Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🐈‍⬛8. Sang Pahlawan🐈‍⬛

Sekar terdesak. Lelaki kurus itu merangkak mendekatinya. Dengan pandangan ngeri Sekar beringsut menjauh. Pantatnya diseret di atas tanah sementara kakinya menekuk berusaha menghindari lelaki mabuk itu menjamahnya.

"Mau kemana kamu, Cah Ayu?" Seringai miring kembali terlihat di wajahnya. Gigi kehitaman dengan bau napas yang busuk itu membuat Sekar bertambah jijik.

Nahas. Punggungnya tiba-tiba tertahan tembok tepat di sudut pagar batu merah. Sekar tidak bisa berkutik, sementara lelaki itu semakin mendekat. Gadis itu hanya bisa memejamkan mata dengan erat, sambil mulutnya komat kamit memanjatkan doa, agar sukmanya diterima di nirwana oleh Yang Kuasa.

Namun, apa yang ia bayangkan tidak terjadi. Kilatan terang tiba-tiba menembus kelopak matanya yang tipis. Detik berikutnya, pekikan kesakitan terdengar nyaring. Sekar membuka matanya perlahan. Kini, di depannya terjadi pertempuran yang sangat sengit.

Seorang lelaki kekar menghunuskan keris yang permukaannya bergelombang. Namun, lelaki kerempeng itu tidak mau kalah. Ia juga mengambil keris yang masih terselip di pinggangnya. Kedua keris itu saling beradu kekuatan. Masing-masing memancarkan sinar yang menyilaukan dan bertabrakan membentuk kembang api berbagai warna di kegelapan.

Mata Sekar membeliak. Mulutnya menganga takjub melihat setiap gerakan Narottama yang datang menyelamatkannya. Rambut yang berkibar karena gerakan bela dirinya terlihat apik di mata Sekar. Gerakan tangannya memainkan keris itu bagai gerakan tangan penari yang gemulai.

"Daebak! Ganteng banget Mas-nya ...."

Sekar tak bisa mengalihkan perhatiannya dari pergulatan sengit yang seharusnya mencekam itu. Rasa takutnya seperti terhapus. Gadis itu seperti disuguhi oleh pertunjukan pertarungan dua pemain ketoprak yang sedang bergulat dengan tambahan tata cahaya yang menakjubkan.

Namun, kenyataannya Narottama menghadapi lawan yang cukup kuat. Pasukan Wurawari yang menyerang Medang ternyata memiliki kesaktian yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Tak hanya orangnya yang sakti, keris yang terselip di pinggang mereka pun mempunyai aji-aji.

Lelaki kurus itu kini mampu berdiri di depan Narottama. Matanya merah menandakan nalarnya yang mengabur. Narottama menajamkan kewaspadaannya. Kakinya sudah memasang kuda-kuda.

Kedua lelaki itu sama-sama menggerakkan lengan untuk mengumpulkan tenaga dalam dan mengeluarkan jurus andalan. Mereka bergerak melingkar dengan jarak kira-kira tiga langkah kaki orang dewasa. Pandangan mereka bersirobok dengan sengit, sementara otak masing-masing menimbang kira-kira kapan mereka mengeluarkan jurus di waktu yang tepat.

Mata Narottama masih memicing. Otot di kakinya sudah menegang maksimal, bersiap untuk memberikan jurus Tapak Kaki Gajah Membelah Bukit Kembar. Lelaki itu berkonsentrasi sambil mengatur napas yang masuk dan keluar untuk mengolah udara meningkatkan tenaga dalamnya.

Begitu musuh bergerak mendekat, Narottama memperkirakan jarak yang pas agar tendangannya bisa menyasar ke tengah dada lawan. Gerakan itu mematikan. Tidak ada orang yang bisa bertahan melawan jurus yang diajarkan oleh Mpu Bharada.

Begitu lelaki itu berada dalam jarak dua langkah, kaki Narottama ditekuk, untuk melontarkan badannya ke udara. Dalam hitungan detik, telapak kaki kanan Narottama sudah mendarat di dada lelaki kerempeng itu.

Darah segar menyembur dari mulut musuh, bertepatan dengan tendangan mematikan dari Narotama ditarik. Mata lelaki itu membeliak. Ia mencengkeram dada yang terbakar membentuk tapak seperti kaki gajah. Setelah terbatuk, lelaki itu kini tumbang ke tanah dengan posisi tertelungkup.

Napas Narotama tersengal dengan masih memasang kuda-kuda. Ia menatap sekeliling, memastikan semua aman. Lelaki kekar yang lain juga telah dikalahkan oleh Cempluk yang memiliki kekuatan ekstra seperti Obelix walau tak punya kesaktian. Karena itu, ia sengaja dipilih sebagai emban sekaligus pelindung bagi putri raja Medang.

Cempluk datang menghampiri Narotama. Dada besarnya yang seperti tumpah karena sesak dililit kemben itu bergerak naik turun kehabisan udara. Geraknya lunglai, karena musuh yang ia lawan baru saja sangat tangguh.

"Mbok, sudah beritahu para dayang untuk menemui kita di tepi sungai?" tanya Narottama mengusap peluh yang menetes di dahinya. Ia sarungkan dahulu kerisnya, sebelum diselipkan ke pinggang.

"Sudah, Mpu. Saat mendapat laporan dari penjaga, saya sudah mengutus para dayang untuk mengambil perbekalan yang bisa dibawa," lapor Cempluk dengan napas tersengal. "Tomblok saya minta mengambil delapan kuda, sedang Gendon saya suruh untuk mengambil pakaian Baginda Pangeran dan Mpu."

Narottama mengangguk. Ia menoleh ke arah Sekar yang masih duduk di tanah bersandar di tembok. Lelaki itu tersenyum melihat penampakan Sekar yang berantakan. Rambutnya kusut masai terlepas dari gelungan. Hanya tersisa satu kamboja yang terselip di rambutnya. Riasannya pun sudah luntur bersama dengan keringat yang mengucur deras di wajah.

Narottama mengulurkan selembar kain persegi. Tangannya terjulur mengusap lembut wajah Sekar yang memandangnya tanpa berkedip.

Jantung Sekar berdetak dengan cepat. Napasnya terhenti saat matanya meraup wajah berahang tegas yang tampak gagah di mata gadis itu.

Narottama melirik Sekar yang terperangah memandangnya. Ia tersenyum. "Baginda Putri jangan melihat lelaki lain seperti itu. Baginda Putri sudah menjadi istri Pangeran Airlangga."

Mata bulat Sekar mengerjap. Pipinya bersemu merah. Beruntung saat itu gelap sehingga rona wajah Sekar tak bisa dilihat oleh Narottama.

Dalam hati Sekar menyesal. Kenapa ia terdampar dan diharuskan menikah dengan Airlangga? Padahal menurut garis keturunan, Airlangga adalah sepupunya sendiri. Melihat Narottama yang begitu lembut mengusap pipinya, Sekar teringat pada Naru, cinta pertamanya sewaktu SMA. Hanya wajah mereka yang mirip, tetapi beda sekali sikapnya.

Sekar berusaha mengatur napas untuk meredam debaran jantungnya. Ia khawatir detaknya akan terdengar oleh Narottama.

"Sekarang Baginda sudah cantik kembali."

Hati Sekar melumer mendengar pujian Narottama. Sangat jarang ada orang yang mengatakan dirinya cantik.

Lelaki itu lantas berdiri. Ia mengulurkan tangan ke depan wajah Sekar. Sekar menatap tangan kekar itu sambil menelan ludah kasar. Dengan tangan bergetar ia meraih tangan lelaki bergelar Rakyan Kanuruhan itu. Lengan kekar itu menariknya bangkit dari posisi duduk dan mereka kini berdiri berhadapan.

"Ayo, kita keluar dari tempat ini!"

Cempluk yang sibuk membersihkan hiasan kepala emas yang terjatuh saat Sekar dikejar musuh, bergegas mengikuti Narottama.

Tangan Narottama menggandeng erat Sekar. Gadis itu mendongak menatap pria berambut panjang. Di pucuk kepalanya terdapat gelung kecil yang masih rapi. Dalam keadaan terdesak seperti ini, Sekar masih sempat penasaran apakah tangan Narotama itu juga pandai menata rambut, atau ada penata rambut tersendiri.

Begitu sampai di tembok yang tertutup sulur, Narottama menghentikan langkah. Ia memandang ke sekeliling untuk memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. Begitu melihat kondisi aman, ia menyibak sulur dedaunan yang merambat menutupi lubang tembok yang sengaja dibuat untuk pelarian darurat.

Cempluk melalui lubang yang sangat pas dengan badannya. Tubuhnya sempat tertahan di celah itu, hingga Narottama terpaksa mendorongnya. Begitu Cempluk sudah berada di luar pagar, dan juga memastikan sisi yang lain aman, ia memberi tanda kepada Narottama dengan gerakan kepalanya, bahwa Sekar boleh keluar

"Ayo!"

Sekar menjawab titah Narottama dengan gerakan badan yang menunduk. Tubuh mungil itu melalui lengan kekar Narotama, masuk ke lubang rahasia. Jantungnya masih berderap antara kehabisan napas setelah berlari, didera rasa tegang dan diparah karena ia terpesona dengan lelaki matang yang kekar.

Narottama melalui celah itu terakhir. Ia merapikan kembali sulur tanaman, membuatnya seolah tidak ada jalan keluar di tembok itu. Sementara itu, Sekar masih tak berani buka suara. Ia hanya mengamati apa yang dilakukan oleh Cempluk dan Narotama.

"Baginda Putri, anda bisa berlari?" tanya Narottama kepada Sekar.

"Bisa."

"Pegang tangan hamba. Jangan lihat ke belakang. Baginda akan aman bersama hamba sebelum kita menemukan Pangeran Airlangga." Narottama tersenyum manis untuk menghilangkan gundah Sang Putri.

Namun, justru senyuman itu membuat kinerja jantungnya semakin tidak beraturan. Ia merutuki dirinya sendiri, kenapa bisa terpesona dengan wajah yang sama untuk kedua kalinya. Sekali lagi, Sekar menerima uluran tangan Narottama yang kini menggenggam tangan kanannya dengan erat. Sementara tangan kirinya mengangkat bebatan kain tenun yang menghalangi langkah lebar kakinya.

Genggaman tangan Narottama itu mengalirkan ketenangan. Walau di belakangnya sering terlihat kilatan cahaya di kegelapan malam dan terdengar pekik kesakitan manusia meregang nyawa, Sekar tak lagi takut karena ada sosok kuat yang melindunginya.

***

Ketiga orang itu berlari menyusuri jalan desa di kota Watan yang sudah porak poranda karena diluluh lantakkan pasukan musuh. Ibukota Kerajaan seperti kota mati. Tak tersisa lagi rakyat Medang karena semua sudah menjadi bangkai yang mengundang burung karnivora datang menyantap jasad mereka.

Kobaran api yang melahap gubuk-gubuk kayu membumbung tinggi menari-nari di kegelapan malam. Nyalanya menjadi penerang jalan bagi ketiga orang yang napasnya sudah tersengal karena terus berlari.

Dada Sekar kini hampir meledak karena kehabisan oksigen. Sudah satu jam tanpa henti ia berlari. "Naro, aku sudah tidak kuat!" Tenggorokan Sekar yang kering sangat susah menggetarkan kata.

"Sabar! Sebentar lagi!"

Cempluk ada di belakang. Saat berlari wanita itu akan tampak kepayahan. Kalau sudah seperti ini, ia ingin menjadi bola yang tinggal menggelinding. Namun, setidaknya ia lega saat melihat ke depan karena ada Narotama yang akan melindungi Sekar.

Sekar menguatkan diri. Ia hampir menangis karena nasibnya di masa lalu sangat tragis. Menurut yang ia pelajari, setelah penyerangan Wurawari itu, Airlangga melarikan diri ke arah Wonogiri. Itu artinya perjalanan mereka masih sangat jauh, karena kota Watan letaknya kira-kira berada di daerah Maospati, Magetan.

Sudah napas memburu dari keduanya beradu di kesunyian malam. Tak lama kemudian, samar-samar terdengar suara gemericik air. Sekar lega karena mereka hampir sampai di tepi sungai yang dibicarakan.

Narottama lalu memperlambat langkah. Sekar akhirnya bisa meraup udara sebanyak-banyaknya untuk mengurai sesak di dada saat mengetahui mereka sudah sampai di pinggir kali.

"Kita sudah sampai. Baginda bisa beristirahat sejenak." Narottama melepas gandengan yang sudah basah oleh keringatnya dan gadis itu.

Sekar berjalan sempoyongan. Tangannya menggapai batang pohon atau apapun untuk menjadi sandaran. Matanya kabur karena kemasukan peluh selama berlari. Gadis itu sudah kehabisan pasokan gula karena berlari selama satu jam lebih. Kini kepalanya berkunang-kunang dan saat ia akan jatuh, tangan kekar menyergapnya.

"Naro ...," gumam Sekar dalam ketidaksadarannya.

Namun, entah kenapa justru tangan yang menangkapnya tadi terlepas. Badan mungil itu terjatuh membentur tanah kerikil yang menyentak kesadarannya.

Sekar terpekik keras. Ia mengaduh sambil berusaha menegakkan separuh tubuh. Gadis itu mendongak. Matanya memicing ke arah sosok yang ia pikir adalah Narottama.

"Kanda!"

Seringai miring menyebalkan terukir di wajah lelaki itu. Mengingatkan Sekar tampang tengil Satria Erlangga.

💕Dee_ane💕💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro