#10
NUGI
"Masih ada uang, Gi?" tanya ibu dari ujung telepon.
Saat itu aku baru pulang sekolah, sore sekitar jam 5-an. Seperti biasanya, di akhir bulan ibu selalu telepon menanyakan kabar. Suara letih ibu membuatku tak kuasa untuk bilang bahwa aku kekurangan uang jajan. Makanya, dengan hati yang dikuatkan agar bicaraku tak bergetar, aku bilang. "Masih, bu. Nugi nyambi jadi pelayan di warung. Lumayan, lah. Buat nambah-nambah uang jajan."
"Apa enggak capek, Gi?"
"Enggak. Cuma tiga hari seminggu. Nugi enggak capek, kok. Kan yang penting sehat. Kalau capek entar Nugi juga berhenti. Ibu di sana juga jaga kesehatan, jangan kecapekan."
"Ya udah. Nanti kalau perlu apa-apa telepon ke sini, ya. Ini nomer kantor tapi entar bisa ditujukan ke ibu."
"Iya, bu."
"Kamu jaga kesehatan, ya. Yang akrab sama Tante Silvi."
Telepon ditutup, lalu kujatuhkan HP ke atas kasur sambil akunya rebah-rebahan di atas kasur. Hari itu hari Kamis. Malam Jumat di akhir bulan selalu membuatku kurang bersemangat. Malam ini aku harus membatalkan semua acara, termasuk main dan segala hal bersama pacar. Aku perlu tidur cepat untuk tugas nanti malam.
HP bergetar tanda sebuah pesan masuk. Saat kulihat di layar, terpampang nama Tante Silvi. Aku mendengus kecil.
****
Tubuh wanita di hadapanku sudah tak berdaya. Tentu saja, sudah sejam penuh kami bermasyuk ria di tengah gerahnya malam di Surakarta, sudah pasti dia kelelahan. Bahkan untuk wanita yang mudah terangsang hanya dengan aku memegang pundaknya, dia kelihatan kewalahan.
"Jangan berhenti, sayang." pintanya tak sadar kondisi.
Aku taati permintaan wanita ini, seperti sapi dicocok hidung. Jadi, kuhujamkan milikku ke liang miliknya yang mulai kendur. Kutusuk-tusukkan berirama sembari tanganku menggerayangi buah dadanya yang besar seperti melon. Ini tidak mengada, buah dadanya memang sangat besar membuat bapak-bapak tetangga sering terpana. Tapi aku tidak.
Kunaikkan sebelah kakinya di atas pundakku. Sehingga milikku lebih mudah saat mengaduk-aduk isi liang wanitanya. Wanita di hadapanku memekik tertahan. Dia kelihatan tersakiti saat batang kejantananku mengaduk-aduk lipatan daging yang seumpama bagian dalam kerang itu. Padahal, aku melakukannya hampir setiap bulan tapi entah kenapa dia terlihat begitu terpuaskan dengan teknik permainanku yang begitu-begitu saja.
"Cium aku, sayang." katanya lagi.
Kuataati permintaannya. Dengan sebelah kakinya masih di pundakku. Aku menekan tubuhnya agar wajahku bisa mendekati wajahnya. Saat itu, dia menjerit dan memekik keras. Aku kaget, sungguh. Jeritannya tiba-tiba. Bukan saat menusuknya, atau hal-hal semacamnya. Melainkan karena tubuhnya yang tertekuk dan gerakanku yang menindih tubuhnya secara bersama-sama membuat mulutnya terbuka. Seumpama membuka bungkus jajanan. Kulihat, wanita ini orgasme untuk pertama kalinya. Tubuhnya bergetar, seperti seseorang yang kedinginan. Badannya bergemelutuk dan mengigil. Sayangnya, aku belum puas. Makanya kulanjutkan gerakanku meski wanita ini berteriak kesakitan. Aku tahu, meski dia kesakitan, dia juga merasa keenakan. Terlihat dari ekpresi bahagianya.
"Enak banget, sayang." katanya setelah dua jam permainan.
"Kamu juga." pujiku datar.
Aku duduk di tepian kasur sambil merokok. Sebenarnya aku tak terlalu suka rokok, tapi aku harus mengenyahkan rasa menjijikan di bibir ini setelah menjilati bagian wanita yang tak berbau sedap. Seperti bau karat. Wanita yang setahun belakangan ini kuselingkuhi dari suaminya adalah Tante Silvi, ibu kos sekaligus sepupu jauh ibuku.
Awalnya, ibuku menitipkanku pada Tante Silvi sebelum dia berangkat ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Pada mulanya, semua terasa baik-baik saja. Tante Silvi dengan segala budi baiknya sering memberiku barang-barang dan keperluan lainnya. Dia sangat baik, sehingga ketika dia mulai meraba-raba tubuhku, aku sungkan untuk menolak.
Berawal dari raba-raba, berlanjut pada ciuman yang curi-curi kesempatan, sampai pada rutinitas senggama setiap bulan. Kami melakukannya dengan hati-hati agar tak ketahuan penghuni kosan. Kata Tante Silvi, aku adalah peluang terbaiknya. Karena aku anak kosan situ, jadi tak satupun tetangga yang curiga. Orang yang perlu diwaspadai hanyalah anak kosan, dan selama ini belum ada yang mencurigai karena kami melakukannya di jam 1 sampai subuh. Aku membiarkan kamarku menyala dan menyetel musik lirih sehingga seakan aku sedang ada di dalam. Lalu saat masuk ke rumah Tante Silvi, sandalku kumasukkan ke dalam.
Suami Tante Silvi bernama Om Juned, dia bekerja sebagai nahkoda dan hanya setahun sekali pulang. Anak mereka dua, satu sudah menikah dan tinggal di Kalimantan sementara satunya lagi masih kuliah di Jogja. Anak keduanya ini sangat jarang pulang, meski jarak Jogja-Solo terbilang dekat.
Dan ngomong-ngomong soal Tante Silvi, dia masih menjilati batangku sedari tadi aku menjelaskan.
"Mmmmh..." aku mendesah. Kuakui, sensasi saat dijilati oleh mulut begitu menakjubkan. Aku lebih suka melakukan ini ketimbang penetrasi beneran. Tapi aku yakin Tante Silvi tidak akan puas dengan hanya menjilati batang milikku.
Aku... tak tahan. Kubuang rokok untuk menahan kepala Tante Silvi tetap mengulum milikku. Aku mau keluar. Dan aku harus mengeluarkannya di mulut Tante Silvi, selain sebagai balas dendam karena harus tahan pada bau logam bercampur amis setiap kali mulutku turun ke bawah, juga karena dia lebih suka demikian.
Bayangkan seperti pistol air yang airnya hanya tinggal sedikit, begitulah kondisiku saat ini. Aku muncrat tiga kali tapi hanya sedikit cairan nafsu yang keluar. Itu karena sebelumnya aku sudah muncrat berkali-kali di liang kenikmatan milik Tante Silvi.
"Enggak apa-apa, tante pakai KB." katanya saat aku mau muncrat di dalam.
Aku menjatuhkan tubuh di atas kasur, kelelahan. Pandanganku berkunang-kunang. Ingin tidur di kamar kosanku yang tak seberapa. Tapi kelihatannya dia belum puas. Dia menaikiku yang sedang telentang di kasur. Tangannya mengarahkan batang milikku kembali tegak, untuk melanjutkan lembur kerjaan.
Ampunilah penisku, dewa! Dia sudah kecapekan.
Tadinya, aku akan membiarkan Tante Silvi menggarapku. Tapi nyatanya, aku mulai bergairah kembali. Saat dia masih di atasku, kuhantamkan pantatku tinggi-tinggi hingga ia tersentak. Tante Silvi menjerit sangat keras sambil badannya bergetar hebat. Aku tersenyum puas, berhasil membuat wanita ini ke puncak hanya dengan sekali sentakan.
"Mmmwah..." ucap Tante Silvi sambil menjatuhkan tubuhnya di atas dadaku.
"Puas?" tanyaku.
"Puas banget, sayang. Kita harus begini setiap hari!"
Enggak bisa, lah! Kalau harus begini setiap hari aku bakal dehidrasi dan berubah menjadi robot sex. Aku cuma pakai kamu buat mesin penarik duit, tak lebih. Tante Silvi bagiku ibarat mesin ATM yang harus digoyang-goyang dulu baru bisa muntahin duit. Aku enggak butuh sex, yang kubutuhkan cuma duit.
"Lebih enak kalau sebulan ini, tante." balasku kemudian. "Kalau sebulan sekali, spermaku lebih banyak keluarnya. Tante suka, kan? Kalau spermaku tumpah-tumpah."
"Iya... suka." jawabnya dengan ekpresi imut.
Sebenarnya, selain karena Tante Silvi selalu memberiku uang yang banyak setiap kali senggama, juga karena kadang ekpresinya suka imut dan lucu sehingga aku betah melakukannya berkali-kali. Kalau Tante Silvi ibu-ibu jelek yang bau bawang sih, mana tahan.
Hari itu aku mengecup bibirnya sekali sebelum balik ke kamar kosan untuk tidur.
****
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro