Bab 6
Terkadang aku iri melihat keharmonisan rumah tangga Bapak dan Ibu. Di umur mereka yang tak muda lagi, Bapak dan Ibu tampak masih memiliki sentuhan-sentuha romantis.
Keluarga ini memiliki tradisi untuk sarapan dan makan malam bersama. Selain itu, saat makan, kami diwajibkan untuk mengenakan pakaian rapih, kalau perlu mengenakan wewangian, serta riasan. Selama persiapan menjelang waktu makan, aku kerap kali mendapati Ibu membantu Bapak membenahi kerah pakaiannya. Atau terkadang sekedar mengoleskan minyak urang-aring ke rambut Bapak yang mulai memutih.
Tiap kali aku tertangkap basah sedang memerhatikan keduanya, Ibu selalu berkata, "Nanti kalau kamu sudah nikah, perlakukan suamimu penuh kasih sayang dan perhatian. Supaya dia betah di rumah, kayak Bapakmu iki loh, Nduk."
Dan aku selalu menanggapinya dengan senyuman serta anggkan, sebelum melanjutkan apa yang sedang kukerjakan.
Malam ini Bapak Ibu mengadakan acara makan malam sederhana untuk merayakan ulang tahun cucu laki-laki pertama mereka. Kakak-kakakku yang kebanyakan sudah tidak tinggal di rumah ini karena sudah memiliki kehidupan rumah tangganya sendiri, berkumpul di meja makan. Menimbulkan nuansa ramai yang sudah cukup jarang terasa di rumah ini.
Di tengah keceriaan obrolan makan malam, aku menyampaikan berita bahwa Abimanyu berniat mampir bersama keluarga ke rumah ini, bermaksud untuk melamar.
Salah satu kakak laki-lakiku yang semula heboh menggoda keponakan, mendadak terdiam begitu mendengar apa yang baru saja kusampaikan.
Bukan hanya Mas Soetiono saja yang terkejut, tapi bisa dibilang, semua kakakku memandangku penuh keterkejutan. Bahkan aku bisa mendengar helaan napas panjang dari Ibu.
Aku cukup terkejut melihat reaksi keheranan mereka. Apa yang salah dengan ucapanku? Bukankah itu hal yang wajar, ketika seseorang sudah berpacaran beberapa tahun, kemudian memutuskan untuk menikah.
Belum sempat aku membuka suara, Bapak sudah berdeham keras, meruntuhkan atmosfir aneh yang berputar di antara kami. "Untuk topik itu, bagaimana kalau dibicarakan bertiga saja dengan Bapak Ibu, setelah makan malam, Ratih?"
"Baik, Pak," ucapku patuh. Aku juga tidak ingin melanjutkan suasana aneh tadi. Padahal semula canda tawa menghiasi ruang makan, tapi begitu aku menyampaikan kabar, kakak-kakakku, bahkan kedua orang tuaku langsung menunjukkan gelagat aneh. Mereka seperti tidak nyaman mendengar berita tersebut.
***
Usai acara makan malam, aku membereskan meja yang kini dipenuhi piring-piring kotor dan sisa makanan. Kulihat Mas Soetiono menarik kursi kosong di sebelahku yang sibuk menyusun piring kotor untuk dibawa ke belakang.
"Ratih," panggilnya lembut.
"Dalem, Mas." Kuhentikan aktivitasku. Dilihat dari ekspresi Mas Soetiono, nampaknya ia akan memulai pembicaraan serius.
"Kon serius ta, ambek Abimanyu?"
Kutatap mata iris cokelat tua itu lekat-lekat. Laki-laki ini menyorotkan pandangan penuh kecemasan yang tak kumengerti, mengapa?
"Iya, Mas. Ratih terlanjur cinta karo Mas Abi." Aku merasakan panas menjalar di kedua pipi. Perasaan malu menggelitik, setelah mengungkapkan perasaan terdalamku, membuatku tersipu malu.
"Mas tidak tahu bagaimana hubungan kalian selama ini."
Pria itu melirik kursi di sebelah, mengisyaratkanku untuk duduk. Mungkin ini akan menjadi pembicaraan cukup lama.
Tanpa banyak bicara, aku pun menarik kursi yang dimaksud Mas Soetiono. Sebelum duduk, laki-laki itu sedikit menggeser kursiku, sehingga kini aku dapat duduk berhadapan dengannya.
"Bagaimana hubunganmu selama ini dengan Abimanyu?"
Tanpa penghakiman sedikit pun, Mas Soetiono menanyakan bagaimana keseharianku selama menjadi kekasih Abimanyu. Apa aku pernah bersedih, menyesal, atau merutuki pria itu atas keburukan sifat yang baru kuketahui setelah berpacaran dengannya?
Aku tidak membenarkan semua kekhawatiran kakak keduaku. Aku menjelaskan bagaimana aku menjalani kisah kasih bersama Abimanyu. Jika ditanya apa aku pernah cemburu, jelas pernah. Mengingat sosok Abimanyu yang ramah terhadap semua orang, terkadang aku tidak bisa menghentikan rasa cemburu, tiap kali melihat atau mendengar ada wanita lain yang menginginkan lelakiku. Namun, sejauh ini yang kurasa, Abimanyu tidak pernah menanggapi mereka secara serius.
Selama perbincangan ini, aku melihat kedua anak laki-laki kakak pertamaku berlarian. Mbak Trisna, selaku ibu mereka pun sigap membawa anak-anaknya untuk keluar dari area meja makan. Mungkin ia akan mengajak keduanya bermain di luar rumah.
Di tengah kejadian itu pun aku melihat Bapak, serta Ibu mulai bergabung di meja makan.
Ibu yang mengenakan pakaian terusan brokat mera muda, Bapak yang mengenakan kemeja batik lengan pendek dan celana bahan hitam tampak kompak memandangiku dengan sorot mata yang sulit kuartikan.
"Nduk, menikah itu bukan hanya masalah cinta atau tidak," ujar Bapak.
"Kamu mau hidup dari mana, kalau calon suamimu saja terlalu sering mengambil cuti dalam pendidikan," kritis Ibu.
"Mas Abimanyu cuti untuk mencari biaya kuliah, Bu. Bukan untuk bersenang-senang di Jakarta," sanggahku.
"Pokoknya Ibu tidak setuju. Dari weton saja kalian tidak cocok, apalagi menikah. Ibu tidak mau putri bungsu Ibu menderita hanya karena cinta."
"Bu, kenapa masih percaya hal-hal seperti itu? Seharusnya Ibu menilai Mas Abi dari pribadi dan usaha yang ia lakukan. Demi membantu biaya adik-adiknya bersekolah, Mas Abimanyu sampai rela cuti untuk mencari uang tambahan, Bu."
Kupandang lekat-lekat mata, serta raut wajah Ibu yang ada di seberang. Aku ingin menunjukkan kesungguhan hati, serta semua hal yang telah diperjuangkan kekasihku, namun tak satu pun orang mengetahuinya.
Tak kusangka, kesungguhanku itu menimbulkan cairan bening keluar dari sudut mata Ibu. Wanita yang kucintai sepenuh hati ini menangis hanya karena perkataanku.
Aku semakin dilema. Apa aku melakukan kesalahan besar pada Ibu, sehingga perempuan itu menangis?
Bukankah seharusnya aku yang menangis? Sejak kuumumkan aku akan menikah dengan Abimanyu, orang-orang terdekatku yang selama ini tampak santai, mendadak satu suara melakukan penentangan.
Tidak adil rasanya jika hanya aku yang ditentang keras oleh sahabat, apalagi keluargaku.
Kakak-kakakku menganggap hubungan ini tidak akan berjalan lama, mengingat Abimanyu adalah cinta pertamaku.
Padahal Mbak Trisna juga menikahi cinta pertamanya, tapi mereka menyambut pernikahan itu secara suka cita. Sementara aku, mereka mendadak menyarankanku untuk mempertimbangkan kembali niat menikahi Abimanyu. Bahkan tak jarang, salah satunya mencoba mengenalkanku pada pria yang mereka anggap seratus, bahkan seribu kali lebih baik dari kekasihku.
"Bu ...."
Mas Soetiono menepuk bahuku, meminta untuk menunggu Ibu menyampaikan hal yang menjadi kegelisahan wanita itu.
Sementara Bapak terlihat masih mengelus punggung Ibu, berusaha menenangkan perasaan wanita tercintanya.
Setelah keheningan paling menyiksa, akhirnya Ibu bersuara. "Ratih ... kamu tahu, kenapa kehidupan pernikahan Bapak Ibumu bisa selanggeng ini?"
"Karena Bapak Ibu saling mencintai," ucapku penuh keyakinan.
Ibu menggeleng. "Saat Ibu menikahi Bapak, Ibu bahkan baru dikenalkan oleh orang tua Ibu, sebelum melangsungkan pernikahan. Orang tua kami, mengatakan bahwa kami memiliki weton yang cocok untuk melangsungkan pernikahan. Hanya karena alasan itu, kamu bisa melihat Bapak Ibumu yang sekarang, Ratih."
"Mas dan Mbakmu juga mempertimbangkan hari lahir pasangan, sebelum menikah," sahut Mas Soetiono di sebelah.
"Itu ... itu tidak adil," gumamku. "Bahkan Mas Eko saja melangsungkan pernikahan dalam keadaan kekurangan. Sampai saat ini pun, ia dan istrinya masih sering menumpang makan di rumah ini," ungkapku penuh kekesalan.
"Apa kamu pernah mendengar istri masmu mengeluhkan pernikahannya? Menyesali pilihan yang ia ambil, Ratih?" tanya Bapak.
Aku terdiam, menggigit bibir bawah untuk menghentikan tangis yang ingin mendobrak keluar dari kedua mataku.
"Walau saat ini mereka masih hidup dalam kesederhanaan, tapi istri masmu masih terlihat bahagia. Kalian bahkan sering berbincang, serta tertawa bersama di dapur. Tidakkah Ratih melihat kebahagiaan kakak iparmu, Nduk?"
Tidak bisa. Aku tidak bisa lagi menahan ini. sekuat tenaga sudah kutahan agar air mata ini tidak tumpah ruah, pada akhirnya mereka terjun dengan deras membasahi kedua pipiku.
"Bu ... Pak ... Ratih cinta dengan Mas Abi. Kebahagiaan Ratih saat ini hanya ada bersama laki-laki itu. Tidak bisakah, Bapak Ibu mengizinkan Ratih bahagia bersama pria yang Ratih cintai?" ucapku di tengah isak tangis yang semakin menjadi.
Kurasakan lengan kokoh Mas Soetiono merengkuh tubuh mungilku. Tanpa banyak kata, laki-laki itu mengelus-elus punggungku, membuat tangisku semakin pecah, membasahi kemeja cokelat tuanya.
Sebagai anak bungsu, aku sering merasa hidup dalam ketidak adilan, mengingat banyaknya sifat dominan pada kakak-kakakku. Aku harus selalu menjadi pihak yang tenang dan mengalah. Namun kali ini, semuanya terasa sangat tidak adil.
Dari semua saudaraku, hanya aku yang mendapat penentangan keras mengenai pilihan pasangan hidup. Mereka membuatku lelah secara batin dan emosional.
"Jika kamu sudah berkeras hati seperti itu, Ratih ... Bapak akan mengizinkan."
"Bapak!"
"Pak!"
Perkataan Bapak barusan, sukses membuat tangisku sedikit mereda.
"Syaratnya hanya kalian harus lulus terlebih dahulu. Minimal, sampai Ratih mendapat pendapatan yang stabil," ucap Bapak.
"Pak!" Ibu masih tampak tidak setuju dengan keputusan yang Bapak ambil, namun entah bagaimana caranya, Bapak berhasil membuat Ibu tidak melanjutkan aksi protes.
Tanpa banyak bicara, Ibu akhirnya meninggalkan meja makan, disusul oleh Bapak.
Walau harus menempuh jalan berbatu, aku akhirnya mendapat restu untuk menikah dengan Abimanyu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro