dia ingin menghindari pertanyaan seperti ini.
"Nggak papa, Ndin. Kata abangmu Gesang orangnya baik, kok. Udah dapat restu dari saudara tuh."
"Kamu apaan sih, San."
Santini senyum tengil. Tapi sejujurnya, reaksi yang Andini lakukan membuatku berpikir jika memang ada sesuatu yang spesial di antara ia dan Gesang. Aku tak melarangnya. Dari dulu Andini selalu diincar banyak lelaki karena tampang cantik dan kepolosannya. Bahkan beberapa teman sekelasku mulai menanyakannya saat mereka tahu dia adalah adikkku. Tentu saja aku menolak dan akan terus bersikukuh menjaga Andini dari cowok-cowok nakal termasuk diriku. Tapi jika Gesang, kalaupun itu Gesang, mungkin aku akan merestu.
Hanya saja, bagaimana sebenarnya perasaanmu, Andini?
****
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro