Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sembilan

Sepanjang sisa hari itu rombongan kereta yang dipimpin oleh Aire memilih untuk beristirahat di dekat danau tempat mereka berhenti sejak pagi. Waktu yang lowong dimanfaatkan oleh Aire dan Dean untuk memeriksa perlengkapan mereka sementara Melody dan Lala sibuk memasak untuk makan mereka. Adjani yang pada mulanya merasa canggung memutuskan untuk memberi bantuan yang ia bisa sekadar menunjukkan kalau ia tidak hanya menumpang, sayangnya Lala dan Melody malah melarang dan menyuruhnya untuk banyak beristirahat tidak peduli Adjani meyakinkan mereka semua kalau kondisinya baik-baik saja.

Ia masih berusaha menyibukkan diri membantu Lala dan Melody saat Dean mendekat dan menggoda Melody. Dean bahkan tidak canggung membelai punggung dan kepala wanita itu dengan mesra sambil sesekali tersenyum sumringah yang dibalas Melody dengan tawa renyah yang sangat cantik sekali membuat Adjani sempat terpaku melihat kebersamaan itu.

Melody yang secantik bidadari dan Dean yang setampan dewa.

Sementara dia, hanya seorang budak cacat yang berbau busuk yang kabur dari sirkus.

Saat Adjani tidak sengaja menjatuhkan sebuah mangkuk berisi air, barulah perhatian Dean tertuju ke arahnya. Gadis itu langsung salah tingkah dan segera berjongkok untuk mengambil mangkok yang jatuh saat mulut Dean mulai membuka.

"Kalian serius membiarkan dia ikut memasak?"

Melody yang masih berada dalam pelukan Dean mengangguk hingga membuat tangan pria itu seketika terlepas dari pinggangnya.

"Kupikir aku sebaiknya makan di bar. Jijik melihat gadis penyakitan menyentuh makanan yang akan aku makan."

Sambil memegang erat mangkok yang sebelumnya terjatuh, Adjani menahan rasa nyeri dalam dada lalu menyaksikan Dean berjalan cepat meninggalkan mereka bertiga. Melody kemudian tanpa ragu menyusul lalu bicara sesuatu yang sedikit banyak bisa didengar oleh Adjani yang kini berusaha tersenyum pada Lala yang sudah mendekat ke arahnya.

"Jangan dipikirkan, sebelumnya dia tidak pernah begitu." Lala membelai bahu Adjani yang mengangguk mendengar kalimat yang meluncur lembut dari bibir cantik milik Lala.

"Tidak apa-apa, aku sudah terbiasa." Adjani berusaha tersenyum. Sepertinya ia mulai menerima melihat sikap ketus Dean. Sebelum ini, bukan hanya pria itu yang bersikap seperti apa yang telah dia lakukan. Masih mending Dean hanya jijik melihat Adjani, biasanya orang-orang tidak akan ragu melemparinya dengan batu atau sesuatu yang bisa membuatnya pergi.

Adjani meneguk ludah dengan menahan rasa ngilu di dada saat ia sadar akan sesuatu, apakah ia harus pergi dari sana? Tapi ia tidak tahu jalan ke Suaka. Kalau dia dan Shield berjalan berdua, apakah orang-orang akan membantu menunjukkan jalan kepadanya?

Lebih dari separuh hidup ia habiskan dalam sirkus. Ia bahkan hampir tidak bisa membedakan mana arah utara ataupun selatan.

"Hei, kamu kelihatan pucat. Pergilah beristirahat dalam kereta. Lukamu benar-benar parah. Aku bisa melakukan semuanya sendiri." Suara Lala menyadarkan Adjani kembali pada kenyataan. Ia mengangguk pelan lalu mengembalikan mangkuk yang berada dalam pegangannya ke atas meja kayu yang sebelum ini disiapkan oleh Aire dan Dean untuk tempat mereka makan.

Segera setelah memastikan Lala kembali sibuk dengan urusan masak, Adjani berjalan pelan menjauhi kereta, menuju ke arah padang rumput yang berada tidak jauh dari danau dengan Shield mengekori dari belakang.

Nona, kamu tidak memutuskan untuk lari, kan?

Shield yang mengekori Adjani dari belakang dengan cepat menyusul dan menaiki pundak gadis itu.

Adjani menggeleng dan terus berjalan tanpa peduli sebelum ini Lala memintanya beristirahat. Dia takut apabila terlelap dalam kereta, Dean yang tiba-tiba saja masuk akan menemukannya, lalu bukan tidak mungkin pria itu akan marah.

"Aku butuh menjauh, barangkali. Jika terlalu lama dekat mereka, aku yakin akan ada yang bertengkar."

Shield memandangi Nonanya dengan pilu. Ujung moncongnya yang berwarna merah muda bergerak lucu, tidak sejalan dengan perasaannya yang ikut empati.

Kau sedih, Nona?

Adjani menggeleng lagi. Ia sudah bergerak cukup jauh dan tersenyum saat melihat hamparan padang rumput yang luas dengan beberapa bunga bermekaran. Mereka bisa menunggu di sana hingga tiba waktunya berangkat, dengan begitu Dean tidak akan merasa terganggu. Dia juga tidak enak terus-terusan berada di sekeliling mereka. Meski lukanya perlahan mengering, tidak ada yang berubah dari penampilan Adjani, selain ia hanya sedikit lebih bersih karena sudah mandi dan memakai pakaian baru.

Matanya masih saja cacat, rambutnya yang kemerahan masih seperti ijuk bukan lembut melambai dan harum seperti Lala.

Adjani mencoba mengaitkan semua yang berhasil dilihatnya. Dean dan Melody tampak akrab dan mesra, mereka bisa jadi pasangan. Begitu juga dengan Lala.

Pastilah dia pasangan tuan Ash. Ia menggumam dalam hati, berharap Shield tidak mendengar. Ferret ajaib itu kadang bisa membaca pikirannya. Dia tidak suka tapi Shield tidak peduli.

Setelah merasa cukup jauh, akhirnya Adjani menjatuhkan pantatnya pada satu bagian rumput. Tidak butuh waktu lama ia langsung berbaring, diikuti oleh Shield yang dengan santai ikut menatap langit seperti yang Adjani lakukan.

Lukamu perih tidak, Nona?

Adjani menggumam pelan, "Sedikit. Rumputnya tidak terlalu keras, aku bisa tahan. Sudah biasa, kalau kau lupa. Malah waktu jari kelingkingku terpotong, aku tidak bisa tidur dua hari dua malam, nyerinya sampai leher."

Adjani lalu mengangkat tangan kirinya ke atas seolah hendak mengamati. Jari kelingkingnya yang terpotong akan menjadi kenangan sampai kapanpun juga, tidak akan bisa pulih dan kembali.

"Aku lupa, di mana potongan jariku kuletakkan? Kamu ingat tidak, Shield?"

Sambil berusaha mengingat, Shield ikut memandangi kelingking cacat Adjani.

Seingatku, Jannaero melempar jarimu ke kandang Leon.

Adjani langsung menepuk dahi, "Ah, aku lupa. Umur berapa sih itu? Empat belas atau lima belas?"

Shield mencicit sebelum menjawab.

Dua belas, Nona. Katamu kau ulang tahun saat purnama bulan ke sembilan.

Adjani menggaruk kepalanya, kebingungan.

"Benarkah? Aku ini pelupa, Shield. Kepalaku sudah banyak terbentur, jangan kamu suruh aku mengingat banyak hal. Makin aku berusaha untuk ingat, kepalaku sering sakit. Barangkali gara-gara pernah terbakar dulu."

Jika boleh menangis, Shield lah yang lebih dulu menangis meratapi nasib sang Nona. Tapi Adjani malah bertingkah biasa saja. Ia selalu menahan rasa sakitnya sendirian. Adjani hanya akan menangis dan mengeluh jika sakitnya tak tertahankan dan Shield sangat tidak menyukainya.

Bagaimana kau bisa suka menyaksikan orang yang paling kau sayangi di dunia disiksa setiap saat? Sementara kau tidak bisa melakukan apapun karena kau dilarang membantu.

Dia benci hanya bisa memandangi Adjani.

Sekarang tidak akan merasa sakit lagi, Nona. Tidak akan ada yang menyiksamu, kau tahu itu. Mereka semua orang baik, terutama Tuan Ash. Kalau kau tahu siapa dia, pasti kau akan girang sekali.

Adjani tertawa saat mendengar Shield mencicit dengan penuh semangat. Tidak perlu diberi tahu, dia sudah sangat bahagia sejak bertemu dengan Aire. Dia adalah pria yang sangat baik. Seperti malaikat, atau orang suci yang pernah datang ke sirkus dan memberinya sebantal roti.

Baginya, Aire seperti itu.

"Hei, aku mencarimu kemana-mana dan kamu malah bersembunyi di sini."

Sebuah suara riang dan ramah yang Adjani kenal milik Aire membuatnya tiba-tiba bangkit. Tidak peduli beberapa rumput kering tersangkut di rambut hingga membuat Aire tertawa saat melihat gadis itu.

Kenapa Aire bisa menemukannya? Pikir Adjani. Bukankah dia sudah berjalan cukup jauh?

"Jangan heran, aku tadi melihatmu menjauh dari Lala dan sengaja membuntuti kamu dari belakang."

Adjani tersenyum masih dalam posisi duduk. Ia tidak berniat bangkit, karena itu pada akhirnya Aire ikut duduk di sebelahnya.

Kalau dipikir-pikir, sudah dua kali hari ini mereka duduk diatas rumput.

"Hai, Shield." Aire mengusap lembut kepala mungil milik Shield yang langsung suka ketika ia diperlakukan seperti itu. Adjani bahkan tertawa melihat ferret ajaib itu tiba-tiba saja manja. Mengingat dia berjenis kelamin betina, Adjani berpikir hal itu adalah hal yang wajar.

Bukankah Shield itu ferret paling aneh di dunia? Bisa bicara, sok melindungi Adjani, mahluk jejadian yang bersembunyi dalam tampang lucu.

Satu-satunya mahluk yang mau ia peluk, bahkan saat sedih sekalipun.

"Lala menyuruhmu istirahat, sebentar lagi waktunya makan. Dari tadi kamu menolak makan sedangkan semalam, aku yakin kamu tidak sempat makan."

Semestinya ia senang saat Aire menawarinya makan, tapi meskipun saat ini perutnya terasa perih dan melilit, ia hanya bisa menggelengkan kepala. Mengingat Dean begitu jijik saat ia berada di dekat kereta membuat dada Adjani terasa nyeri. Ia senang melihat pria itu, tapi tidak dengan kata-katanya. Lagipula ia tidak terlalu memikirkan makanan untuk saat ini. Lapar memang terasa, tetapi bisa bebas seperti ini adalah sebuah hal yang baru ia rasakan.

"Tidak apa-apa, Tuan. Kalian silahkan makan duluan. Orang seperti aku tidak pernah memikirkan urusan perut."

Ucapan Adjani tidak membuat Aire senang. Alisnya naik tinggi, ia sempat menarik napas beberapa kali sebelum bicara lagi, " Adjani, aku tidak tahu sebesar apa siksaan yang kamu alami saat berada di sirkus, barangkali karena itu kamu menutup diri. Atau karena kondisimu yang terluka, tapi percayalah, aku ingin sekali membantu. Suaka bukan tempat yang dekat, butuh berminggu-minggu untuk tiba ke sana. Kalau kamu menolak bantuanku, bukan mustahil keadaanmu akan tambah parah."

Adjani ingin sekali mengatakan pada Aire, dia dan Shield akan mencari buah-buahan atau tumbuhan liar saja untuk dimakan, dia tidak mau merepotkan. Dia juga kan sudah terbiasa tidak makan selama beberapa hari, seharusnya semua itu tidak masalah. Jika memang membutuhkan waktu berminggu-minggu, ia mungkin perlu mencari uang saat mereka berhenti seperti ini.

Dia bisa melakukan sulap, hasil dari mengamati Jannaero. Hasilnya tidak sempurna, tapi dia bisa melakukan sulap melarikan diri dari ikatan rantai.

Satu atau dua tembaga bisa menghasilkan satu bantal roti yang bisa mengganjal perutnya untuk dua hari.

Dia terbiasa makan dua hari sekali.

Apakah dia harus memberi tahu Aire?

"Saya sebaiknya tidak berada dekat-dekat Dean, Tuan. Masalah makanan, tidak usah di pikirkan, kami akan mencari sendiri. Hanya tolong beritahu, kapan waktunya kereta berangkat, selain itu, saya dan Shield tidak akan mengganggu. Sulit melihat kalian bertengkar hanya karena saya berada di sana."

Adjani dengan jelas bisa melihat kalau Aire tidak setuju.

"Kamu sudah jadi bagian dari kami, maka duduk dan makan juga bersama kami, Adjani. Aku tidak akan rela melihatmu sendirian di sini sementara ada banyak tempat tersedia untukmu di sana."

Adjani tersenyum sambil menutupi wajahnya yang cacat. Memandangi Aire terlalu lama kadang membuat dirinya ingin menangis. Pria itu sangat baik, terlalu baik, malah. Satu hal yang membuatnya ketakutan.

Orang baik tidak akan pernah ada...

Adjani memejamkan mata, berusaha menepis satu ingatan yang tiba-tiba saja muncul.

Seorang wanita yang pernah bersikap begitu baik kepadanya bertahun-tahun lalu harus meregang nyawa sambil memegangi dadanya yang berlumuran darah, sementara di hadapan wanita itu, Adjani berdiri memandanginya dengan mata memerah tanpa ekspresi.

Sambil memegangi jantung sang wanita yang kemudian berhenti berdetak dalam hitungan detik.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro