Bab 11
Hidup di Jakarta ternyata tidak sesulit yang kubayangkan, tapi tidak semudah itu pula. Apalagi sejak tinggal di kos-kosan daerah Dukuh, Semper Barat, aku mulai mendapati satu persatu, perbedaan sifat suamiku yang tak kulihat sebelumnya.
Aku memang tahu bahwa Abimanyu adalah tipikal orang yang selalu menyampaikan pendapatnya dengan mudah. Namun, aku tak pernah menyangka, hal ini terus membuat ia beberapa kali cekcok dengan atasan. Sampai suatu ketika aku diminta Abimanyu menemui atasannya untuk meminta maaf, lebih tepatnya memohon pada laki-laki itu untuk tidak memecat suamiku dari pekerjaan.
Aku yang merasa tidak ikut campur dalam masalah ini jelas merasa Abimanyu telah menghancurkan harga diriku. Namun jika tidak kulakukan, kebutuhan Alina tidak dapat terpenuhi.
Beberapa pertengkaran sering terjadi, sebagian besar adalah hal-hal mengenai keegoisan Abimanyu yang selalu berkata, ingin sesuatu yang terbaik bagi perusahaannya, tapi hal itu selalu bertentangan dengan keinginan sang atasan.
Abimanyu juga jadi lebih jarang pulang ke rumah sejak bekerja di kantor perminyakan kapal. Lebih tepatnya, ia memberikan alasan bahwa laki-laki itu sedang menemani kliennya di salah satu bar dekat area kantor.
Bahkan saat banjir besar melanda Jakarta pada tahun 2002 pun, Abimanyu tetap tidak pulang. Entah apa alasannya kali ini. Tiap kutelepon ke nomornya melalui wartel terdekat, hanya suara operator saja yang menyapa, bahkan ketika kuhubungi pihak kantor pun, tidak ada satu pun yang menjawab.
Untunglah sejak semalam hujan tidak turun. Siang ini matahari juga tampak terik, memberi sedikit kehangatan pada hatiku yang mulai membeku.
Kuajak Alina makan di salah satu restoran cepat saji yang bisa kami tempuh dengan menaiki becak.
Air tampak masih menggenang di sepanjang jalan yang kami lalui, tapi untunglah tidak setinggi saat hujan masih deras-derasnya.
Alina yang kini telah berusia 3 tahun tampak mengerti kesedihan, serta kegelisahan hatiku. Bahkan saat aku masih mengaduk-aduk sup jagung panas pesananku, Alina tampak tersenyum lebar sambil mengguncangkan tanganku.
"Kata Mama, Alina mirip Papa. Kalau Mama kangen Papa, Mama kan bisa lihat Alina. Jadi jangan sedih ya, Ma ...."
Tanpa sadar aku tertawa kecil melihat tingkah menggemaskan Alina. Walau aku hanya terdiam di tempat duduk restoran cepat saji yang terasa dingin ini, tapi hatiku mulai menghangat. Ya, semua berkat usaha Alina yang ingin menghibur Mamanya.
Gadis itu berulang kali berusaha meyakinkanku tuntuk tidak memikirkan papanya yang entah di mana. Alina kecil, berhati dewasa ini tampak bersemangat mayakinkaku untuk hanya melihat ke arahnya seorang.
Kuulurkan tanganku untuk membelai lembut rambut hitam lurus pendeknya.
Baiklah, Alina. Kamu menang. Mulai saat ini, Mama akan hidup hanya untukmu. Tidak peduli apa yang akan terjadi ke depannya, Mama hanya mengusahakan yang terbaik untukmu. Jadi, Mama mohon, kamu juga jangan berhenti berusaha yang terbaik untuk dirimu sendiri ya, Sayang. Karena kebahagiaanku kini, hanya akan terpusat padamu seorang, Alina.
Sebuah keputusan besar lahir pada hari itu. Aku yang dulu memimpikan rumah tangga yang harmonis hingga tua bersama suami, kini memutuskan untuk menikmati waktu berharga dengan Alina. Tiap detik, menit, dan tahun yang kulalui bersama putriku akan kunikmati sebaik mungkin. Sampai tidak menyisakan rasa penyesalan.
Kugenggam tangan mungil Alina. Gadis itu menatapku sambil tersenyum lebar.
"Mama tidak sedih kok, kana da Alina di depan Mama," ucapku yang tidak sepenuhnya berdusta.
"Tapi dari kemarin Mama mukanya sedih terus. Mama tidak bermain sama Alina juga. Alina kira, Mama sedih," ujarnya yang kini mulai melepaskan genggaman tanganku, dan mulai meraih chicken strip panas yang tersaji di meja.
"Mama hanya khawatir sama Papamu. Alina tahu, kan, beberapa hari ini hujan besar? Alina juga tidak bisa menemani Mama ke pasar karena banjirnya cukup tinggi," jelasku.
Alina terlihat mengangguk sambil mengunyah makanan yang digenggamnya.
"Mama khawatir terjadi sesuatu pada Papamu. Makanya Mama terlihat sedikit murung beberapa hari ini. Maaf ya, sudah membuat Alina khawatir. Mama baik-baik saja sekarang. Soalnya Mama punya Alina."
Gadis di hadapanku langsung tersenyum lebar, membuat beberapa serpihan makanan yang sedang dikunyahnya mulai sedikit berjatuhan.
Kubersihkan mulut putri kecilku yang mulai belepotan minyak dan saus tomat sambil berkata dalam hati, 'Baiklah Ratih. Mari mulai hidup tanpa penyesalan bersama Alina.'
Walau aku masih menyimpan impian besarku, memiliki kehidupan rumah tangga harmonis, selalu romantis hingga tua, layaknya Bapak dan Ibu. Namun, jika itu sangat sulit diraih jika bersama Abimanyu, aku akan tetap mempertahankan mimpi ambisius itu, setidaknya demi putri kecilku, Alina. Agar ia memiliki pandangan positif mengenai rumah tangga, walau mungkin di masa mendatang, aku akan banyak menderita. Setidaknya, selama ada Alina di sisiku, aku akan merasa sangat cukup untuk itu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro