Bab 11: SAINGAN
"Bu, saya takut. Saya balik ke kelas aja dah."
Farah menoleh ke arah Ibib yang masih berjongkok di koridor. Murid yang sekarang sudah duduk di kelas XI-C itu terlihat sangat gugup. Sejak tadi dia mondar-mandir ke toilet hingga berakhir jongkok di depan salah satu ruangan kelas di SMA 514.
Sementara di dalam ruangan, empat murid lain sudah duduk di posisi masing-masing dan siap untuk mengerjakan soal yang diberikan secara daring. Mereka akan bersaing dengan murid-murid dari SMA lain dalam seleksi olimpiade matematika tingkat kota. Nantinya, akan diambil dua juara yang akan mewakili kota tersebut untuk bertanding di tingkat provinsi.
Perempuan itu lalu berjalan ke arah Ibib, dan ikut berjongkok. "Selama tujuh bulan ini kamu sudah belajar keras. Kalo kamu mundur sekarang, berarti kamu mengkhianati perjuangan kamu selama ini."
Farah berdiri, lalu mengintip ruang seleksi. Di sana sudah berdiri dua guru dari sekolah lain yang akan bertugas sebagai pengawas. Salah satunya memberi isyarat pada Farah bahwa waktu seleksi akan segera dimulai. Beberapa hari sebelumnya, sebanyak 20 murid SMA 514 juga telah mengikuti seleksi olimpiade di bidang Fisika, Kimia, Biologi, dan Astronomi.
Kembali mendatangi Ibib, Farah lalu berjongkok di depan Ibib. "Apa yang kamu takuti? Takut tidak lolos seleksi atau takut kalah dari saingan-saingan kamu di dalam?"
Ibib menggeleng. "Saya kagak takut kalah, Bu. Saya kagak nganggep teman-teman saya di dalam sebagai saingan. Selama ada yang mewakili sekolah kita ke tingkat provinsi, saya kagak masalah."
"Terus, apa yang kamu takuti?"
"Saya takut kagak bisa ngerjain satu soal pun," lirih Ibib. "Saya takut Ibu dan Pak Dexa kecewa karena udah buang-buang waktu dan tenaga buat ngajarin saya."
Ketakutan Ibib muncul ketika semalam dia hanya bisa menjawab dengan benar tiga dari sepuluh soal olimpiade. Sejak saat itu, kepercayaan dirinya runtuh, berganti dengan rasa takut.
Farah menatap satu-satunya murid yang memanggilnya 'Bu' itu. "Kamu, kan, belum liat soalnya," ucap Farah. "Lagipula, saya dan Pak Dexa tidak akan kecewa kalo kamu sudah mencoba. Justru kami akan sangat sedih kalo kamu mundur sebelum bertanding."
"Tapi--"
"Kamu sudah lolos seleksi sekolah. Artinya, kamu sudah melampaui puluhan teman-teman kamu yang lain. Harusnya ini jadi bekal untuk mempercayai kemampuan kamu sendiri."
Ibib menunduk dalam, merenungkan kata-kata Farah.
"Alva Habiebie," panggil Farah. "Terkadang rasa takut kita lebih besar dari hal yang kita takutkan.
Kamu masih ingat kata-kata ibu, kan? Matematika adalah latihan untuk menyelesaikan masalah dalam hidup. Dan masalah kamu hari ini adalah melawan rasa takut. Ayo, hadapi! I know you can do it."
***
"Murid-murid Ibu tercinta." Sukma membuka pidatonya sebagai pembina upacara pada Senin itu. "Tepat di hari ulang tahun sekolah kita, Ibu punya kabar gembira."
Beberapa murid yang berbaris dengan posisi istirahat di tempat, mulai saling berbisik.
"Seperti yang sudah kalian tahu, beberapa waktu lalu, 25 orang murid SMA 514 mengikuti seleksi olimpiade sains tingkat kota. Kemarin, ibu sudah menerima surat pemberitahuannya. Dan hari ini, ibu akan mengumumkan hasilnya kepada kalian semua. Nanti yang namanya ibu panggil, silakan maju."
Jantung murid-murid yang kemarin ikut dalam seleksi olimpiade tingkat kota mulai berdetak kencang.
"Ada tiga orang yang akan mewakili sekolah sekaligus kota administrasi kita untuk mengikuti seleksi tingkat provinsi. Yang pertama dari bidang Fisika, Euclid Archimedes, yang menempati peringkat pertama di seleksi tingkat kota."
Tepuk tangan menggema seantero lapangan upacara. Sementara itu, Archi berjalan menuju ke samping kiri kepala sekolah.
"Sebelum ibu lanjutkan, perlu ibu sampaikan bahwa kabar selanjutnya cukup mengejutkan karena peserta yang akan mewakili tingkat kota untuk bidang Matematika, keduanya berasal dari sekolah kita. Mereka adalah Malahayati yang menempati urutan pertama dan Alva Habiebie yang mendapat urutan kedua di tingkat kota."
Farah mengepalkan tangan. Ia sudah menduga bahwa Archi dan Malahayati akan melaju ke babak selanjutnya. Namun berita bahwa Ibib juga akan mewakili ke tingkat provinsi merupakan sebuah kejutan. Rasanya semua lelah dan kerja keras yang telah dilakukan, hilang tak berbekas.
"Ini akan jadi sejarah besar." Sukma menatap Ibib dan Malahayati. "Dua orang murid SMA 514 akan bersaing di olimpiade Matematika tingkat provinsi. Ibu penasaran siapa yang akan melaju ke tingkat nasional."
Mendengarkan kalimat Sukma, Farah mengulum senyum. Ia ingat bahwa Ibib tidak pernah menganggap teman-temannya sebagai saingan. Siapapun yang maju, ia akan mendukung.
***
"Saya sudah bilang kalo saya bisa juara, kan?" Archi membidik bola basket ke keranjang. Masuk. Tembakan dua angka.
Dexa segera mengambil bola tersebut, lalu kembali menyerahkannya pada Archi. Murid laki-laki itu kembali men-drible lalu berlari melewati Dexa dan berusaha membidik dari bawah keranjang, tapi meleset. Archi mengambil bola, lalu melemparkannya pada Dexa. Karena dia gagal membidik, sekarang kesempatan berpindah kepada sang guru.
Begitu mendapatkan bola, Dexa pun men-drible di luar garis tiga angka. "Jangan sombong. Kamu baru lolos ke tingkat provinsi. Masih ada tingkat nasional, sebelum kamu bisa menyaingi saya," ledek Dexa.
Tidak terpengaruh pada ledekan Dexa, Archi berusaha menghadang. Namun, Dexa langsung membidik dari jarak jauh. Masuk. Tembakan tiga angka.
Archi mengambil bola basket, lalu kembali menyerahkannya pada Dexa. "Tenang saja. Saya akan pastikan kalo saya bisa melaju tingkat ke nasional dan meraih medali emas."
Dexa kembali men-drible. Bola dipantulkan ke kiri dan kanan, melewati kolong kaki. Dengan cekatan Archi merebut bola dari Dexa. Usia muda menjadi keuntungannya karena lebih gesit untuk menggocek Dexa yang terpaut delapan tahun lebih tua.
Archi terus berlari dan memasukkan bola ke keranjang. Lagi-lagi masuk. Tembakan dua angka. "Kapten tim dan peraih medali olimpiade. Legenda Pak De di sekolah ini akan digantikan oleh saya, Euclid Archimedes," ucapnya dengan jemawa.
Dexa mengambil bola, lalu menyerahkannya pada si lawan main. "Three points shoot?" tantangnya.
Mendengar tantangan itu, Archi memicing. Ingin membuktikan bahwa dirinya bisa melampaui sang legenda, Archi pun mencoba peruntungan dengan menembak dari luar garis tiga angka. Namun, gagal. Bola menyentuh tepi keranjang dan memantul keluar.
Archi mengambil bola, lalu dengan enggan menyerahkannya pada Dexa.
Sambil men-drible bola, Dexa berlari ke luar garis tiga angka. Tanpa membuang banyak waktu, pria itu membalikkan tubuh lalu membidik dengan posisi membelakangi keranjang. Masuk. Tembakan tiga angka.
"Untuk menjadi legenda, kamu harus bisa melakukan three points shoot seperti ini." Dexa menyeringai.
Merasa dipercundangi, Archi memicing ke arah Dexa. "Tinggi badan Pak De-lah alasan utamanya. Kalo Pak De punya tinggi seperti saya, saya yakin, Pak De kesulitan melakukan three points shoot dengan posisi itu"
"Bukan tinggi badan saya. Tapi bagaimana saya mengambil sudut dan menghitung besarnya gaya dengan akurat untuk menghasilkan tembakan yang tepat sasaran," ledek Dexa lalu berjalan ke pinggir lapangan dan duduk. One on one kali ini sepertinya harus disudahi karena matahari sudah bergulir ke arah barat.
Archi membuntuti Dexa, lalu ikut duduk selonjoran di sampingnya. Selama beberapa saat, keduanya menikmati langit yang mulai berwarna kemerahan.
"Pak De! Pak De! Katanya Pak De dulu satu angkatan sama Bu Miss di SMA ini, ya?"
Dexa mengangguk. "Kami seangkatan. Dan pernah dua tahun sekelas."
"Waktu masih SMA, Bu Miss udah cantik, belum, Pak Sir?" tanya Archi lagi.
"Kenapa kamu nanya itu?" Dexa melirik sekilas ke arah Archi, lalu kembali menatap langit. "Saya lebih berharap kamu nanya bagaimana nilainya atau bagaimana prestasinya."
"Soal nilai, sih, saya udah tahu, Pak De. Bu Miss udah sering cerita di kelas," ucap Archi. "Yang saya belum tahu, waktu SMA Bu Miss lebih cantik atau enggak?"
Dexa pun mengingat-ingat bagaimana Farah ketika masih SMA. Dari segi fisik, salah satu anggota paskibraka itu memang tidak terlalu menonjol. Masih banyak yang menurut teman-temannya lebih cantik dari Farah. Namun bagi Dexa, tidak begitu.
Cara Farah berbicara, caranya mempertahankan pendapat, sorot matanya yang tajam, juga rambut panjangnya yang tergerai. Bagi Dexa, Farah mengungguli semua gadis yang disebut-sebut sebagai peri di SMA 514.
"Gimana, Pak De? Dulu Bu Miss lebih cantik, enggak?"
"Lumayan," jawab Dexa. "Tapi sekarang, Bu Farah lebih cantik lagi karena jago matematika."
"Yes!" Archi mengepalkan tinju. "Berarti saya tidak perlu iri sama Pak De yang pernah ngeliat calon istri saya dalam versi SMA."
Mendengar kalimat Archi, Dexa pun tercengang. Namun belum sempat dia memberikan komentar, murid laki-laki itu sudah bangkit dan bersiap pergi.
Dexa mengernyitkan dahi. "Mau kemana?"
"Mau bikin proposal buat Bu Miss. Suruh dia untuk nungguin saya. Tujuh tahun lagilah."
Dexa membelalak. Dia yang sudah menunggu tujuh tahun bahkan belum berani berkata jujur. Sepertinya dia harus bergegas sebelum dilampaui oleh saingan barunya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro