Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🐈‍⬛5. Kembar??🐈‍⬛

Sekar mengerjap kala netranya disuguhi wajah berahang tegas dengan sedikit bulu halus yang memberi kesan maskulin yang mempesona. Ia seolah membeku ketika mereka bersirobok dan tubuh mungil Sekar direngkuh, menempel di dada telanjang yang berotot liat.

"Baginda, mau sampai kapan Baginda menempel hamba?" Suara serak yang menggetarkan gendang telinga Sekar itu membuat Sekar terkesiap. Ia mendorong tubuh kekar laki-laki itu.

Menggeleng berulang, Sekar merutuki diri karena perhatiannya terdistraksi di saat genting seperti ini. Namun, sisi lain hatinya mengatakan, tidak akan ada gadis yang tahan melihat pesona lelaki yang ada di depannya ini. Wajah tirus itu dibingkai oleh alis yang tebal dengan mata yang dalam, mencerminkan sorot yang bijak. Hidung mancung itu membuat wajahnya enak dipandang. Hanya saja bibir merahnya seolah hanya pajangan karena tidak ada lengkung senyum yang terukir.

Namun, ada satu yang aneh. Ia seperti pernah melihat wajah itu. "Naru?"

Lelaki itu tiba-tiba berjongkok dengan tumit dengan lutut kanan menumpu tanah. Badannya membungkuk. "Ampun, Baginda. Hamba adalah Rakryan Kanuruhan Mpu Dharmamurti Narottama Danasura. Seorang pengawal Baginda Pangeran Airlangga yang setia. Panggil saya Narottama."

Rahang Sekar tertarik oleh gravitasi bumi. Mulutnya menganga mendengar nama aneh yang sangat panjang. Tapi, ia menangkap inti ucapan lelaki itu-nama lelaki itu, Narottama. Seperti yang Sekar ketahui dalam sejarah, Narottama adalah salah satu pengawal setia Airlangga, sejak mereka hijrah ke Jawa.

Menyadari bahwa lelaki rupawan itu adalah salah satu ancaman, Sekar mulai ancang-ancang mengambil langkah seribu. Ia mundur selangkah, perlahan menarik jarik ke atas, dan berbalik. Tanpa mempedulikan lelaki yang belum beranjak dari posisinya, Sekar lari tunggang langgang menghindari penjaga yang terkantuk-kantuk di depan gerbang.

Mata Sekar hanya fokus ke depan, tidak menoleh ke kanan kiri, apalagi menengok ke belakang. Keriuhan di belakang setelah menyadari "baginda putri" mereka raib terdengar. Dengan langkah sepanjang dan secepat mungkin, Sekar memelesat, melawan embusan angin yang menerbangkan rambutnya. Jarik yang ia naikkan sampai paha, membebaskan kaki untuk bergerak lebih leluasa.

Teriakan para dayang menggema, menggegerkan seluruh kedaton. Sekar tak mengindahkan seruan itu. Ia hanya butuh berlari, menghindari pernikahan dengan seorang tokoh raja yang berjaya di masa lalu. Ia harus mencari cara agar bisa kembali ke masa depan.

Peluh membasahi tubuh Sekar. Rambutnya tak lagi basah oleh air tetapi juga keringat. Walau napas tersengal dan dadanya ingin meledak saking sesak, Sekar tetap memacu langkah. Ia berusaha menghindari kejaran orang-orang yang berlari di belakang.

Mata Sekar berbinar, melihat pagar utama terbuka. Dua penjaga yang ada di situ belum menyadari bahwa putrinya sedang dikejar-kejar para dayang. Beberapa langkah lagi ia akan keluar dari istana asing itu. Sekar mempercepat larinya, tak mengindahkan telapak kaki yang sedari tadi tertusuk kerikil tajam. Ia hanya ingin keluar dari tempat itu!

Namun, usaha Sekar sia-sia, saat ia merasakan tarikan di bahu kanannya. Tubuh mungil itu lagi-lagi terputar seperti gasing. Dalam gerakan cepat, ia sudah dibopong di atas pundak kekar seseorang. Saat nalarnya yang menguap karena terkejut mulai kembali ke kepala, Sekar baru menyadari ia digendong bagai sebuah karung beras.

Sekar meronta, tapi lengan yang memegang kedua tungkainya membuatnya tak berkutik. Lengannya memukul punggung berotot yang menggendongnya, sementara kakinya bergerak naik turun ingin bebas.

"Lepas! Lepas!"

"Ampun, Baginda. Atas perintah Paduka Raja saya diminta berjaga di puri peristirahatan Baginda, agar Baginda tak lagi melarikan diri!"

Kuduk Sekar merinding. Seingat Sekar, ia berlari saat Narottama masih dalam posisi berjongkok. Bagaimana bisa secepat itu Narottama menyusulnya. Bahkan tak ada tanda-tanda ia berkeringat dan terengah-engah karena berlari.

Walau segala upaya sudah dikerahkan untuk bebas dari kungkungan Narottama, nyatanya usahanya tak membuahkan hasil. Sekar hanya bisa pasrah berada di pundak lelaki asing itu. Raga yang gontai ketika asanya lenyap itu berayun-ayun seperti boneka mainan tak bernyawa.

"Matur nuwun, duh Rakyan Kanuruhan. Maafkan Hamba yang tidak bisa menjaga Baginda Putri dengan baik."

Narottama menurunkan Sekar, hingga telapak kakinya menapak kembali ke tanah. Wajah Sekar sudah kusut sekusut pikirannya karena gagal melarikan diri. Sekar tak membayangkan lelaki yang mempunyai wajah sama seperti Naru itu sangat kuat membopong dirinya.

"Baginda Putri, tolong jangan membuat jantung kami serasa ingin lepas. Bagaimana bisa Baginda melarikan diri melalui jendela. Demi Batari Durga ...." Mata Cempluk membeliak. Ia menurunkan tubuh besarnya memperbaiki jarik yang masih menguak betis Sekar. "bagaimana bisa seseorang putri melupakan sopan santun. Beruntung Rakyan Kanuruhan Narottama menemukan Baginda. Bagaimana kalau Baginda bertemu orang jahat?"

Cempluk menegakkan tubuh. Matanya kini memerah tak bisa lagi menyembunyikan kesedihan dan kecemasan. "Ampuni kami, Baginda. Kalau sampai pernikahan ini tidak terlaksana karena Baginda melarikan diri, bisa-bisa nyawa kami yang akan melayang."

Punggung Sekar melengkung. Ia memandangi para dayang yang kini sudah berbaris rapi, membungkuk di depannya. Sekar hanya bisa mengembuskan udara panjang. Bila ia nekad, berarti ia akan menjadi pembunuh orang-orang tak berdosa ini.

"Sudah! Bawa Baginda Putri ke kediamannya. Pastikan nanti malam Baginda sudah siap untuk mengikuti rangkaian upacara pernikahan. Mbok, saya titip Putri Sekar," titah Narottama.

"Ampuni kami, Rakyan Kanuruhan. Peristiwa ini ... hamba mohon jangan sampai terdengar oleh Paduka Raja, atau kami akan mendapat cambukan lagi." Cempluk memberikan ekspresi mengiba. Ia menyeka kembali air mata yang meleleh dengan sapu tangannya.

Melihat Narottama yang memberi anggukan, Cempluk menarik lebar kedua sudut bibirnya. Ia memerintahkan penjaga untuk memperketat penjagaan agar kejadian serupa tak terjadi lagi. Sekar kini hanya bisa pasrah seperti domba yang hendak dibawa ke pembantaian.

***

Sekar benar-benar tak ada pilihan. Kalau ia ingin mencoba melarikan diri lagi, itu artinya ia akan menjadi pembunuh belasan orang yang menjadi dayang serta penjaga di puri kediamannya. Ia tidak sampai hati. Namun, di sisi lain ia tidak ingin terjebak dalam pernikahan yang tidak dikehendakinya. Di masa lalu pula!

Sekar tak habis pikir, kenapa ia tetap saja terjebak dengan pernikahan yang dipaksakan. Kalau di masa depan, ia hendak dijodohkan dengan Angga, sekarang ia harus menjadi mempelai perempuan bagi Airlangga. Lagi-lagi Sekar mendesah. Hatinya berontak karena nama "Angga" selalu menghantui dan menjadi kesialan baginya.

Sungguh, Sekar ingin mencabik-cabik Angga karena membuat hidupnya semakin merana. Meremas kain jarik di pahanya, rahang Sekar merapat. Dahinya membentuk guratan dendam, dengan bibir yang semakin menipis menahan sumpah serapah yang ditujukan pada lelaki yang bernama Satria Erlangga. Sekar berjanji dalam hati, ia tidak akan melepaskan Angga begitu saja bila ia bisa kembali ke masa depan.

Kembali ke masa depan? Bahkan Sekar tak tahu caranya agar bisa pulang. Ia seperti terjebak dalam labirin yang tak berujung dan merupakan puncak kesialan yang disebabkan oleh Angga.

Sayangnya, kesialan itu tetap harus Sekar jalani. Ia hanya bisa duduk saat para dayang memoles wajahnya. Serangkaian tempat keramik yang berisi beraneka warna cantik ditata di atas meja di depan cermin buram. Sekar menduga bahwa make up yang sekarang diaplikasikan di paras tirusnya mempunyai komposisi yang alami karena terbuat tanpa bahan kimia.

Sebuah kuas dari bulu kuda yang sangat lembut kini digunakan untuk memulas kelopak matanya dengan warna natural. Warna kuning keemasan dari kunyit diaplikasikan pada bagian dalam kelopak mata, sedangkan warna cokelat dari bubuk cokelat dipulaskan pada sudut terluar mata untuk memberikan kontur tegas pada mata.

Pipi Sekar pun dipoles blush on merah muda yang katanya terbuat dari buah bit ditambah tepung garut dengan komposisi yang lebih banyak agar menghasilkan warna merah yang tidak terlalu pekat. Alis Sekar pun dirapikan dan dibentuk dengan bubuk arang aktif sehingga kini terlihat lebih rapi membingkai wajah.

Sejak awal mula Sekar dirias, pertanyaan bertubi terlontar dari mulutnya seperti anak kecil. Semuanya baru bagi Sekar, seolah ia terlahir kembali dan menjadi seorang balita. Setiap jawaban, disambut oleh anggukan Sekar.

Tak hanya riasan wajah, rambut Sekar juga ditata dengan sebuah hiasan rambut layaknya seorang penari Bali. Hiasan rambut itu berwarna emas, dan Sekar yakin memang terbuat dari emas asli.

"Mbok, kenapa aku didandani seperti orang Bali?" tanya Sekar.

"Karena Pangeran Airlangga dari Bali. Walau beliau mempunyai darah wangsa Isyana yang mengalir dari ibunda Paduka Ratu Mahendradatta, beliau tetaplah seorang pangeran kerajaan Bali yang tersohor. Oleh karena itu, pernikahan ini akan dilaksanakan dalam adat Bali," terang Cempluk, disambut anggukan Sekar.

Selama dua jam lebih, akhirnya Sekar menjelma menjadi seorang putri bangsawan yang sangat anggun. Kain berwarna putih dengan sentuhan warna emas membebat tubuh sebatas dada. Seharusnya saat ia mengenakan busana pengantin tradisional seperti ini, hatinya ikut berbahagia. Tak dipungkiri, Sekar yang berusia 24 tahun di masa depan, kadang mempunyai kegundahan tentang siapa pendamping hidupnya. Namun, ia memang belum menemukan seseorang yang tepat, sejak ia mengunci hatinya. Sekar takut jatuh cinta, dan patah hati. Pendapat umum bahwa wanita cantik harus berkulit putih, menjadikan Sekar merasa bukan menjadi pilihan para lelaki yang sering kali hanya melihat kecantikan fisik daripada inner beauty.

Ketika Sekar keluar dari balik papan kayu ukiran yang menjadi sekat saat berpakaian, mata Cempluk melebar. Ia berdecak kagum, melihat Sekar yang bertransformasi menjadi seorang pengantin wanita yang anggun.

"Cantik sekali! Hamba sampai pangling dengan Baginda Putri."

Mata wanita itu kembali berkaca-kaca. Cempluk sungguh tak menyangka, bayi mungil yang dirawatnya itu menjadi seorang gadis yang akan menikah. Cempluk memasangkan perhiasan di tubuh Sekar, mulai dari anting, kalung, gelang di lengan atas, dan gelang di pergelangan tangan sang putri raja

"Sekarang, sudah lengkap." Cempluk menatap takjub tuan putrinya. "Mari, Baginda Putri. Saya antar Baginda ke balairung. Semua orang sudah menunggu Baginda Putri."

Sekar tak tahu harus berkata apa. Ia hanya diam, sesekali mengangguk. Otot wajahnya tegang, tidak bisa mengurai senyuman. Apalagi saat itu diantar ke sebuah tempat yang kini sudah dipenuhi oleh tamu untuk ikut memberikan restu pada pernikahan putra dan putri dua raja.

Langkah Sekar terasa berat saat menapak di atas tanah. Hiasan kepalanya seperti beban berkilo-kilo, membuat jalannya terseok. Saat ia memasuki balairung itu, semua mata memandang. Ia seperti seorang pemain ketoprak. Kostum yang biasa ia lihat di pagelaran sandiwara tradisional itu memang menjadi trend busana pada zamannya--kemben, dan para lelakinya hanya seperti memakai rompi minimalis.

Suasana balairung begitu meriah. Hiasan janur kuning melengkung melambai seolah menari menyambut kedatangan mempelai. Seorang pandhita dengan jubah putih dan berjenggot putih menjuntai di depan dada, menunggu mempelai wanita memasuki balairung untuk meresmikan ikatan pernikahan putri kerajaan Medang dengan seorang pangeran dari Bali. Doa-doa dengan bahasa yang tidak dimengerti Sekar berlomba menyusup liang pendengaran.

Pandangan Sekar mengedar ke segala penjuru ruang. Aneka sesaji sudah dipajang di altar persembahan. Aroma dupa dan wewangian menyeruak di seluruh balairung, menambah kesan sakral upacara yang akan digelar.

Kaki Sekar bagai memijak lumpur hisap. Jarak yang pendek terasa sangat berliku. Pandangan Sekar kabur, karena fokusnya teralihkan pada kekalutan yang bertebaran di kepala. Jantungnya bergemuruh, karena tiba-tiba ia harus menghadapi pernikahan sakral. Baginya pernikahan yang sudah diberkati tidak bisa diceraikan begitu saja oleh manusia. Lantas bagaimana nasibnya kelak?

Seperti ondel-ondel Betawi, Sekar diarak paksa oleh para dayang dan para sesepuh yang tak seorang pun ia kenal. Sekar duduk menyebelahi seorang lelaki yang Sekar tahu usianya tak jauh beda dari dirinya. Sekar hanya bisa menunduk, tak berani memandang sang pengantin pria.

Hingga akhirnya, ritual upacara adat pun dimulai. Doa-doa dipanjatkan dan sesudahnya, mempelai saling berhadapan. Namun. Betapa terkejutnya Sekar saat wajahnya mendongak menatap sang pengantin pria. Wajah lelaki itu sangat dikenalnya.

Wajah itu adalah wajah Satria Erlangga berusia 16 tahun!

💕Dee_ane💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro