Bab 10
Minggu pagi ini aku bisa melihat senyum lebar kedua orang tuaku. Mereka menyambut kedatanganku dan Alina penuh sukacita.
Bisa dilihat dari Bapak yang semula sibuk menyapu jalan depan rumah, langsung meninggalkan sapunya begitu saja. Tanpa banyak bicara, beliau langsung mengambil alih Alina dari gendonganku, dan membawa ia masuk sambil menorehkan senyum lebar.
Sudah cukup lama aku tidak mengunjungi rumah ini. Terakhir kali saat lebaran, berarti sudah sekitar tiga bulan lalu.
Hanya dalam kurun waktu tiga bulan saja, sudah banyak perbedaan pada rumah ini. Kursi anyaman rotan yang biasa ada di ruang tamu, dua di antaranya dipindah ke teras depan, sementara empat kursi lain, mungkin sudah terlalu tua, jadi tidak dapat digunakan kembali.
Kursi anyaman rotan yang biasa menemani aktivitas belajarku di ruang tamu, telah berganti menjadi sofa katun hijau yang mengelilingi meja kaca persegi panjang berwarna hitam. Meja itu tampak kokoh karena disangga oleh jenis kayu yang kata Bapak sangat keras, jadi bisa lebih lama digunakan. Rayap pun enggan memakannya, ungkap Bapak yang tampak antusias menceritakan perubahan ruang tamu.
"Suamimu mana, Ratih? Kok gak ikut?" tanya Ibu saat menyajikan teh panas.
Aku tersenyum sambil mengambil salah satu gelas yang akan diletakkan Ibu ke atas meja, "Mas Abi masih sibuk beres-beres warung, Bu," ujarku selembut mungkin. Aku tidak ingin membuat hati Bapak, apalagi Ibu, terluka. Sejak perselisihan Abimanyu dan Mbak Trisna di rumah ini, suamiku hanya berkunjung saat momen lebaran tiba. Selebihnya ia akan absen dengan alasan mengurus tempat makannya.
Ibu balas tersenyum, kemudian turut duduk di sofa. "Ratih sama Alina menginap, kan?" tanya Ibu yang matanya menyorotkan penuh harap.
"Tidak, Bu ... habis ashar nanti, Ratih harus pulang. Alina sudah harus tidur setelah magrib."
"Kok sebentar sekali mainnya, Ratih? Bapak loh, masih kangen sama Alina," rajuk Bapak sambil menatap anakku, "Nginap ya, sayangnya Mbah Kung?"
Alina terkikik geli, begitu Bapak mengecup gemas kedua pipi sang cucu.
Sebenarnya aku tidak enak menyampaikan ini, tapi bila tidak kuutarakan, kedua orang tuaku pastilah akan kecewa kelak.
Hanya memikirkan harus menyampaikan hal ini saja, sudah membuat tenggorokanku terasa kering. Aku harus berdeham beberapa kali, sampai baru berani berkata, "Sebenarnya ... kedatangan Ratih kemari itu untuk berpamitan pada Bapak Ibu."
Suara Bapak yang semula terdengar ceria menggoda Alina, mendadak terdiam. Begitu pula Ibu. Wanita itu tampak hanya memandangku penuh tanya, tanpa melontarkan sepatah kata pun.
Keheningan mencekam mulai terasa memenuhi ruangan. Aku tidak berani mengucap sepatah kata pun, sebelum Bapak atau Ibu menanyakan maksud dari perkataanku. Aku hanya tidak ingin terburu-buru dalam menyampaikan hal ini, sehingga membuat keduanya sakti hati, atau berpikir hal buruk mengenai suamiku.
"Memang kamu mau pergi ke mana, Ratih? Kok pakai pamit segala," ucap Ibu yang akhirnya memecah keheningan di antara kami.
"Begini, Bu ... Mas Abi katanya dapat tawaran kerja dari temannya di Jakarta. Jadi, kami memutuskan untuk pindah ke sana, Bu," jelasku selembut mungkin.
"Kalau suamimu yang dapat kerja, kamu sama Alina kan bisa tinggal di sini lagi," ujar Bapak.
"Ratih hanya tidak bisa merepotkan Bapak, apalagi Ibu. Saat ini hanya Mas Abi yang memiliki pemasukan. Kalau Ratih mendadak pindah ke sini lagi, nanti apa kata saudara-saudara yang lain, Pak. Ratih hanya mau mencoba hidup mandiri dengan keluarga kecil Ratih."
"Bapak percaya, kamu tidak seperti seseorang yang senang mengandalkan uang pensiun Bapak. Kamu pasti akan langsung mencari kerja bila tinggal sama Bapak. Bapak pun tidak akan kesepian, bila hari-hari Bapak ditemani oleh Alina."
Bapak masih tampak bersiteguh. Ia ingin aku kembali ke rumah ini, ketimbang ikut Abimanyu pindah ke Jakarta.
"Bapakmu benar, Ratih. Lagipula, Alina bukan anak yang rewel. Ya kan, Sayang?" ucap Ibu sambil menggoda Alina.
Setelah puas menggoda sang cucu, mata sayu Ibu kembali menatapku, "Kehidupan Jakarta itu keras, Nak. Jangan hanya membayangkan kesuksesan yang bisa kamu raih di Ibu Kota. Pertimbangkan pula, bagaimana lingkungan di sana. Ibu rasa, Surabaya masih menjadi pilihan terbaik untuk Alina tumbuh, Nak," tutur Ibu lembut.
Kugenggam tangan Ibu yang mulai kehilangan elastisitasnya. "Bu ... masa Alina harus tumbuh berjauhan sama Papanya? Bukankah lebih baik ia besar di lingkungan orang tua yang mencintainya?"
"Bapak Ibumu tidak akan membuat Alina merasa kurang kasih sayang," ucap Bapak.
"Ratih tahu, Pak. Ratih sangat tahu, betapa Bapak, Ibu, sangat mencintai anak Ratih. Tapi Ratih mohon Pak ... Bu ... ridai Ratih dan Mas Abi untuk menjalankan kehidupan rumah tangga di Jakarta. Tanpa doa, serta restu Bapak, Ibu, Ratih jelas merasa berat hati meninggalkan Bapak dan Ibu."
Ibu menghela napas panjang. Ia melerai genggaman tanganku, dan bangkit dari duduknya. Tanpa banyak berkata, Ibu meninggalkan kami, dan masuk ke kamar.
"Bu ..." rajukku pada sosok yang perlahan menghilang di balik pintu.
Sejak awal, aku tahu ini tidak akan mudah. Meminta izin keluar dari rumah ini saja harus satu minggu membujuk kedua orang tuaku. Walau saat kepindahan, baik Bapak, maupun Ibu, masih menyesalkan atas pilihanku dan Abimanyu. Kami keluar dari rumah setelah perdebatan besar terjadi. Selama meminta izin pada Bapak, Ibu, aku masih merasa perang dingin dengan pihak keluarga Mbak Trisna.
Kupijat batang hidungku. Rasanya masalah ini semakin membuat kepalaku berdenyut.
Ini seperti aku menorehkan luka lama di hati orang tuaku, saat luka itu belum sembuh. Kalau bisa pun, aku tidak ingin membuat mereka sedih, apalagi kecewa.
"Ratih ..." panggil Bapak dengan suara lembut.
Kutolehkan kepala, memandang Bapak yang menatapku lekat-lekat. "Iya, Pak?"
"Bapak sebenarnya tidak keberatan, kamu mau membangun rumah tanggamu di Jakarta, atau kota manapun. Hanya saja, hati Bapak merasa gelisah, Ratih," ucap Bapak. "Sejak Bapak harus melepasmu pada Abimanyu, hati Bapak belum pernah sekali pun merasa tenang. Bapak takut kamu tidak bahagia, mengingat apa saja yang kakak-kakakmu bicarakan mengenai sosok Abimanyu ini."
"Mas Abi hanya terlalu biasa hidup mandiri sejak kecil, Pak. Sementara Mas dan Mbak terlalu egois. Baik suami Ratih, atau kakak-kakak Ratih, mereka sama-sama memiliki kepribadian kuat dalam dirinya, Pak," jelasku. "Mas Abi hanya tidak terbiasa terlalu didikte, apalagi dikritik secara berlebih, Pak."
"Jika kamu sudah berkeras hati seperti itu, Bapak tidak bisa berkata lagi. Kamu juga sekarang sudah menjadi istri orang, tapi bila kamu merasa tidak bahagia dengan kehidupanmu di sana, jangan ragu untuk kembali, Ratih," tutur Bapak. "Ibumu memang tampak kecewa, tapi ia selalu menyebut namamu dalam doa. Bapak harap, kamu bahagia dengan semua pilihanmu, Nak," lanjut Bapak yang akhirnya bisa membuatku sedikit bernapas lega.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro