Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dua


Seumur hidupnya, Adjani tidak pernah diperlakukan dengan baik. Ketika Aire mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri, ia nyaris tercekat.

Apakah dirinya boleh menerima uluran tangan pria itu?

Tangan Aire begitu mulus dan lembut, hingga ia takut kuku-kukunya yang panjang dan hitam seperti nenek sihir akan melukainya. Bahkan ia yakin, seperti yang Dean lakukan, Aire pun akan mengernyit jijik ketika Adjani menunjukkan kukunya.

Adjani menggeleng dan menyembunyikan tangannya dalam mantelnya.

"Terima kasih." Ujarnya, lalu berusaha bangkit sendiri walau itu berarti memberi tekanan pada lukanya.

Perih dan panas itu masih ada sekalipun ia dengan percaya diri mengatakan kepada Aire bahwa ia merasa lebih baik.

Ia membohongi pemuda itu.

Lagipula ia tidak ingin Aire tahu kenyataan tentang dirinya.

Alasan kenapa tubuhnya menerima begitu banyak luka dan siksaan.

Adjani mengerenyit ketika ia mencoba bangkit, air matanya nyaris keluar. Sakitnya benar-benar gila-gilaan, dan dia bodoh kalau mengatakan semuanya baik-baik saja.

Hanya orang gila yang bisa mengatakan dicakar seekor harimau rasanya tidak sakit.

Ia bahkan ingat, selama beberapa detik gigi Leon sempat menancap di bahunya.

"Biar kubantu." Aire akhirnya tak tahan lagi. Dengan pelan ia meraih lengan Adjani dan membantunya berdiri.

"Tidak perlu repot." Dia malu-malu, sambil berusaha menghindari tatapan iba Aire yang jelas sekali terlihat.

"Tidak apa-apa, Adjani. Sedikit membantu tidak akan membuatku tambah jelek." Aire tertawa.

Adjani tersenyum lalu menatap wajahnya.

Aire memang tampan, namun seperti yang kalimat yang sebelumnya ia ucapkan pada pria itu, ia lebih tertarik pada Dean. Tidak peduli tatapan muak pria itu kepadanya. Ada sesuatu dari dalam diri Dean yang membuatnya terpesona.

"Bisa jalan?" Tanya Aire ketika menemukan langkah Adjani tampak berbeda dari kebanyakan orang, hal yang membuat gadis itu sedikit tidak percaya diri. Haruskah dia mengatakan bahwa kakinya pernah patah karena dipukul oleh Jannaero menggunakan kursi kayu?

Kursi yang menghantam tubuhnya pun ikut patah, dan ia tidak bisa berjalan selama dua bulan setelahnya.

Sejak itu kakinya tidak sama lagi.

Dia tidak perlu bercerita, kan?

Adjani hanya menggeleng lemah dan berjalan dalam bimbingan Aire menuju kereta kuda yang akan membawanya juga ke Suaka.

Ini bukan mimpi, kan?

Aku tidak sabar, lagi.

Butuh lima menit bagi Adjani dan Aire untuk mencapai kereta yang akan membawa mereka ke Suaka. Ketika tiba di sana, Adjani tidak berhenti berdecak.

Belum pernah seumur hidupnya ia melihat kereta kuda yang begitu indah. Berukir emas, bercat putih dengan empat ekor kuda berwarna cokelat, putih dan hitam yang berdiri anggun seolah menunggu mereka. Bahkan saisnya juga memakai seragam khusus yang membuatnya tampak amat gagah dan tampan.

Mirip kereta kerajaan, pikir Adjani tidak yakin. Ia juga belum pernah melihat kereta milik raja. Hanya teman-teman dalam sirkus yang mengaku pernah melihatnya. Ia sendiri belum pernah. Terlalu sibuk membersihkan kandang hewan daripada memperhatikan keindahan dunia.

"Tu...tuan, itukah keretanya?" Ia bertanya dengan gugup.

Aire mengangguk.

"Iya. Tidak terlalu bagus sebenarnya, jangan kecewa..."

Adjani memotong kalimatnya.

"Anda bercanda. Ini kereta paling bagus yang pernah saya lihat." Katanya kagum lalu berjalan dengan tertatih mendekati kereta tersebut.

Ukiran emasnya seperti sulur mawar liar yang pernah dilihatnya dalam buku cerita milik Joanna, teman seranjangnya.

"Luar biasa, Tuan." Pujinya tulus.

Aire tersenyum tipis sambil berjalan mendekati Adjani yang masih terkagum-kagum.

"Ini kereta anda?" Tanyanya.

Aire mengangguk.

"Punya ayahku, sebenarnya." Ia menjawab sambil tertawa kaku.

Adjani tidak bisa menahan mulutnya yang ternganga.

"Ayah tuan mestilah orang yang sangat kaya. Harga kereta kuda tidak murah. Saya tahu, karena kami di sirkus punya kereta untuk membawa barang, tapi tidak sama dengan kereta ini, cuma kereta biasa, ditarik satu kuda. Itu saja mahalnya bukan main."

Aire tidak bisa menahan senyumnya melihat tingkah Adjani yang polos.

"Hanya orang kaya yang bisa..."

Pintu kereta terbuka, hingga menghentikan kalimat yang selanjutnya akan keluar dari bibie Adjani. Sekali lagi ia dibuat terperangah dengan kehadiran dua orang wanita yang luar biasa cantik, memakai gaun terusan yang lembut dan jatuh, mungkin bahan sutera, Adjani tidak terlalu yakin, dengan rambut lembut tergerai indah berwarna pirang.

Mata keduanya berwarna biru dan cantik sekali.

Astaga, Tuhan begitu baik hati saat menciptakan mereka berdua. Pastilah Tuhan bersenandung lagu cinta saat membentuk tubuh keduanya, hingga mereka hadir dalam wujud seperti bidadari. Keduanya bertubuh langsing, berpayudara indah, menyembul dari balik gaun panjang mereka. Dengan kaki jenjang yang tampak mulus saat gaun mereka tersibak.

Adjani memandangi dirinya sendiri.

Mereka pasti jijik melihat aku.

Dengan panik ia menoleh kepada Aire.

"Tuan, sepertinya aku salah."

Aire menatapnya heran.

"Salah kenapa?" Tanyanya bingung, terutama saat melihat Adjani menarik mantel dan menginjak kedua kaki telanjangnya sendiri.

Mungkinkah dia minder saat melihat Melody dan Lala?

"Mungkin saya akan cari tumpangan lain." Kata Adjani kembali memundurkan langkahnya dengan tertatih-tatih.

Aire dengan cepat menggeleng dan mendekati Adjani yang mulai menjauh.

"Kenapa memangnya?"

Adjani menggeleng lagi.

"Tidak, tuan. Saya pastilah lancang menumpang kendaraan kalian." Jawabnya gelisah. Ketika ia mulai menjauh dan tangan Aire kembali berada di lengannya, suara merdu milik salah satu dari kedua wanita itu membuat Adjani menoleh.

"Ash, diakah yang dibilang Dean akan ikut kita?"

Adjani menelan ludahnya. Ketika melihat Aire mengangguk, dia merasa melakukan hal yang salah.

"Iya, Lala. Dia menolak ikut setelah tahu kereta ini milik ayahku." Pria itu tersenyum.

Adjani langsung menggoyangkan tangannya.

"Bu...bukan begitu tuan." Elaknya.

"Kalau begitu tidak ada alasan buat kamu untuk menghindar. Kereta ku lebih dari cukup untuk menampung kamu seorang."

Adjani memegang tas selempang lusuh yang sedari tadi ia pegang.

"Ta...tapi..." Ucapannya terhenti saat Dean muncul dari balik kereta dan mulai menyumpah saat melihat Adjani didekatnya.

"Ash, kamu masih membawa dia?"

Aire mengangguk.

"Masih ada tempat di kereta, tidak ada salahnya mengajak dia." Balasnya.

Dean berdecak, lalu masuk ke kereta sambil mengoceh sesuatu yang tidak bisa ditangkap telinga Adjani, membuatnya semakin ragu untuk masuk.

Wanita yang bernama Lala kemudian berinisiatif mendekatinya.

Adjani langsung gemetar melihat wanita cantik itu mengulurkan tangannya tanpa ragu.

"Ayo ikut." Ajaknya ramah.

"Tidak setiap saat Aire turun dari kereta dan mengajak seseorang." Katanya lagi, masih dengan keramahan yang sama.

Adjani ragu.

Tidak mungkin ia berbaur dengan mereka.

Dirinya kotor, bau dan terluka. Mereka pasti akan muntah.

Lalu wanita yang satunya juga mendekat. Adjani tidak tahu namanya, karena Aire tidak menyebutkan namanya. Pria itu, seperti yang lainnya, juga tersenyum ramah.

"Masih ada tempat di dalam." Katanya.

Adjani menggeleng.

"Jangan. Aku tidak boleh." Katanya panik.

Kereta yang begitu indah, para penumpang yang cantik dan tampan, aku tidak pantas berada di sana.

Aire lalu bicara.

"Kalau kamu tidak naik, tidak akan ada yang tahu siapa yang akan menolong kamu untuk sampai ke Suaka."

Wanita yang tidak Adjani tahu namanya, menoleh pada Aire.

"Dia mau ke Suaka juga?" Tanyanya, sedikit tertarik.

"Tentu saja, Melody. Karena itu aku mengajaknya."

Namanya Melody, secantik namanya.

"Kalau begitu ayo ikut." Ajaknya.

Adjani menggeleng.

"Tidak di dalam kereta." Katanya panik.

"Kalian tidak akan tahan." Lanjutnya lagi.

Melody menggeleng. Ia dengan cepat mendekati Adjani, lalu terkejut ketika mendapati keadaan gadis itu tampat sangat mengenaskan.

Sebelah matanya, apakah dia bisa melihat dengan jelas?

"Di dalam hangat." Katanya mencoba merayu. Keadaan gadis itulah yang membuatnya yakin menjadi alasan Aire menolongnya.

Adjani masih menggeleng.

Matanya lalu menangkap sebuah kereta bak yang berada di belakang kereta utama.

"Disitu..." Adjani menunjuk.

Pandangan semua orang lalu tertuju ke arah telunjuk gadis itu.

"Saya boleh duduk di sana?" Tanyanya penuh harap.

Melody menggeleng.

"Itu kereta barang, bukan untuk manusia. Lagipula udara malam dingin dan tidak nyaman." Katanya.

Namun Adjani tidak mendengar. Dengan kakinya yang telanjang dan langkahnya yang tertatih ia berusaha berjalan dengan cepat menuju bagian belakang kereta kuda itu.

Sebuah bak beroda, dengan setumpuk jerami yang disebar agar barang-barang yang diletakkan di atasnya tidak bergeser.

"Ini sempurna." Katanya riang. Ia lalu menoleh pada tiga orang yang kini memandanginya dengan iba.

"Boleh saya duduk disini?" Tanyanya penuh harap.

Aire lebih dulu menggeleng dibanding dua orang lainnya. Ia mendekati Adjani.

"Di dalam lebih baik."

"Kumohon, Tuan. Izinkan saya di sini saja. Ini lebih cukup dari apapun. Lagipula saya tidak ingin membuat sahabat Tuan muntah-muntah karena saya." Tolaknya.

"Aku tidak akan muntah." Lala dengan cepat membalasnya, disusul dengan anggukan dari Melody.

Aire membuka mulutnya.

"Tidak akan ada yang muntah." Katanya.

Adjani menggeleng. Ia tahu Dean tidak suka dengan kehadirannya.

"Saya di sini saja." Katanya.

Aire menyerah. Begitu juga Lala dan Melody.

Pada akhirnya, mereka bertiga masuk ke dalam kereta dan terpaksa meninggalkan Adjani yang duduk sendirian, tidak peduli bujukan Melody dan Lala padanya.

Lagipula dia tidak terbiasa dengan segala kemewahan itu. Ia terbiasa tidur dimanapun, termasuk di atas tanah sekalipun.

Segera setelah kereta berjalan, Adjani menarik napas lega. Ia berkali-kali mengucap syukur sambil memandangi ribuan bintang yang berpendar di atas kepalanya.

Begitu indah hingga ia ingin mengambil satu untuk dirinya sendiri dan menyimpannya di dalam saku.

Ia tersenyum.

Menyimpan bintang di dalam saku.

Entah akan sebesar apa saku itu jika nekat melakukannya.

Saat itulah ia sadar tasnya bergerak-gerak.

Dengan cepat Adjani membuka tasnya sambil melirik kearah sekelilingnya.

Tidak akan ada yang melihat.

Saat tasnya terbuka, muncullah satu sosok mahluk yang selalu membuat Adjani tersenyum.

Seekor ferret berwarna putih bersih dengan hidung berwarna pink keluar dari dalam tas.

"Maaf membuatmu lama di dalam sana, Shield." Kata gadis itu menyesal.

Hewan pengerat itu mencicit lalu menaiki tubuh Adjani dan mengendus-endusnya.

Bau darah.

"Kau berdarah lagi?" Kata hewan itu.

Adjani mengangguk sambil menyentuh bahunya.

"Dicakar Leon. Oh, dia sempat menggigit juga." Jawabnya.

"Kamu gila." Adalah balasan yang Adjani dapatkan hingga membuat gadis itu tertawa sambil membuka mantelnya.

"Jangan protes, Shield. Lihatlah sekarang, ini hasil dari perjuangan kita malam ini."

Shield menegakkan tubuhnya lalu menoleh ke arah sekeliling mereka.

"Kamu berhasil?" Tanyanya takjub, lalu saat melihat Adjani mengangguk, Ia mencicit dengan girang.

"Aku luar biasa, kan?" Tanyanya memamerkan senyum pada hewan itu.

Shield mengangguk.

Namun senyum itu tidak bertahan lama.

Dua detik kemudian Adjani kehilangan kesadarannya.

***

Oolaah.

Kalian pernah baca a love for jasmine?

Buat yang pernah, pasti tahu ceritanya seperti apa. Minim senyum dan mewekable. A Zero destiny bakal jadi work yang sama. Tokoh kedua yang mirip jasmine nasibnya, walau diujung nanti, kecil kemungkinan adjani bahagia.

Aire dibaca ayer, ash dibaca esh.

Dean dibaca de-an. Bukan din.

Kalian tahu Dystopia? Cerita ini masuk dalam pengertian itu.

Distopia (dari kata Yunani δυσ- dan τόπος, alternatifnya cacotopia , kakotopia , atau anti-utopia ) merupakan suatu komunitas atau masyarakat yang tidak didambakan ataupun menakutkan. Istilah ini diterjemahkan sebagai "tempat yang tidak baik", antonim dari utopia , sebuah istilah yang diciptakan oleh Sir Thomas. Sc. Wikipedia.

Inspirasinya dari pengungsi dan pertama kali lihat satu foto, langsung teringat dengan Djani.


Banyak cinta buat kalian.

Mwach 💋

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro