Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 17

Aku merasa bersalah pada Alina yang harus mondar-mandir ke rumah sakit untuk mengantarku saat gadis itu sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan skripsi dan laporan magangnya.

Di tengah rasa sakit dan rasa bersalahku pada Alina, aku malah mendapati Abimanyu masih berkirim pesan dengan wanita itu, Yuni. Nama wanita yang pernah membuat anak dan suamiku bertengkar karena Alina tahu papanya bertukar pesan mesra dengan wanita lain.

Malangnya nasib putri kecilku Alina. Jika aku pergi lebih cepat, ia harus menghadapi fakta kalau papanya akan menikahi wanita lain bila aku meninggal karena penyakit ini.

Karena hal itu, aku putuskan untuk tidak menceritakan hal tersebut pada Alina. Gadis itu sudah lelah mengurus ini itu, juga dengan rumah sakitku.

"Alina mau cuti."

Sebuah perkataan muncul dari gadis kecilku yang selama ini rajin dengan kuliahnya, mendadak ia memutuskan untuk cuti.

"Loh, kenapa cuti Alina? Kan ini sudah pertengahan semester 7," ucapku penuh kecemasan.

"Bukan semester ini. Maksud Alina semester 8 nanti. Alina rasa, dosen pembimbingnya sulit diajak kooperatif. Alina mau cuti untuk mempersiapkan skripsi sekalian pengajuan penggantian dosen pembimbing. Pusing Alina kalau dosen pembimbingnya susah ditemui," tuturnya panjang lebar.

Walau gadis itu sudah menjelaskan seperti itu, aku tetap tidak bisa menahan diri untuk tidak merasa kecewa. Bukan pada Alina yang memutuskan untuk cuti, tapi pada diriku sendiri yang sakit. Alina pasti sulit fokus karena harus beberapa kali bolak-balik ke rumah sakit.

Apalagi belum lama ini ia harus tetap bersikap tenang sambil menenangkanku saat luka bekas operasi pengambilan sel kanker ini pendarahan hebat.

Alina yang sudah mulai dewasa ini berusaha menenangkan ku yang panik akibat kehilangan banyak darah dari bekas luka operasi yang kondisinya semakin memburuk.

Pengalaman kehilangan banyak darah akibat pendarahan dari bekas luka operasi itu membuatku sempat berpikir kalau saat itu aku akan langsung mati.

Pandanganku sudah menggelap sepenuhnya. Walau mataku terbuka lebar, tapi aku bahkan tidak bisa melihat wajah Alina yang sibuk menenangkanku sambil mengusap rambutku, atau bahkan lampu kamar yang menyala. Semuanya tampak gelap dan menakutkan.

Karena kejadian itu, aku berpikir kalau Alina juga mengalami syok dan kesulitan fokus. Sebagai mamanya, aku sangat sadar kalau sikap tenang Alina selama ini di rumah adalah kebohongan besar.

Gadis yang tidak pernah terlihat menangis itu bahkan sampai menangis kencang hanya karena bermimpi kalau seekor kepiting menjepit jarinya.

Aku sempat berpikir bahwa mimpi buruk itu adalah bentuk dari semua bebannya yang tidak sempat dikeluarkan karena harus berpura-pura tegar di hadapan orang tua yang sedang sakit.

"Mama pasti sembuh kok," ucap Alina pagi itu sambil membasuh wajahku dengan air hangat.

"Aamiin ..." Aku hanya bisa mengamini ucapan baiknya, walau dalam hati aku ragu. Mengingat kondisiku semakin memburuk setelah menjalani kemoterapi sebanyak 7x. Aku yang semula bisa berjalan ke ruang kemoterapi, bahkan sekarang tidak bisa bangun dan berjalan sendiri. Tubuhku harus dibantu dengan kursi roda untuk berpergian.

Rasa sakit yang menjalar ke seluruh badanku rasanya tidak sebanding dengan rasa lelahku akan ketidak mampuanku dan menjadi beban bagi keluarga, terutama bagi Alina.

"Nanti kalau Mama sudah sembuh, Alina janji akan ajak Mama jalan-jalan lagi. Alina akan kerja keras supaya kita bisa punya rumah sendiri," ujar gadis itu sambil tersenyum.

Aku hanya bisa tersenyum mendengar semua ucapan manis Alina.

Itu harapan yang indah. Bahkan terlalu indah bagiku untuk menjadi kenyataan.

Mengingat tubuhku yang tak mampu lagi berjalan, rambut yang sudah tak kumiliki, kanker yang area sebarannya semakin hari semakin meluas.

Bisa berjalan lagi ke luar bersama Alina adalah impian yang benar-benar indah. Walau itu hanya ucapan penuh pengandaian, dalam hati kecilku, aku harap ucapan Alina bisa terkabul. 

"Sejak Mama sakit, kenapa kakak-kakak Mama tidak ada yang menelepon sih? Bukannya mereka tahu, ya, kalau Mama sedang sakit?" ujar Alina yang mulai meraih ponselku yang berada di atas nakas.

Sadar tak ada pesan atau panggilan terlewat dari orang-orang yang ia maksud, Alina langsung meletakkan ponsel itu kembali ke tempatnya.

"Perasaan dulu aja, beberapa hari sekali, kakak-kakak Mama selalu telepon sama Mama berjam-jam saat malam, tapi anehnya saat Mama sakit seperti ini, tidak ada satu pun yang menelepon. Aneh," gerutu Alina.

Kugenggam lembut jemari Alina. "Mereka kan sibuk, Sayang. Mereka punya urusan masing-masing dan keluarga sendiri yang harus diurus," ucapku lembut.

"Tapi kan seenggaknya mereka bisa telepon untuk sedikit bertukar kabar atau memberi semangat Mama selama sakit. Kok kesannya kayak gak mau tahu."

"Mereka juga sibuk, Sayang ... sama seperti Alina, juga Mama." Aku berusaha memberi pengertian pada Alina yang merasa tidak adil dengan semua hal yang ia alami.

Alina mendengus kesal, dan ia terdiam bebrapa saat. Sampai akhirnya suara notifikasi di ponselnya memecah keheningan di antara kami.

"Ma, katanya Ruben sama mamanya mau ke sini, jenguk Mama."

Aku tersenyum mendengar nama sahabat anakku disebut. "Bilang sama Ruben, kalau mau jenguk, jangan repot bawa ini itu. Mama gak enak merepotkan."

Alina yang masih menatap layar ponsel pun menjawab. "Iya, Alina sudah sampaikan, tapi Ruben bilang, dia juga tidak tahu."

Artinya, semua bawaan yang Ruben kerap kali bawakan kemari saat menjengukku seutuhnya inisiatif orang tuanya yang ingin menunjukkan perhatian melalui buah tangan.

Kalau sudah seperti itu, aku tidak bisa apa-apa selain menerimanya dengan senyuman, sebagai tanda terima kasih atas perhatian yang mereka berikan padaku selama ini.

***

Tidak seperti yang direncanakan sebelumnya, Ruben kali ini datang seorang diri karena mendadak harus menghadiri rapat RT untuk keperluan acara di wilayah rumah mereka.

Walau begitu, Ruben tetap membawakan banyak buah tangan. Mulai dari bunga segar yang kini sudah Alina pindahkan ke dalam vas berisi air, ada beberapa makanan dan buah.

Saat Alina pamit ke dapur untuk menyiapkan minuman dan buah untuk kami, aku meminta Ruben untuk sedikit mendekat karena aku tidak ingin apa yang akan kukatakan sampai terdengar oleh Alina.

"Nak ... Tante boleh titip Alina gak?"

Kening pemuda itu tampak mengerut. "Maksudnya apa, Tante? Kok Tante bicara seperti itu?"

"Ruben kan bisa lihat, bagaimana kondisi Tante saat ini. Tante hanya khawatir kalau Alina merasa kesepian kalau Tante tidak ada."

Pemuda itu langsung meraih tanganku, menggenggamnya lembut. "Tante ... Ruben memang tidak akan pernah meninggalkan Alina."

Aku bisa melihat kalau laki-laki di hadapanku ini sedang menahan kesedihan. "Tapi Tante tahu sendiri kan, kalau Tante itu dunianya Alina. Alina pasti akan merasa sangat kehilangan bila Tante pergi seperti ini." Ruben terlihat mencoba untuk tersenyum, tapi senyumnya terlihat aneh karena terlihat ada guratan kesedihan yang bisa kulihat di sana.

"Jadi Tante ... daripada Tante mengkhawatirkan hidup Alina tanpa Tante, kenapa tidak Tante tingkatkan semangat Tante lagi untuk bisa bahagia bersama lebih lama bersama Alina."

Aku hanya bisa tersenyum selama mendengar semua ucapan manis Ruben. Pria ini sejak dulu memang sudah selembut ini. Pantas saja, pertemanan mereka bisa berjalan lama.

"Tante harus ingat, kalau badai pasti berlalu. Matahari pasti akan bersinar setelah badai lewat," ucap Ruben penuh ketulusan. Ia sebisa mungkin untuk mengembalikan semangatku dalam bertahan hidup.

Namun ... bagaimana ini, Ruben? Aku rasa ... bukan badai yang segera berlalu, tapi aku justru akan tertelan oleh badai itu. Karena tiap menit dan detik yang kulalui, pengelihatanku semakin pudar. Aku merasa kesadaranku perlahan ditarik ke luar.

Alam bawah sadarku berkata, inilah saatnya.

Aku bersyukur, sebelum pergi aku sudah menitipkan putri tercintaku pada sahabatnya. Kuharap Ruben setidaknya bisa sedikit meringankan kesedihan Alina di saat aku tidak ada lagi di sisinya.

Alina putri kecil Mama ... Mama harap, kamu tidak bersedih terlalu lama. Bangkitlah dengan cepat dan raihlah semua kebahagiaan dalam hidupmu, agar Mama juga bisa ikut bahagia menyaksikan hidupmu dari atas sana.

***

TAMAT

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro