🐈⬛40. Si Tengil🐈⬛
"Sekar? Sekar kembali? Atau dia Sekar Galuh yang asli?"
Mata Angga membeliak lebar kala otaknya sudah mengingat kembali apa yang terjadi. Namun, ia tidak mempercayai ingatannya yang berkelebatan di kepala.
Bagaimana bisa Angga berpikir dia dan Sekar terdepak ke masa lalu, kemudian menjadi tumbal keselamatan Airlangga dan permaisurinya?
Angga menggeleng saat nalarnya menepis apa yang dia ingat. Rasanya semua tidak masuk akal! Bahkan kini Angga berpikir Sekar bukanlah Sekar, karena kalau Sekar terluka dan tertinggal di masa lalu, berarti yang di tubuh Sekar sekarang adalah sang permaisuri Kahuripan.
Tangan Angga kini mencengkeram rambut hingga helaiannya mencuat dari sela jari. Dia tertawa tak jelas merasa otaknya kacau karena menganggap apa yang muncul di kepalanya seolah nyata.
Medang, Mahapralaya, pelarian, pertapaan, hingga terbentuknya Kahuripan, semuanya seolah telah dialami Angga.
Gila! Ini gila! Kenapa semua terasa nyata??
Angga meringis dengan rahang mengerat saat mengingat ia berciuman dengan Sekar di padang. Dengan bertelanjang dada sementara Sekar menggunakan kemben berbalut mantel sutra.
Bayangan pertengkarannya dengan laki-laki berjubah putih juga muncul di otak seolah menayangkan sebuah film kolosal silat seperti Saur Sepuh.
Di sela menahan rasa nyeri seluruh kepala, tawa Angga menguar semakin keras. Ia merasa nalarnya oleng akibat kecelakaan itu.
"Aku gila! Pasti otakku sudah konslet!" gumam Angga.
Namun, sekuat tenaga Angga bertahan, rasa sakit yang begitu menusuk di kepala tak dapat lagi ditolerir. Raga kekar itu pun rubuh.
***
Angga membuka mata, dan mendapati raganya berbaring di ranjang dengan harum feminin yang dominan. Saat menggerakkan tubuhnya perlahan, ia menyadari bahwa dengan kancing kemejanya terlepas, ikat pinggang mengendur, dan celana jeans dengan kancing terbuka.
"Mas Angga, Mas!" Suara perempuan menyeruak masuk ke liang pendengaran Angga. "Mas Angga sudah siuman?
Sambil mengerang lirih, Angga berusaha meraup kesadarannya. Ia mengerjap berulang, lalu mendapati bayangan kabur wajah tirus gadis yang memandanginya, tertangkap oleh penglihatan
"Mas, Mas dengar aku?"
Walau masih samar, raut panik gadis itu masih bisa tertangkap mata Angga.
"Sekar? Sekar Galuh?" kata Angga terbata.
"Iya. Aku Sekar!" Sekar mengangguk berulang. "Ma—"
Angga mencengkeram lengan atas Sekar. Gadis itu pun menoleh dengan kernyitan alis.
"Mas, kenapa? Ada yang sakit?"
Angga memicing tajam. "Siapa kamu?"
Kerutan di pangkal hidung Sekar semakin jelas terukir. Ia lalu menjawab, "Aku Sekar, Mas. Sekar Galuh."
Angga menggeleng berulang. Tak bisa membedakan mana yang nyata dan maya. "Sekar Galuh ada di Kahuripan! Kamu … kamu Putri Medang yang asli, kan?"
Ah, Angga pasti sudah gila menanyai hal itu! Bagaimana kalau semua hanya khayalannya? Namun, ia yakin apa yang terjadi semua seolah nyata.
Air mata Sekar perlahan memerah. Kala mengerjap, buliran bening itu menetes di pipi Angga yang pucat. "Aku Sekar Galuh, Mas!"
Angga masih sangsi. "Kamu Sekar Galuh? Anak Om Dharma? Bukan Putri Medang?"
"Aku … aku Sekar Galuh! Anak Papa Dharma dan Mama Laksmi! Aku pulang, Mas!" Sekar sesenggukan menangkup pipi Angga dengan kedua tangannya.
Angga mengerjap. Ia meraup tangan mungil di pipi, dan berusaha menegakkan tubuhnya. Seketika Sekar segera membantunya.
"Pulang?" Otak Angga mengernyit. Otaknya kusut, susah mencari ujung pangkal untuk mengurai kenangan yang campur aduk. Bahkan ia sendiri tak tahu mana yang nyata dan mana yang hanya khayalannya.
“Iya, aku pulang, Mas! Aku menunggu Mas datang sendiri untuk mematahkan kutukan itu!” Sekar menarik tangan besar Angga dan menciuminya.
“Kutukan?” Sekarang tak hanya kepala yang seperti ditusuk-tusuk, dadanya kini juga terasa tercabik-cabik.
Sekar mengangguk berulang. “Kita … kita berpetualang bersama di Medang dan membangun Kahuripan!”
“Jadi, apa yang aku ingat bukan khayalanku saja?”
Sekar menggeleng. "Jiwa kita berdua terjebak di Medang. Sebagai tumbal."
“Berarti kamu … kamu dipulangkan Narotama?” tanya Angga dengan kedua alis terangkat. Ada perasaan lega bahwa apa yang diingatnya sungguh terjadi walau di luar nalar.
Sekar menggeleng lagi. "Empu Bharada yang memulangkanku setelah setahun aku dirawat di Lemah Citra. Oleh karena itu, aku baru siuman sehari sesudahnya. Sedang Narotama harus bertapa di Gunung Penanggungan bersama Airlangga asli. "
“Tapi, kenapa aku bisa melupakan kamu?” tanya Angga masih tak percaya dengan apa yang ia alami.
“Narotama yang mengutuk. Dia menghapus ingatan Mas agar Mas melupakan aku. Bila Mas mendengar namaku, dada Mas akan nyeri seperti terbakar,” terang Sekar sambil mengelus pipi tirus Angga. “Kutukan itu hanya bisa dipatahkan bila Mas Angga mendatangiku.”
Sekar menunduk, menyembunyikan mata yang kini sudah dibanjiri bulir bening. Bahunya semakin bergetar karena perasaan yang campur aduk.
“Kupikir, Mas Angga tak akan datang. Kupikir aku akan benar-benar dilupakan.” Suara Sekar terdengar sengau.
“Kenapa kamu bisa berpikir begitu?” tanya Angga dengan kernyitan alis.
“Karena kupikir Mas benar-benar melupakanku. Sejak Mas pindah, Mas nggak pernah ikut kalau Om dan Tante ke Solo.”
Angga menggeleng lalu menarik tubuh langsing itu ke dalam pelukannya. “Itu dulu. Kamu dulu juga nggak mengharap kedatanganku kan? Tapo sekarang, gimana aku bisa ngelupain kamu. Memang sewaktu namamu pertama disebut, dadaku terasa nyeri, sehingga Mami dan Papi jarang menyebutmu. Hanya saja, tiap malam aku selalu dihinggapi mimpi seorang gadis yang menantiku.”
Sekar mengelus dada bidang Angga. “Apa sakit sekali bila mengingatku?”
“Sakit. Tiba-tiba ada rasa sedih seperti patah hati karena kehilangan, setiap denger namamum Semakin aku pengin ingat kamu, semakin rasa nyeri muncul. Tapi, entah kenapa aku justru penasaran kenapa dadaku terasa nyeri tiap ingat kamu. Aku jadi pengin tahu, siapa kamu sebenarnya dan ada apa di antara kita ….”
Sekar memejamkan mata, menghirup aroma feromon yang khas. Otaknya seolah mengenal wangi maskulin yang selalu ia rindukan beberapa malam ini. “Awalnya aku pikir, aku sudah gila. Jiwa kita terjebak di masa lalu dan membuat hati kita bersatu. Aneh, tapi perasaaan itu nyata. Waktu satu hari di masa depan sama dengan satu tahun di masa lalu."
Angga mendorong tubuh Sekar. Memandangi wajah ayu itu. “Jadi, aku nggak gila, kan? Ingatanku itu benar terjadi?”
Sekar mengangguk. “Mungkin kita berdua yang gila. Dan aku semakin gila karena aku mau dipeluk Mas Angga ….”
Seketika mata Angga menyipit saat senyum lebar terurai. “Ah, iya! Sekar Galuh yang aku kenal selalu membenciku dan galaknya kayak macam kelaparan, kan? Sekarang malah jadi kucing manja yang menggemaskan.”
Sekar mengulum senyum dengan semburat pipi yang memerah. Ekspresi itu menyejukkan dada Angga yang terasa panas, hingga perlahan-lahan memudar. Ya, Angga ingat raut muka yang selalu berhasil membuat dadanya seolah meloncat dari rongga dada.
Angga membelai pipi Sekar lembut, dengan sorot mata haru. “Sekar, iya, ini Sekar Galuh yang suka nangis kalau aku godain dikit.”
Tangan besar Angga kini sudah menggenggam tangan Sekar yang sempat ia lupakan. “Aku nggak nyangka bisa genggam tanganmu lagi. Sekuat apapun kutukan Narotama yang berusaha menghapusmu dari otakku, pasti akan gagal karena namamu sudah terpatri di hati.”
“Tapi kenapa Mas Angga selama ini jahat banget sama aku. Suka ngatain aku. Trus pas aku ditolak Naru kaya seneng banget.” Air mata Sekar tetap meleleh tiada henti.
Angga tersenyum. “Naru itu … playboy. Aku udah wanti-wanti dia biar jauhin kamu, eh, kamu malah nembak. Aku dulu mau bilang, kamu nggak pantes buat Naru, karena kamu berhak mendapat yang lebih baik dari dia.”
“Siapa?”
“Aku!” Alis Angga naik turun dengan senyuman tengil di wajah pucatnya.
***
Pagi harinya, Sekar sengaja bangun lebih pagi untuk membantu Laksmi memasak sarapan bagi tamu mereka. Saat ia keluar dari kamar, suara riuh sudah terdengar dari dapur.
"Ma, Tante!" sapa Sekar yamg berdiri di akbang pintu dapur, sambil mengikat rambutnya membentuk cepolan di atas kepala.
"Enak ya punya anak perawan, ada yang bantuin masak." Mahira tersenyum sambil tangannya masih sibuk mengupas kentang.
Sekar tersipu. Dia lalu mengambil pisau lalu ikut mengupas wortel.
"Biasanya Sekar bangunnya molor. Kalau nggak diteriakin dia masih mlungker di bawah selimut," timpal Laksmi seraya memotong bawang. "Ya, mungkin Sekar malu aja di depan calon suaminya kalau bangun molor. Bisa-bisa Angga ntar kabur."
"Ih, Mama kok gitu sih?" Mulut Sekar kini sudah maju beberapa centimeter.
Laksmi dan Mahira terkekeh, mendapati reaksi Sekar.
"Lagian kamu nggak nikah-nikah! Pas dijodohin, pakai acara nolak. Habis itu pas Mas Angga amnesia, kamu nangis-nangis—"
"Kapan, Ma?" Ada nada tak terima di seruannya.
"Sewaktu kamu tidur, kamu mesti nangis, kadang malah ngigau nama Mas Angga," ujar Laksmi.
"Bener, Tante?" Suara Angga tiba-tiba menyeruak di dapur. Matanya berbinar lebar.
"Tanya aja sama Om Dharma."
Wajah Sekar memerah. Dia merutuk dalam hati, karena bisa-bisanya sang mama membeberkan hal yang membuat citranya jatuh. Ah, dia seperti remaja bucin saja! Apalagi melihat senyuman jail Angga, Sekar rasanya ingin bersembunyi di bawah kolong.
***
Sekar pikir, hari ini Sekar bisa melewatkan waktu bersama Angga sebelum mereka pulang. Namun, selepas sarapan, Angga tampak buru-buru meminjam motornya.
"Mau ke mana, Mas?" tanya Sekar seraya mengulurkan kunci motor berbandul kucing.
Angga bergidik melihat gantungan kunci itu karrna teringat Cemeng, tapi ia tetap mengambil alih benda itu. "Mumpung di Solo, mau mampir ke tempat temen."
Wajah Sekar seketika mengerut. Dia ingin menahan tapi rasa canggung. Siapa dia? Di masa ini, Sekar bukan istri Angga.
Namun, sebuah kesadaran menyibak nalarnya. Apalagi istri, pacar saja bukan! Sekar akhirnya hanya melongo. Ia bukan siapa-siapa bagi Angga sekarang. Begitu jiwa mereka kembali ke masa depan, Angga tak lain hanya teman kecilnya saja, karena lelaki itu tak mengatakan apapun sejak ingatannya pulih.
Lantas, apa statusnya sekarang? Pacar bukan, istri pun apalagi bukan. Masa iya, dia menahan Angga pergi?
Namun, Sekar tetap membuntuti Angga sampai di depan. Saat lelaki itu mengenakan helm, gerakan tangannya terhenti. Alisnya terangkat.
"Kayanya kamu mau ngomong sesuatu, Sekar? Mukamu kaya orang kebelet boker."
Rahang Sekar sontak saling beroklusi erat. Bibirnya ditarik paksa walau otot pipinya berontak. Sungguh, Satria Erlangga memang selalu menyebalkan!
"Nggak! Mau bilang ati-ati di jalan," sahut Sekar seraya meremas kain di samping roknya.
"Oke!" Angga mengukir senyum tanpa rasa bersalah dan pergi meninggalkan Sekar yang termangu di tempatnya.
Cowok itu yang mau dijodohin sama aku? Sepertinya aku harus kulakan sabar dulu.
***
Seharusnya Angga tahu bahwa sore nanti, keluarga Udayana akan pulang ke Denpasar via Bandara Kulonprogo. Berarti paling tidak, mereka akan berangkat dari Solo, pada pukul dua siang agar bisa tempat waktu sampai di bandara.
Namun, sudah hampir makan siang tiba, Angga tak kunjung datang. Saat Sekar menyiapkan makan siang untuk para sesepuh, tiba-tiba ponsel barunya berbunyi.
Sekar sengaja memberikan notifikasi khusus untuk panggilan dari nomor kontak Angga. Takut terjadi sesuatu, dia pun lalu menggeser tanda menerima panggilan di permukaan layar gawai.
"Mas, ke mana sih? Ditunggu makan siang nih!" Belum apa-apa Sekar sudah mengomel.
"Sekar? Kamu bisa ke sini? Aku kasih shareloc–nya ya? Kamu naik taksi online aja."
Sekar mengernyit. Dia menarik gawai yang menempel di daun telinganya lalu menatap layar gawainya.
Namun, saat mau menanyai Angga lagi, yang ia dengar hanyalah suara panggilan terputus. Sekar mencoba menghubungi Angga, tapi tak bisa tersambung.
"Ish, nyebelin banget!" Walau merutuk tetap saja Sekar pamit keluar dengan alasan menjemput Angga.
Dengan pakaian seadanya, dia menghampiri Angga yang menunggu di depan sebuah kafe sesuai dengan lokasi yang dia bagikan.
Begitu turun dari taksi online, ia segera menghampiri Angga yang duduk di atas motornya.
"Mas!" panggil Sekar seraya melangkah cepat.
Angga bangkit berdiri lalu tersenyum. "Udah datang?"
"Kenapa? Mogok motornya? Tadi nelepon tapi malah mati. Bikin khawatir aja!" cerocos Sekar.
"Sori, bateraiku low. Tiba-tiba mati aja. Yuk!" Angga meraih pergelangan tangannya lalu menarik badan mungilnya.
"Mau ke mana?" Sekar tersentak karena tarikan Angga, tapi ia hanya bisa mengikutinya saja.
"Ehm, kencan sama Istri Masa Laluku!" Angga melempar senyum.
Sungguh, senyuman itu membuat lutut Sekar serasa seperti jeli. Senyuman Angga yang tengil itu kini sudah menghipnotisnya.
Begitu mereka duduk, seorang waitress datang memberikan buku menu. Karena cuaca yang terik, Sekar memesan es buah dengan banyak es di dalamnya dan sebuah steak tenderloin kesukaannya.
Setelah pelayan kafe itu pergi, Sekar duduk dengan bergerak ke kanan dan ke kiri. Pandangan tajam Angga itu seolah menelanjanginya dan membuat Sekar canggung.
"Kamu kena wasir, Sekar?"
Sekar berdecak. Sepertinya ia harus terbiasa dengan omongan absurd calon dokter Anestesi itu. "Mas Angga ini loh! Bisa nggak serius dikit! Lagian kenapa nggak bilang mau makan bareng?" Sekar menggigit sudut bibir kirinya sambil menyibak anak rambutnya ke belakang telinga kanan. "Tahu gitu kan aku dandan dikit."
Detik berikutnya, tawa Angga menyembur. "Udah cantik, kok. Kalau nggak cantik aku nggak bakal suka sama kamu dari aku anak-anak sampai siap mau bikin anak!"
Mata Sekar melotot. Bola matanya bergulir ke kanan dan ke kiri karena ucapan aneh Angga. Namun, pipinya memerah. Kalau dulu godaan Angga membuat wajahnya merah karena marah, tapi kini karena malu.
"Apaan sih?"
Angga melipat bibir ketika seorang waitress membawakan pesanannya. Sekar bahkan tak berani melirik lelaki yang masih memandanginya dengan intens.
Begitu es buah tersaji di hadapan, Sekar segera meraih sendok lalu melahapnya untuk meredakan wajah yang panas. Namun, saat sendokan kedua, ia menangkap sesuatu yang berkilau. Bukan buah anggur atau kiwi.
Alis Sekar mengerut, lantas mengambil logam lingkaran dengan bentukan bunga bakung di salah sisi dan berhiaskan batu berlian. "Ini, kok—?"
Otak Sekar belum bisa mencerna saat mengambil cincin itu dengan tangan kirinya. Dibolak-balik perhiasan itu untuk melihat nama yang tertera di dalam, karena ia takut pesanannya tertukar.
"Se-kar?"
Seketika Angga meraih tangan kiri Sekar dan mengambil cincin itu. "Would you marry me, Sekar?"
Rahang Sekar tertarik gravitasi begitu mendengar kalimat yang terlontar dari bibir Angga. Lidahnya tiba-tiba kaku tak bisa menjawab.
Angga melirik Sekar sembari tersenyum miring. Ia kini menyematkan cincin itu di jari manis Sekar. "Cantik …"
Sekar tersipu. Jantungnya bergemuruh kencang. Dia menggigit bibir bawah menahan gemuruh rasa bahagia.
"cincinnya ..." tambah Angga.
Sontak Sekar melongo. Matanya mengerjap dan refleks ia ingin menarik tangannya. Namun, Angga terkekeh sembari menahan tangan mungil itu, dan memandang wajah Sekar yang memberengut.
"kalau tersemat di jari lentikmu." Angga kemudian mengecup buku jari Sekar.
Hati Sekar seketika menghangat, kala mendengar kata-kata terakhir Angga. Matanya perlahan berkaca. Walau berada di kafe sederhana, dengan pakaian sederhana, lamaran itu begitu sempurna.
"Nyebelin! Selalu bikin aku nangis!" Sekar menarik tisu dari atas nakas.
"Gimana Sekar, kamu mau menjadi tulung rusukku yang hilang?" tanya Angga dengan nada yang dalam.
Sekar tak bisa menyembunyikan isakannya. Bahunya kini naik turun. Ia mengangguk.
"Gimana, mau?"
"Aku udah jawab." Sekar mengusap matanya yang tak kunjung kering.
"Mana?" Satu alis Angga terangkat.
Sekar menghela napas panjang. Ya, berhadapan dengan Angga harus selalu kuat menghadapi godaan receh yang kadang begitu manis.
"Mau …," jawab Sekar lirih.
"Apa?" Angga menelengkan kepala dan menghadapkan telinga ke depan seolah invin meraup suara Sekar dengan jelas.
"Ih, budeg banget sih!" Sekar tersipu malu.
"Lha kan aku nggak denger bener," kilah Angga dengan bibir mencebik.
"Iya! Aku mau! Mau jadi istri Satria Airlangga yang tengil tapi pinter. Yang jail tapi sayang banget sama aku. Yang gan—"
Seketika Angga mengangkat tubuh dan menjulurkan separuh badannya melampaui meja untuk mendaratkan bibirnya di bibir menggemaskan Sekar yang hobi mencap-mencap.
Mata Sekar membola. Bisa-bisanya ia dicium di pojokan kafe!
Namun, belum selesai Sekar dari keterkejutannya, suara lirih mengalun merdu menghangatkan kalbu. "Walau seribu tahun kulalui, namamu akan selalu terpatri di sanubari. Tiang tresna ajak ragane (Aku cinta kamu)."
"Aku uga tresna marang sliramu (Aku juga cinta kamu)."
The end
💕Dee_ane💕
Finally, cerita ini selesai juga. Nggak nyangka bisa nulis hisfic berbumbu roman fantasy. Semoga bisa menghibur ya. Silakan dm bila ada krisar. Buat yang ngikutin baca ini, silakan kasih kesannya, dong.
Apalah arti seorang author tanpa reader setianya. Makasih ya, buat vote n komen2nya. Habis ini silakan mampir ke Peony dan minggu depan, hari kita akan ditemani Gandhes, Elang, n Lingga. Pastikan baca pas on going yak😍
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro