Bab 7
Awalnya kukira, jika sudah menikah, Tuhan akan melimpahkan jutaan kebahagiaan. Sayangnya, sebanyak apa pun kebahagiaan yang kuterima, sebanyak itu pula rasa sakit yang kurasa.
Mulai dari perbedaan prinsip hidup Abimanyu dan Mbak Trisna. Menyebabkan keduanya sering terlibat adu argumen. Sampai kehilangan buah hati di usia yang bahkan belum genap 1 tahun.
Tertekan? Tentu saja. Kakak-kakakku bahkan kebanyakan bersikap acuh tak acuh pada kesedihan yang kurasa. Hanya Ibu yang tiap hari memberikan kata-kata penghiburan, Bapak yang senantiasa memelukku, ketika aku merasa duniaku runtuh, dan suami yang selalu menggenggam erat tanganku.
Pada titik ini aku mulai tersadar. Selain Bapak, Ibu, Abimanyu, aku tidak punya seseorang yang bisa kujadikan tempat bersandar. Kakak-kakakku yang sudah memiliki keluarga kecil, tampak tidak mau tahu, mereka sibuk mengurus kepentingan mereka sendiri.
Padahal saat kakak-kakakku menikah, aku selalu mencoba mengenal baik pasangan mereka. Bahkan aku membantu Mbak Trisna mengurus kedua anaknya, mengantar-jemput, bahkan membantu anak-anak itu dalam belajar, saat kedua orang tuanya sibuk bekerja.
Setelah rangkaian kejadian yang melukai perasaanku, akhirnya Abimanyu memutuskan untuk pindah dari rumah Bapak. Kami sepakat beralasan untuk memulai bisnis tempat makan, bukan karena pertengkaran yang sering terjadi antara keluargaku dan Mbak Trisna.
Walau sudah beralasan seperti itu, Bapak masih tampak tidak percaya. Beliau beberapa kali terlihat membujukku atau Abimanyu untuk tidak meninggalkan rumah. Sebanyak itu pula aku dan suami harus memberi pengertian pada Bapak.
Kami harus pindah, entah itu untuk mempermudah aktivitas Abimanyu dalam membuka tempat makan, atau demi kenyamanan pribadi. Terlalu banyak kepala keluarga—atau orang yang memiliki sifat dominan—semakin rawan pula terjadi gesekan pendapat yang tidak sehat. Aku hanya ingin menghindari hal itu. Agar kelak, saat Tuhan siap menitipkan buah hati padaku lagi, serta anak itu dapat tumbuh dewasa dalam asuhanku, aku ingin hubungan persaudaraan ini terus berlanjut.
Akhirnya, setelah dipersulit Bapak untuk keluar dari rumah, aku dan suami dapat menempati rumah baru kami. Bangunannya memang tidak mewah, tapi bisa dianggap terlalu luas untuk ditinggali berdua. Namun, saat anggota baru kami bertambah, tempat ini pasti cocok untuk anak-anak berlarian.
Selama tinggal di rumah ini, terkadang aku merasa kesepian. Rumah yang luas, terdapat beberapa kamar kosong, kerap kali membuat pemikiran negatif memenuhi pikiranku.
Untunglah, tak lama setelah itu, di tahun 1999 aku melahirkan anak perempuan lagi. Jadi saat ini, aku tidak begitu kesepian saat ditinggal Abimanyu berjualan ketika malam tiba.
Walau perjuangan yang kutempuh untuk memiliki Alina Hanifa Soekandar cukup berat, akibat pendarahan di awal, sampai harus bed rest selama masa kehamilan, membuat Bapak Ibu sering bolak-balik menginap di rumah.
Putri cantik ini ... aku berjanji pada Tuhan akan menjaga titipannya dengan baik kali ini. Jadi, kuharap Allah mengizinkanku hidup bersama anak manis ini, sampai waktu memisahkan kami.
Setiap momen bersama Alina menyimpan kenangan berharga. Semua terasa baru saat bayi kecil Alina perlahan tumbuh.
Masa-masa paling menggemaskan ketika, putri kecilku mulai belajar merangkak. Meski merepotkan karena aku harus mengawasi anak itu lebih hati-hati, tapi aku selalu menikmati waktu yang kulalui bersama Alina.
"Alina, jangan duduk di keset! Kotor." Menjadi kalimat yang paling sering kuucapkan tiap pagi dan sore hari.
Entah bagaimana, Alina kecilku ini jika sudah dimandikan saat pagi, gadis kecil ini selalu mengikutiku untuk membuka pintu rumah, dan ia pun langsung duduk di keset depan untuk memerhatikan ayam-ayam tetangga yang mulai sibuk berkeliaran mencari makan.
Saat sore pun juga. Hanya saja, ketika memerhatikan para ayam di sore hari, anak tetanga seberang rumah selalu mengajak Alina main bersama para ayam. Jadilah aku bisa sedikit beraktivitas dengan tengan jika sore menjelang.
Hadirnya Alina dalam hidupku yang semula terasa kelabu, mulai terlihat penuh warna.
Gadis kecil yang selalu dikabarkan memiliki ketakutan pada hal-hal sederhana, ternyata tidak berlaku pada putriku.
Siang itu, aku melihat Abimanyu menuang sekantung besar lele ke dalam bak abu-abu yang ia letakkan di teras depan rumah. Sebenarnya ini aktivitas biasa yang ia lakukan, sebelum membuka warung lele yang tak jauh dari rumah.
Aku yang sedang sibuk menggosok setumpuk pakaian—yang didominasi oleh pakaian Alina—di ruang tempat tak jauh dari pintu depan rumah, melihat gadis kecil berbalut pakaian katun merah muda, merangkak melewatiku, tanpa mau sibuk berhenti, apalagi menoleh pada mamanya.
"Pah ... Alina ke depan," ucapku yang masih mengurus pakaian, sambil sesekali melirik ke arah Alina yang kini sudah sampai di pintu depan.
Dari tempatku, aku bisa mendengar suara Abimanyu yang terkesan sedikit berbisik pada putrinya. "Duduk saja ya, jangan dekat-dekat Papa. Papa pegang pisau soalnya."
Aku tersenyum kecil mendengar hal itu. Entah kenapa suara berbisik Abimanyu terdengar seperti hasutan untuk berbuat kenakalan. Seperti saat ia menceritakan bagaimana dulu, Abimanyu bisa membuat 1 kelas membolos.
Kuharap, putriku tidak senakal papanya di waktu mudanya dulu.
Baru saja aku membatin, kini aku sudah dikejutkan dengan adegan Alina yang telah mencelupkan tangan ke dalam bak penuh lele. Tanpa kenal takut, gadis kecil itu pun terlihat asik mengaduk-adukkan tangan mungilnya di tengah himpunan lele yang mungkin bisa saja menelan jari atau tangan anak itu.
"Astagfirullah, Papa! Itu Alina ngobok bak lele!" seruku panik yang langsung bergegas menghampiri putri kecil yang tak kenal takut itu.
Untunglah Abimanyu sigap mengangkat putri kami.
Aku langsung mengambil alih Alina dari papanya. Menggendong anak itu masuk sambil memerhatikan tangan yang ia celupkan dalam bak, sebelumnya.
Aku baru bisa bernapas lega saat memastikan, tidak ada luka sedikit pun pada Alina. Padahal lele yang dibawa suamiku itu memiliki ukuran cukup besar. Untung saja lele-lele itu tidak melukai tangan kecil putriku.
Kalau-kalau ada lele yang mematil anak ini, bisa dipastikan Alina tidak dapat tidur malam ini. Racun kecil yang terdapat pada patilnya bisa membuat putriku demam, dan mengalami pembengkakan pada tangan yang dipatil.
"Aduh, Alina ... Alina ... bisa-bisanya kamu mengaduk-aduk bak penuh lele. Apa para lele itu tidak menyeramkan di matamu, Nak?" ucapku sambil memandang penuh khawatir pada gadis dalam gendonganku.
Sementara anak yang kuajak bicara, malah terlihat telah tersenyum jahil.
Aku bersumpah, akan menanyakan hal ini pada Alina, saat gadis itu lebih besar. Aku harus menuntut jawaban pada gadis itu, pikirku.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro