🐈⬛6. Pernikahan🐈⬛
Wajib vote n komen. Biar happy othornya😆😍
Happy reading
Sekar mengerjap berulang, tidak mempercayai penglihatannya. Ingin sekali ia menggosok mata, tapi mengingat kelopaknya dipulas riasan, gadis itu hanya bisa mencengkeram paha. Sekuat tenaga Sekar menyembunyikan ekspresi campur aduk, karena takut ketahuan. Bisa jadi, tidak hanya para dayang yang akan mati, tetapi Sekar sendiri juga akan terancam nyawanya.
Kedua pengantin itu bersirobok, saling memindai detail wajah masing-masing. Lensa mata Sekar menangkap sosok Angga berusia 16 tahun, yang wajahnya terlihat tengil. Kilat jail di mata lelaki itu tidak lagi tampak, tapi parasnya bagai pinang dibelah dua dengan sosok Angga di masa depan. Sama persis!
Hanya saja, setelah diamati baik-baik, warna kulit mereka berbeda. Bila Angga remaja di masa depan berkulit kuning terang, Airlangga yang ada di hadapannya itu mempunyai pigmen yang lebih kecoklatan seperti Angga saat dewasa.
Lelaki remaja yang ada di hadapan Sekar menarik kedua alis. "Ada apa melihatku seperti itu?"
Mata Sekar melebar. Rahangnya tertarik gravitasi begitu mendengar suara yang sangat ia kenal. Suara itu terdengar sama dengan suara Angga yang pada usia 16 tahun mulai berubah lebih berat dan dalam. Sekar mengerutkan alis, menatap jakun menonjol seolah ingin memindai pita suara Airlangga.
Apakah memang ada seseorang dengan wajah dan suara yang mirip di dunia ini? Pikiran itu mulai menyusup di kepalanya.
"Aku tahu aku memang mempesona. Tidak usah terkejut seperti itu! Kudengar, kamu ingin lari dari pernikahan ini. Apa kamu bersyukur mendapati kenyataan bahwa calon suamimu serupawan ini?"
Sekar mendengkus, menarik bibir miring, memperlihatkan taring kiri yang tajam. Bibir merah Airlangga yang bentuknya juga sama dengan Angga, ternyata juga mempunyai kebiasaan sama-suka berkata hal yang aneh dan kadang pedas.
Memang Sekar akui, ia membayangkan sosok Airlangga seperti di dalam gambar buku sejarah dan salah satu situs di internet. Wajah garang berkumis tebal tak didapati Sekar. Mungkin karena Airlangga yang ada di depannya ini masih remaja, atau bisa jadi rekonstruksi wajah dalam buku sejarah itu ternyata tidak valid.
"Wah, aku tidak menyangka, Baginda Pangeran Kerajaan Bali adalah seseorang yang suka bermegah diri. Aku hanya tidak menyangka, Kakanda menyetujui usul Ayahanda hamba. Bukankah kita masih sepupu? Itu artinya kita masih kakak adik!" ujar Sekar yang masih heran dengan adat pernikahan dalam ikatan keluarga. Pantas saja ada penyakit kelainan darah yang sering diidap seseorang. Bisa jadi kalau dirunut ke belakang, nenek moyang mereka melakukan perkawinan keluarga. Membayangkan hal itu, Sekar bergidik geli.
"Entahlah, aku juga tak paham kenapa aku harus terjebak dalam pernikahan ini," jawab Airlangga.
Sekar menelengkan kepala. Alis yang mengerut itu semakin mencetak guratan yang lebih jelas. Bagaimana bisa seorang calon raja tersohor tidak paham bahwa pernikahan ini hanya pernikahan politik? Sepemahaman Sekar, agar Airlangga bisa bertahta, karena pewaris singgasana Kerajaan Bali adalah Anak Wungsu, maka Udayana menerima tawaran Dharmawangsa Teguh yang hanya memiliki seorang putri dari permaisurinya untuk menikahkan anak mereka. Motif Dharmawangsa Teguh sendiri karena ia ingin mempertahankan darah Wangsa Isyana mengalir pada keturunan mereka, mengingat Airlangga juga merupakan keturunan Wangsa Isyana dari pihak ibunya.
"Ck, Hamba tidak menyangka Kanda akan menjadi raja besar!" cibir Sekar, menggeleng prihatin. Bagi gadis itu, Airlangga yang ada di hadapannya ini seperti siswa tak berprestasi tetapi mempunyai masa depan cerah.
"Kamu akan terkejut, saat mendapati Airlangga akan mengukir sejarah di pulau ini Namanya akan diabadikan sepanjang masa."
Sekar ingin tertawa. Ia hanya melipat bibirnya ke dalam, tak ingin gelaknya menyembur. Bagaimana bisa raja besar itu ternyata mempunyai kebiasaan narsis? Ternyata narsistik sudah berlaku sejak berabad-abad silam. Hebatnya apa yang dikatakan dengan pongah itu benar-benar terwujud. Di Surabaya ada Universitas Negeri tersohor bernama Airlangga. Jalan di sekitar kampus bernama jalan Airlangga. Belum lagi nama itu juga sering dipakai untuk menamai seorang anak, seperti Satria Erlangga.
"Kamu boleh saja tertawa. Tapi lihat saja nanti. Kamu akan terpukau melihat kebesaran nama Air-langga!" tandasnya.
Sekar mengangkat sudut atas bibirnya. "Percaya ... percaya!"
Sungguh, nama yang berbau Angga selalu membuat Sekar kesal, seolah nama ini memang menggariskan sifat yang menjengkelkan. Sekar tidak habis pikir, bagaimana bisa ia selalu terjebak dengan nama Angga. Semua kesialannya selalu terpusat lagi pada nama Angga.
Otak Sekar kembali berputar merangkai banyak pertimbangan setelah pikiran-pikiran menyusup. Bagaimana bisa wajah, suara dan sifat itu begitu miripnya? Apakah Angga adalah wujud reinkarnasi dari Airlangga, sang raja Kahuripan.
Nalar Sekar langsung berontak. Bagaimana bisa raja yang bijaksana ber-reinkarnasi menjadi sosok tengil seperti Satria Erlangga?
Apa jangan-jangan dia memang Mas Angga? Alis Sekar berkerut memindai wajah Airlangga. Paras tirus itu berhidung mancung persis milik Angga. Mata sipit dan bibir merah itu juga tak ada beda dengan Angga sewaktu SMA kelas 1.
Apa aku harus bertanya, ya? Sekar menggigit bibir. Pergolakan batin begitu kuat merongrongnya. Tidak, tidak! Bisa-bisa aku dianggap gila! Gawat bila mereka tahu aku bukan Sekar Galuh asli. Bisa saja aku dibunuh.
Sekar menelan ludah kasar. Akalnya memancang lidah agar tak menggetarkan kalimat tanya sedikit pun. Hingga akhirnya Sekar berlogika bahwa mungkin saja ada wajah yang sama di dunia ini, apalagi mereka masuk dimensi dunia yang berbeda. Melihat tak ada yang menyadari perubahan Sekar, ia yakin pasti Sekar Galuh mempunyai wajah yang sama dengannya.
Percakapan dan rangkaian pikiran yang berkecamuk di otak Sekar itu terpenggal, saat seorang pandhita berdiri di depan mereka. Karena pernikahan dilaksanakan di kediaman mempelai perempuan, maka mereka tidak melalui tahapan pernikahan Hindu Bali sebagaimana mestinya. Setelah ritual ngekeb-yaitu perawatan pra nikah untuk mempelai wanita yang digelar pada awal rangkaian upacara-langsung dilanjutkan dengan prosesi Mengkala-kalaan atau Medengen-dengen.
Pendeta tua yang berjubah putih itu memandu serangkaian prosesi bertepatan dengan genta bergema. Airlangga diminta berdiri untuk memikul tegen-tegenan sementara Sekar juga diarahkan untuk membawa bakul. Keduanya berjalan berputar sebanyak tiga kali mengelilingi sanggar pesaksi, kemulan dan penegteg. Airlangga dan Sekar wajib menyentuhkan telapak kaki mereka pada kala sepetan.
Setelah upacara pertama, Airlangga diinstruksikan untuk membeli bakul yang dibawa oleh Sekar. Menurut seorang sesepuh wanita yang menjadi pendamping Sekar, ritual itu bertujuan agar saat hidup berumah tangga keduanya harus saling mengisi dan melengkapi.
Berikutnya, sebuah tikar anyaman pandan di berikan pada Sekar. Sekar disuruh membentangkan tikeh dadakan itu yang menjadi perlambang kekuatan Sang Hyang Prakerti atau kekuatan yoni. Sedang Airlangga dititahkan untuk menghunuskan keris sebagai perwujudan dari kekuatan Sang Hyang Purusa atau lingga.
Setelah ritual itu, Airlangga dan Sekar dibawa ke halaman depan balairung, menuju ke sebuah merajan atau sanggah. Tempat berdoa keluarga berdiri dengan kokoh di sebelah sebuah pura megah yang bernuansa Jawa kuno dan Bali.
Pada prosesi ini, Sekar dan Angga akan menanam kunyit, talas dan andong agar melanggengkan keturunan keluarga. Setelahnya, mereka memutus benang yang terentang pada cabang dadap sebagai analogi bahwa kedua mempelai siap menanggalkan masa remaja.
Begitu rangkaian acara di merajan selesai, dilanjutkan upacara Mewidhi Widana yang diadakan di pura depan balairung. Doa-doa terdengar ketika Sekar dan Angga menapakkan kaki di pura itu. Suasana di dalam tempat sembahyang itu pbegitu syahdu dan sakral, membuat kuduk Sekar meremang. Mereka diarahkan duduk bersimpuh. Sekar dan Angga hanya diam di tempat mereka, tidak tahu apa yang harus dilakukan.
"Baginda, silakan berdoa." Sekar mengernyit melihat pinisepuh berkemben biru itu.
"Berdoa apa?" desis Sekar.
"Silakan berdoa agar Baginda Pangeran dan Putri segera diberi keturunan. Setelah prosesi ini Baginda berdua telat resmi menjadi suami istri."
"Hah??" Serempak mereka menjawab dengan nada meninggi. Keduanya saling melempar pandang.
Bagaimana mungkin seorang anak berusia 14 tahun berdoa tentang keturunan? Ini memang di masa lalu, tapi tetap saja otak Sekar berontak. Di masa depan, saat Sekar berusia 14 tahun, ia masih bermanja-manja pada mama dan papanya. Bahkan gadis itu belum bisa membayangkan cara membuat anak walaupun sudah mendapat pelajaran Biologi dan edukasi seks remaja.
Namun, sekarang-di masa lalu-Sekar harus berdoa membuat keturunan. Membayangkan proses memproduksi anak dengan lelaki di sampingnya, membuat kuduk Sekar meremang. Ia membayang sosok yang berwajah dan bernama sama dengan Angga itu bertualang di tubuhnya, hingga kekuatan lingga lelaki itu mengoyak yoni yang selama ini Sekar jaga. Bagaimana mungkin ia datang ke masa lalu masih gadis dan pulang dalam keadaan tak suci lagi?
Bibir Sekar melengkung ke bawah. Rona wajahnya memudar begitu saja. Peluh tipis menetes di pelipis. Ia tak bisa mengucap permohonan itu di hadapan Dewata. Tak sadar, Sekar mencengkeram erat tenun khas Bali yang membalut tubuh tepat di depan inti tubuhnya, seolah ingin menyembunyikan kekuatan yoni yang bisa menyentil Sang Hyang Purusa. Sekar menggeleng. Ia tak rela lelaki itu mengambil kesuciannya. Gadis itu akan menyerahkan keperawanannya pada suami yang akan ia cintai sepenuh hati.
"Baginda, mari berdoa."
Sekar melirik Angga yang sudah pulih dari keterkejutannya. Sekar berpikir, mungkin lelaki itu hanya terkejut saking senangnya karena pada akhirnya bisa menuntaskan hasrat masa puber. Ya, apalagi kalau bukan itu, pikir Sekar. Bukankah teman lelaki Sekar sewaktu SMA tak jarang berotak kotor?
Sekar berdecak, menatap nanar sesaji yang tertata apik di altar pura. Aroma wewangian itu seperti menyesakkan dada Sekar. Sekar linglung. Ia tidak ingin berucap bohong di hadapan para Dewa atau ia akan berdosa.
"Baginda Putri?" Pinisepuh itu menyentuh punggung Sekar dengan lembut, menyadarkan lamunannya.
Sekali lagi Sekar menoleh ke arah Angga yang rupanya sudah menempelkan kedua telapak tangan dan mengangkat di atas kening. Bibirnya komat-kamit, entah apa yang didoakan. Sekar berpikir, mungkin lelaki itu ingin punya banyak anak, walau kenyataan dalam sejarah, Airlangga hanya akan mempunyai tiga anak saja. Dua anak dari rahim sang permaisuri dan satu anak dari rahim selir, seorang putri tawanan dari Kerajaan Sriwijaya.
Sekar mengembuskan napas pasrah. Ia pun mengikuti gerakan Airlangga dengan sekuntum kamboja yang ada di pucuk jari tengah. Ia memejamkan mata, memohon pada Yang Kuasa agar bisa kembali lagi ke masa depan.
"Sang Hyang Widhi, Pencipta, pemelihara dan penyeimbang alam semesta, aku mohon supaya aku bisa kembali lagi ke masa depan. Aku janji akan mengikuti kemauan Papa menikahi Mas Angga. Kumohon, kembalikan aku sebelum pernikahan ini berakhir dan aku akan betul-betul menjadi istri Airlangga yang tak kukenal. Karena bagiku pernikahan hanya sekali seumur hidup dan apa yang telah Kau berkati tak bisa lagi diceraikan manusia."
Sekar perlahan membuka kelopak mata kiri. Ia sangat berharap, begitu membuka mata, gadis itu kembali ke masa depan. Namun, netranya masih saja menangkap sesaji berisi bunga aneka warna yang berjejer, dan hidungnya pun masih menghidu aroma wangi uap dupa yang menguar di seluruh pura.
Sekar mendesah. Pasrah. Dia menoleh dan mendapati lelaki remaja berwajah tirus itu menatapnya tajam. Sungguh, Angga adalah pusat kesialannya. Kini, Sekar harus terbelenggu dengan sosok yang wajah dan namanya sama dengan lelaki yang ingin ia hindari.
Mata Sekar memerah. Bulir bening yang terbendung kini luruh membasahi pipinya.
Aku ... menjadi istri Airlangga?
💕Dee_ane💕
Ini nih Airlangga yang ganteng bersimbol Wisnu yang naik garuda.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro