Bab 14
Perjalanan mengenai sekolah dasar pertama Alina ternyata tidak selancar yang dibayangkan. Selain kudapati Alina sering berkelahi dengan kakak kelas, atau teman sebaya di kelas lain karena mengatainya, 'gendut, gajah, babon, atau sejenisnya.'—yang tentu notabennya mereka adalah laki-laki—jelas membuatku khawatir.
Belum lagi saat insiden ulangan semester hari pertama.
Aku ingat betul, dalam surat edaran yang diberikan sekolah itu ulangan akan dilangsungkan pukul 09,30. Sementara Alina yang membenci keterlambatan ini sudah diantar Abimanyu sejak pukul 08.00.
Hal mengejutkan yang kudengar adalah ujian telah berlangsung sejak pukul 07.00 pagi. Alina dinyatakan terlambat dan disuruh langsung mengerjakan soal dengan waktu yang tersisa.
Tentu kejadian ini menimbukan perdebatanku dan Abimanyu dengan pihak sekolah. Kami yang notabennya sama-sama mengambil kuliah keguruan, tentu tahu betul bagaimana aturan sekolah.
Bagaimana bisa, pihak sekolah memajukan jam ujian tanpa pemberitahuan tambahan, saat jam yang tertera pada surat edaran, jelas saangat berbeda dengan apa yang terjadi di lapangan.
Setelah melakukan perdebatan cukup sengit dengan pihak sekolah, akhirnya kami memutuskan untuk memindahkan Alina ke sekolah swasta yang menurut kami terlihat disiplin. Tidak hanya pada murid, tapi pada seluruh staff yang bekerja di sekolah yang dibangun dengan landasan angkatan laut sebagai acuan sekolah mereka.
Hal yang menjadi pembeda dari SD Majapahit 5 yang terletak di kawasan Dewa Ruci dengan sekolah Alina sebelumnya adalah terdapat matapelajaran Kebaharian. Di mana ia akan mempelajari hal-hal berbau kelautan. Baik dari sejarah para pelaut di Indonesia, atau mengenal makhluk-makhluk laut.
Setelah memenuhi semua berkas yang diminta sekolah, Alina resmi memulai semester 2 nya di sekolah baru.
"Nanti jangan malu kenalan sama yang lain ya, Alina," ucapku sambil memberi sepiring nasi goreng pada Alina.
Walau terlihat galak dan pemberani. Alina sesungguhnya hanya gadis polos yang pemalu untuk memulai pertemanan lebih dulu. Jadi aku harus mengingatkannya untuk tidak sibuk dalam dunia yang ia ciptakan seorang diri.
"Iya Ma ..." sahutnya singkat sambil mulai memasukkan sesendok penuh nasi goreng ke dalam mulut.
"Sedikit-sedikit dong Alina. Masa anak perempuan makannya rakus seperti itu sih?"
Komentarku diabaikan Alina. Matanya terlalu terfoku pada kartun pagi yang selalu menemani sarapan Alina.
"Mama berangkat dulu ya, Alina. Nanti diantar Papa ke sekolah." Kukecup pipi gemas Alina, sebelum memutuskan untuk menempuh perjalanan belasan kilometer menggunakan sepeda motor. Semoga pagi ini Jakarta tidak begitu macet.
***
Hari yang panjang akhirnya bisa dihindari sejenak. Waktu istirahat makan siang menjadi satu-satunya waktu yang bisa menghindarkanku dari perilaku ajaib siswa-siswi sekolah ini. Semoga saja saat memasuki jenjang SMP, tingkah Alina tidak begitu menyulitkan guru-gurunya.
Suara ponsel terdengar nyaring dari saku celana. Nomor telepon rumah yang tak kukenal muncul di layar HP.
"Siang Bu, ini mamanya Alina, ya?" suara perempuan terdengar tegas dan asing dari balik telepon.
"Iya. Maaf, ini siapa, ya?"
"Saya mamanya Ruben, Bu. Teman sekelas Alina."
"Oh, ada apa ya, Mama Ruben?" Entah kenapa, perasaanku tidak enak.
"Begini, Bu. Alinanya hari ini ada di rumah saya sejak pulang sekolah tadi."
Jam di tangan menunjukkan pukul 12. Seharusnya anak kelas 1 sudah pulang 2 jam lalu. Kenapa orang tua siswa lain yang meneleponku, bukan Abimanyu.
"Tapi sepertinya Alina mengalami luka-luka akibat perkelahian dengan anak kelas sebelah."
Kepalaku langsung berdenyut. Ini baru hari pertama Alina pindah sekolah dan ia sudah menimbulkan kehebohan besar. "Maaf Mama Ruben. Alina memang sedikit sensitif anaknya."
"Oh, berantemnya bukan sama Ruben kok, Ma." Seakan tanggap dengan kekhawatiranku, Mama Ruben langsung berusaha meluruskan masalah yang terjadi. "Sebenarnya anak saya sering diganggu di sekolah karena wajahnya yang cukup cantik dibanding anak laki-laki seusianya. Ruben cerita, saat perjalanan pulang, Alina yang melihat Ruben dijahili oleh anak lain. Ia berusaha membela, tapi mereka malah adu jotos."
Hanya suara helaan napas panjang yang keluar dari mulutku.
Baru hari pertama pindah ke sekolah baru, Alina justru berkelahi seperti itu dengan kelas lain. Dan jika sudah sampai adu jotos seperti ini, sudah pasti kalau lawannya lagi-lagi anak laki-laki.
Menolong teman yang kesulitan memang baik, tapi bagaimana bisa gadis kecil itu berkeliaran ke luar sekolah saat papanya saja belum menjemput.
Abimanyu juga, kenapa tidak menghubungiku saat tidak bisa menjemput Alina. Minimal kan, jika ia menghubungiku sebelumnya, aku bisa meminta wali kelasnya untuk menyuruh Alina menunggu di sekolah dan jangan sembarangan ke luar.
"Terima kasih infonya, Mama Ruben. Nanti kalau pekerjaan saya sudah selesai, saya langsung jemput ke sana." Sambil memijat pangkal hidung, aku masih memikirkan bagaimana kondisi Alina saat ini.
"Nanti alamatnya saya kirim ya, Ma. Selamat siang."
"Selamat siang." Ponsel langsung kutaruh dalam tas.
Seharusnya aku langsung menghubungi Abimanyu, tapi pasti dia akan beralasan sibuk mengurusi pekerjaan pengisian minyak kapalnya atau mungkin sedang bertemu klien. Nanti sajalah. Kalau ia ingat, Abimanyu pasti langsung meneleponku.
***
"Mama!" suara ceria Alina langsung menyambutku, begitu motor biruku terparkir di depan rumah berpagar hijau yang terbuka lebar.
Wajah menggemaskan Alina kini tampak membuatku bersedih. Ada luka di ujung bibir sebelah kanan, dan lebam di pipi kiri dekat area mata.
Setidaknya Mama Ruben telah melaporkan kejadian ini ke wali kelas berdasarkan kesaksian Ruben yang ia terima dari telepon. Untung saja Ruben tergolong anak yang cerdas. Ia mampu menceritakan dengan baik, apa yang terjadi dan siapa saja yang terlibat dalam perkelahian.
Kejadian ini membuatku harus izin dari pekerjaan esok. Wali kelas memanggil para wali murid yang terlibat dalam insiden ini.
Mama Ruben tadi berkirim pesan kalau anak-anak itu sebenarnya tidak pernah sampai main fisik saat meledek Ruben. Karena Ruben adalah anak laki-laki, ia pikir Ruben harus bisa menghadapi itu seorang diri, tapi bila mereka sudah main fisik, ia harus langsung menceritakan semua pada orang tua dan wali kelas.
Kuhampiri putri kecil yang langsung memelukku. "Sakit ya, Alina?" Tidak tega rasanya melihat keadaan anak perempuan yang dipenuhi luka seperti ini.
Bukan hanya Alina yang terluka. Kulihat siku kanan dan kedua lutut Ruben juga terluka. Tapi mungkin karena Alina yang terlalu memprovokasi, gadis kecil ini jadi mendapat luka lebih banyak.
"Tadi sudah diobati sama Mbok Darmi," ucap Alina sambil menoleh ke belakang, memandang perempuan yang mungkin berusia 30-40 tahun, mengenakan daster batik.
Ia tersenyum ramah padaku sambil menganggukkan kepala.
Kubalas sapaan itu sambil mengulurkan tangan. "Mamanya Alina, Bu."
"Aduh Bu ... panggil Mbok Darmi atau Mbok saja. Sungkan saya kalau dipanggil Ibu sama Bu Guru." Mbok Darmi menjabat tanganku sungkan.
Tampaknya Alina sudah bercerita mengenai pekerjaanku, selama ia berada di sini.
"Masih sama-sama manusia kok, Mbok ... gaji saya juga tidak terlalu besar." Bisa saja gaji Mbok Darmi bahkan lebih besar dariku.
Kenyataan pedih dari pengajar sekolah swasta adalah gaji yang di bawah UMR. Walau menempuh belasan kilometer, gajiku saat ini bahkan hanya baru menyentuh angka 1 juta. Tidak sebanding dengan gaji Mama Ruben yang seorang Mayor dari TNI Angkatan Darat.
"Silahkan duduk, Bu," Mbok Darmi sedikit membungkukkan tubuh, sambil menunjuk deretan kursi tamu di teras depan dekat pintu masuk rumah. "Mau minum apa, Bu?"
"Apa saja boleh, Mbok. Terima kasih."
Setelah cukup berbasa-basi dengan Mbok Darmi, akhirnya aku mendengar cerita lengkap kejadian dari Ruben.
Ruben adalah anak pertama yang mengajak Alina kenalan karena meja mereka bersebelahan. Ia yang melihat Alina mondar-mandir dekat pagar sekolah pun mengajak gadis itu untuk mampir ke rumahnya dan menelepon kontak yang tercantum dalam buku kegiatan untuk mengabari orang tua Alina kalau gadis itu mampir ke rumahnya. Tapi sayangnya saat sudah berbelok di pertigaan, mereka dihadang oleh anak kelas sebelah yang suka menggoda Ruben, mengatai anak itu dengan sebutan banci, dan mengomentari penampilan Ruben yang cenderung cantik.
Mereka mulai main fisik saat Alina balas mengatai mereka. Dari situlah perkelahian dimulai. Saat Ruben mulai didorong hingga terjatuh, dan Alina yang tidak terima mulai memukul mereka.
Ternyata ... perjalanan seorang Ibu yang memiliki anak perempuan tangguh nan pemberani itu berat juga. Alina seperti tak kenal takut, padahal mereka berdua melawan kelima anak jahil yang notabennya ya anak laki-laki.
Aku memang sangat bersyukur bahwa putriku satu-satunya ini bukan tipe anak yang mudah menangis. Bahkan sampai jarang ada anak yang berani menggoda, apalagi mengatai Alina. Karena gadis ini termasuk tipe tempramen yang belum bisa mengendalikan emosi. Sekali kesal, ia akan melayangkan pukulan.
Namun bila lawan bertengkarnya adalah laki-laki, tentu aku sebagai orang tua Alina takut sendiri mendengar itu. anak perempuan berkelahi dengan anak lelaki. Dari kondisi fisik, bahkan tenaga, mereka sudah jauh berbeda sejak kecil.
Kondisi Alina seperti inilah yang kukhawatirkan bila ia adu kekuatan fisik dengan anak laki-laki.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro