Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#11

GESANG

Suatu hari, aku berangkat sangat gasik hingga membuat penjaga gerbang khawatir karena biasanya aku selalu telat. Ada PR di jam pertama yang mesti dkerjakan saat itu juga. Biasanya aku nyontek Andini buat hal-hal beginian, tapi sepertinya dia enggak mau nyontekin.

"Tugas anak sekolahan itu ngerjain PR." katanya sok bijak.

Makanya, aku bergegas menuju ruang kelas dan berharap di sana ada seseorang yang mau nyontekin. Beruntungnya aku, sudah ada Mai di sana. Duduk di kursi yang nggak pernah ganti sejak pertama kali masuk sekolah sebulan yang lalu. Kalau kuinget-inget, kayaknya Mai emang selalu berangkat gasik. Kenapa, ya?

"Mai, nyontek PR Fisika dong."

"Boleh."

"Asyik."

Mai mengambil buku dari tasnya, sementara aku duduk di sampingnya.

"Duduk sini dulu, ya?" kataku minta izin.

"Boleh." jawabnya lagi.

Dengan kecepatan yang menakjubkan, kusalin semua jawaban PR Fisika di bukuku.

"Mai, kamu kalau berangkat jam berapa sih?"

"Jam 6-an, Ge. Kenapa?"

"Gasik banget. Emang ngapain aja?"

"Nggak ngapa-ngapain sih."

"Oh..." Aku diem bentar lalu ngelanjutin obrolan. "Rumahmu di mana sih, Mai? Diinget-inget lagi aku belum pernah lihat kamu pulang dari sekolahan. Pas pulang sore karena ada latihan voli, aku juga masih lihat kamu di sekolah."

"Ada, deh. Kepo banget nih, Gesang."

"Ehe he he. Penasaran. Kali aja bisa pulang bareng."

"Ceritanya lagi pendekatan, nih?"

"Begitulah."

Mai senyum dikit, memperlihatkan giginya yang gingsul di bagian kedua taring atasnya. Mai selalu begitu kalau sedang mengalihkan topik pembicaraan atau sedang tak ingin menjawab. Seperti menolak, tapi secara halus.

Oleh karena itu aku tak terlalu mempedulikannya. Lanjut menyalin PR Fisika di sisa 8 menit menuju jam 7 pagi. Saat itu Adam datang sehingga aku harus pindah ke bangku biasanya aku duduk dengannya. Hari ini semua berjalan seperti biasanya kecuali satu hal, Andini bicara denganku di sekolah.

****

Andini mungkin tidak mengatakannya, tapi sebenarnya dia punya kepribadian yang berbeda ketika di kosan dan ketika di sekolah. Ah, aku mengatakannya seperti cerita horror tapi aku yakin kalian paham jika itu bukan maksudku.

Maksduku adalah, Andini akan bersikap pura-pura tidak mengenalku ketika berada di sekolah. Katanya agar Mas Nugi nggak salah sangka jika kita berdua pacaran. Itu alasan yang bagus, sebenarnya. Karena jika orang tahu kedekatanku dengan Andini, pasti aku akan direpotkan dengan pertanyaan-pertanyaan nggak penting dari cowok-cowok sini.

Aku heran, jika mereka begitu penasaran dengan Andini kenapa tidak tanya langsung ke dianya dan bukannya ke aku yang kebetulan satu kosan dengannya?

Tapi, hari ini Andini memecahkan situasi itu. Untuk pertama kalinya setelah sebulan menjadi anak SMA, Andini ikut denganku ke kantin. Maksudku, bareng aku, Mai, Adam, Reni, Dwi, Putri, Honse, dan beberapa anak lain yang tak perlu disebutkan namanya. Jangan salah sangka, meski aku cuma menyebutkan nama-nama cewek plus Adam, ada banyak cowok yang ikut. Sebenarnya, membuntuti seperti yang biasa bebek lakukan. Andini disambut riuh yang luar biasa di kantin. Aku sudah bilang, bukan? Andini ini cukup terkenal di antara anak-anak.

"Mas Gesang, sampeyan sehat?" tanya ibu kantin setelah entah kenapa aku memesan soto ketimbang bakso yang biasanya kupesan. Untuk memperingati hari spesial ini? Entahlah.

Meja biasa kami makan sudah penuh karena banyak cowok yang menggerombol di dekatnya. Tidak benar-benar di sampingnya, hanya pada jarak yang tidak jauh tapi juga tak cukup dekat. Untungnya, Mai yang pengertian menyisakan satu bangku untukku. Tepat di samping Andini.

"Tumben ikutan kita ke kantin, Ndin?" tanyaku membuka obrolan. Habis, dari tadi Andini hanya senyum-senyum sendiri.

"Nggak apa-apa, cuma pingin aja." katanya sambil pegang punggung tanganku. Kulihat mata cowok di sekitar, menyalak bringas seakan ingin mengutukku ke neraka terdalam.

Andini melihat tepat di manik mataku, tak peduli dengan Mai dan puluhan pasang mata yang memandangiku tajam. Kurasa, Andini ingin mengatakan sesuatu yang penting. Tapi dia tak benar-benar bisa mengatakannya. Hanya bisa senyum manis sembari menatapku penuh perasaan. Kulihat cowok di sekitar, sudah ada yang mengeluarkan boneka voodoo dari sakunya.

Hanya itu satu-satunya obrolan yang kulakukan dengan Andini. Sisanya dia seperti biasa ngobrol banyak dengan Mai. Mungkin, Mai satu-satunya teman yang Andini punya di sekolah. Beda dengan Mai yang hampir kenal setiap batang hidung siswa kelas X. Sedangkan aku menyantap soto dengan perasaan yang tak enak karena dipelototi oleh banyak mata yang terbakar api cemburu.

Hari itu berakhir dengan Andini yang senyum sumringah tanpa benar-benar aku tahu kenapa dia begitu. Saat pulang, dia bilang mau pulang bareng bersamaku. Dalam artian, aku memboncengnya pulang. Padahal, hari ini aku ingin pulang bareng Mai karena penasaran di mana dia tinggal.

"Malam minggu besok, Mas Nugi ngajakin nonton bareng." kata Andini yang ada di jok belakang motorku.

Batinku berkata, oh... pantas saja dia kegirangan begitu.

"Diajakin nonton bareng sama Mas Nugi!" teriaknya lagi. Dia lalu berjingkrak girang tak sadar masih duduk di jok motor orang.

"Oi, diem Ndin! Entar jatuh!"

"Ah, iya. Aku enggak boleh jatuh terus lecet-lecet pas nonton bareng Mas Nugi."

Lalu hanya ada diam di sisa-sisa perjalanan.

****

"Ge, kamu denger ga?" tanya Adam dengan mata yang sangat was-was. Padahal, matanya sipit seperti celah antara dua keping kerang tapi aku bisa merasakan matanya memencarkan takut yang berlebihan.

"Paling hantu." jawabku malas.

Tok tok tok.

Terdengar suara pintu kamarku diketuk secara perlahan. Suaranya lirih sehingga kita berdua tidak bisa memastikan jika itu benar-benar suara pintu kayu yang diketuk atau suara dari hal-hal metafisika lainnya. Tapi yang jelas, saat itu kami berdua saling bertatapan tepat di manik mata.

"Gesaaang..." ucap suara lirih kemudian, bercampur tangis yang samar.

"Kamu dipanggil, Ge. Samperin sono!" kata Adam dengan suara gagap seperti sedang kedinginan. Sorot matanya seperti ingin memerintahkanku untuk cepat-cepat menghadap hal yang belum pasti ini.

Dengan malas, kusamperin asal suara itu.

"Beneran mau kamu samperin, Ge?" tanya Adam frustasi.

"Iya, lah. Apa mau kamu yang nyamperin?"

"Nggak! Kamu aja!"

Aku beranjak. Saat itu jam menunjukkan pukul 23:47 sehingga besar kemudian apa yang akan kuhadapi adalah hantu atau semacamnya. Tapi, entah kenapa aku tak berpikir demikian. Palingan cuma...

"Hai, Ge." kata sosok cewek dengan tangis sedan di hadapan pintuku. Itu Andini, dengan mata yang sembab habis menangis. Sepertinya dia habis menangis lama di kamarnya sebelum memutuskan untuk menemuiku.

Aku lalu bilang ke Adam kalau hantu itu bernama Andini. Adam malah semakin takut karena dikira aku ngobrol sama hantu. Kubiarkan dia begitu, sementara aku mengajak Andini naik ke atap yang biasa dipakai buat menjemur cucian. Tempat ini biasa kami pakai untuk ngobrol panjang agar Mas Nugi tak curiga kalau kita berdua di kamar berlama-lama.

"Mas Nugi... dia ngajakin pacar, buat nonton bareng besok. Aku cuma jadi obat nyamuk." katanya dengan nada frustasi.

Aku mendengus pelan, lalu menatap pemandangan dari lantai tiga tempat kami berada. Rumah-rumah dengan pijar lampu yang terlihat dari jendela-jendela yang sedikit tersingkap. Selebihnya hanya nanar bulan dan kemerlip bintang. Ini... sulit, aku tidak benar-benar pernah jatuh cinta. Terikat oleh perasaan terhadap satu orang terlalu rumit bagiku. Jadi aku tidak tahu bagaimana perasaan Andini saat tahu dia hanya jadi wanita sampingan setelah pacar oleh Mas Nugi. Aku... tidak pernah tahu.

Meski begitu, aku tidak suka melihat cewek menangis.

"OK." kataku pada Andini. "Aku ikut nonton, jadi kamu nggak perlu merasa jadi obat nyamuk. Dengan begitu kamu tetep bisa nonton bareng Mas Nugi, kan?"

Saat itu aku bisa melihat pijar di matanya.

****

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro