Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 16

Waktu berjalan cepat. Tanpa terasa, kini Alina sudah memasuki jenjang yang lebih dewasa, yaitu datang hari di mana ia mulai mendebatku ingin melanjutkan pendidikan SMA nya di Surabaya. Ia ingin tinggal di rumah kakek nenek yang selalu membuat perasaannya lebih nyaman.

Entah apa yang gadis kecil itu pikirkan, hingga ia sekeras kepala itu untuk melanjutkan pendidikannya di Surabaya. Padahal rumah Bapak Ibuku sudah tidak seperti dulu.

Sejak kepergian Bapak saat Alina masih kelas 5 SD, rumah masa kecilku sudah lama tidak dihiasi canda tawa karena Mas yang merawat Ibu saat ini adalah pribadi yang keras, cukup keras kepala, juga egois. Hal ini yang membuat tradisi lama selalu berkumpul di rumah Bapak Ibu saat liburan sekolah menjadi hilang.

Aku khawatir bila Alina akan merasa kesulitan oleh pamannya yang memiliki watak seperti itu.

Benar saja, sesuai dengan dugaanku. Walau Alina sempat merasakan pendidikan SMA di Surabaya, pada semester ke 2, gadis itu pun kembali ke Jakarta.

Tentu semua ini bukan atas permintaan Alina. Ini semua karena aku sudah tidak tahan dengan segala macam keluhan yang disertai fitnah oleh Mas yang ikut tinggal di rumah Ibu bersama Alina yang sibuk dengan dunianya sendiri dan pendidikan.

Alina yang tumbuh menjadi pribadi yang cuek sebenarnya tidak pernah memedulikan ucapan pamannya. Bahkan dari nada bicaranya, gadis kecil itu cenderung tidak mau ambil pusing soal apa pun yang pamannya pikirkan mengenai dirinya.

Di sisi lain, aku merasa kagum dengan pribadi Alina yang tahan banting, tapi di sisi lain, aku yang merasa tidak sanggup membayangkan anakku selalu disulitkan oleh tingkah laku saudaraku yang egois ini. Terpaksa, aku menyuruh anak itu kembali melanjutkan pendidikannya. Suka atau tidak suka Alina dengan keputusanku ini.

Selain khawatir dengan Alina yang harus selalu bersabar menghadapi kelakuan pamannya, aku yang di Jakarta sejujurnya merasa sangat kesepian. Hari-hariku yang selalu ditemani Alina tiap kali pulang bekerja, mendadak jadi sangat sunyi.

Sangking rindunya dengan putri kecilku, aku bahkan pernah memeluk Ruben sambil menangis. Karena tiap melihat anak laki-laki itu, aku selalu teringat pada Alina. Karena mereka selalu berada di sekolah yang sama hingga SMP, dan mereka selalu bermain bersama sejak insiden perkelahian dengan para pembully saat SD.

Aku baru merasa lega setelah Alina tiba di Jakarta dan aku kembali dengan rutinitasku yang ditemani Alina di dalamnya.

Alina adalah sumber semangat hidupku. Aku masih belum bisa hidup berjauhan dari anak itu. Bahkan sampai saat kuliah pun, aku tetap memintanya untuk memilih universitas swasta di Jakarta saja jika ia tidak diterima oleh kampus negeri pilihannya.

Aku tidak keberatan membayar lebih mahal, selama Alina masih ada di sisiku untuk saat ini.

Walau melelahkan, juga kerap kali terlibat perdebatan dengan Alina yang perlahan tumbuh dewasa, aku masih beranggapan kalau aku akan terus menemani putri kecilku hingga ia memiliki keluarga kecilnya sendiri, sampai aku melihat cucuku  berkuliah di kampus yang ia impikan, persis seperti Bapak Ibuku yang melihat perkembangan cucu pertama mereka.

Namun sayangnya ... keinginan dan kenyataan tidak selalu berjalan beriringan.

Pada saat Alina disibukkan dengan kegiatan kampus akhir semester dan hobinya yang mulai menghasilkan sebagai seorang pelukis yang juga magang di salah satu galeri seniman kenalan Abimanyu. Aku mendapati sebuah benjolan asing sebesar bakso di payudara sebelah kiri.

Hal itu tentu membuat pikiranku kalut, tak karuan. 'Benjolan apa ini? Kenapa ada benjolan asing di payudaraku? sejak kapan?' Berbagai macam pertanyaan mulai menghantui pikiranku.

Alina yang mendengarkan keluh kesaku pun langsung menganjurkan aku untuk segera memeriksakannya ke dokter.

"Tapi Mama takut, Alina ..." tolakku yang berusaha untuk tidak memeriksakan benjolan apa yang ada di tubuhku. Aku belum siap dengan fakta apa yang akan dibeberkan dokter. Aku takut jika benjolan ini akan merenggut waktuku bersama orang yang kusayangi.

Setelah melalui perdebatan panjang dengan Alina selama hampir sepuluh hari, di sinilah aku saat ini. Rumah Sakit Umum Daerah yang letaknya dekat dengan rumah.

Setelah mencoba memeriksakannya pada dokter bedah umum, dokter bedah tersebut pun langsung menganjurkanku untuk segera mendaftarkan diri ke dokter onkologi untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Segala macam proses pemeriksaan ini melelahkan secara fisik dan mental. Entah kenapa tiap kakiku melangkah di rumah sakit, aku merasa bahwa waktuku bersama Alina akan segera berakhir.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro