🐈⬛38. Kembali ke Masa Depan🐈⬛
Seketika Angga tersentak. Matanya terbuka lebar tapi pandangannya masih mengabur. Suara riuh alat pendeteksi tanda vital menabuh gendang telinganya. Sementara itu, bau obat-obat dan antiseptik khas rumah sakit menyusup samar di penciuman.
"Angga, Angga! Kamu selamat!" Suara berat itu kini masuk ke liang pendengarannya.
Angga mengerjap sekali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke korneanya. Perlahan-lahan kabut tersingkap dari penglihatannya dan ia menangkap bayangan beberapa orang yang mengitarinya.
"Syukurlah, kamu selamat! Jantungmu tiba-tiba terhenti. Kami sudah sangat panik." Yudhis, residen Anestesi senior mengelap keringatnya walau AC di ruang itu berembus kencang.
Walau ingin bicara, Angga tidak bisa. Selang yang terpasang di mulutnya menghambat untuk menggetarkan lidah. Ia hanya menatap kosong langit-langit sambil berusaha mengingat apa yang terjadi.
Namun, sekuat tenaga ia memutar otak yang mengalami kontusio serebri, tetap saja ia tak mampu mengingat apapun. Akhirnya ia pun memilih kembali memejam karena merasakan kelopak matanya sangat berat.
Setelah observasi pasca siuman dari koma selama tiga hari, Angga dipindahkan ke ruang rawat inap. Tentu saja keluarga Udayana menyambut senang karena akhirnya anaknya bisa siuman.
"Mi, aku di mana? Kenapa di sini?" Pertanyaan itu yang pertama kali terlontar kala Angga terjaga.
Mahira, Mami Angga, sedari tadi enggan berpisah dari putra keduanya, tersentak dengan mata memerah. Raut kuyunya tergambar di wajah sang Mami. "Kamu di rumah sakit, Sayang. Tiga hari lalu kamu kecelakaan saat mengantar Sekar pulang."
"Sekar?" Alis Angga mengernyit.
Mahira menoleh ke arah Yana yang kini sudah berdiri di sebelah istrinya. Betul dugaan dokter, walau memar pada otaknya tidak terlalu parah sehingga tidak memerlukan tindakan pembedahan, ada kemungkinan ia mengalami amnesia sebagian atau total.
"Sekar anak Om Dharma. Kamu lupa?" tanya Yana dengan alis terangkat.
Angga berusaha mengingat-ingat. Namun, saat ia menyebutkan nama Sekar saja, hatinya seperti diiris sembilu. Ada kesedihan luar biasa yang menusuk kalbu, seolah kebahagiaannya telah disedot habis oleh Dementor dalam novel fantasi Harry Potter.
Angga meringis. Tangan kanan mencengkeram dadanya, sedang tangan kirinya memegang kepalanya. Ia masih ingat siapa nama orang tua dan dua saudaranya, dan pengalaman setelah pindah ke Surabaya untuk kuliah Kedokteran. Hanya saja, kenangan masa kecilnya sama sekali terhapus dalam kepalanya. Tapi, anehnya ia melupakan semua kejadian pada hari kecelakaan.
Sekar, siapa Sekar? Setiap aku mengingatnya, hatiku terasa sakit seperti dicabik-cabik. Angga mendesah panjang.
***
Di dunia masa lalu, Sekar tergolek lemah. Narotama panik dan membawanya ke Lemah Citra setelah mengembalikan jiwa Airlangga ke raganya. Lelaki itu menyesal karena telah menggunakan ilmu yang cukup tinggi dan akhirnya mengenai raga gadis yang ia cintai.
Dengan membopong Sekar, Narotama berlari dan terbang secepat mungkin. Tapi beban dan kepanikan membuat ilmu meringankan tubuhnya tak bisa bekerja maksimal. Baru beberapa kilometer, Narotama sudah kehabisan napas karena pikirannya bercabang. Ia tidak ingin jiwa Sekar menghilang begitu saja.
Mata Narotama berkaca-kaca. Peluh membanjiri wajah. Berulang kali ia menoleh ke arah Sekar yang merintih dan mengerang.
Perjalanan terasa jauh bagai menuju ke ujung dunia. Walau kaki melangkah cepat, tapi dia merasa tak tiba juga, seolah dia hanya berlari di tempat.
"Sekar, kumohon! Bertahanlah! Aku janji akan mengembalikanmu ke masa depan." Napas Narotama satu-satu. Dadanya semakin sesak karena menahan tangis sambil berlari.
Narotama tersengal. Tabir hitam yang telah menyelimuti angkasa, sekelam suasana hati sang begawan muda. Tak mengindahkan paru-parunya yang seolah ingin meledak, lelaki itu terus berlari seraya menggendong Sekar. Pada saat kokok ayam menyapa warga dunia, barulah Narotama tiba di Lemah Citra.
"Empu, Empu!" Suara Narotama serak karena napasnya telah habis saat masuk ke padepokan.
Bharada yang sedang bertapa membuka mata begitu mendengar seseorang memanggilnya. Mendapati sesuatu yang tak beres di penglihatan batinnya, begawan tua itu bangkit dari balai-balai kecil.
Dia berjalan cepat menuju ke arah datangnya suara dan sejurus kemudian mendapati Narotama membopong Sekar yang berlumuran darah.
"Ada apa ini?"
"Sekar ... Sekar ...." Tenggorokan Narotama seolah tercekik hingga tak mampu mengurai kata.
Mengetahui wajah pucat Narotama, Bharada segera menghampiri Sekar. Mata tua berkeriput itu menyipit, kala memindai wajah manis yang kehilangan rona.
"Kamu apakan anak ini, Anak Muda?" tanya Bharada dengan keras hingga suaranya menggaung di lorong padepokan.
Belum sempat Narotama menjawab, Bharada melanjutkan ucapannya. "Bawa dia ke bilik peristirahatan tamu!"
Narotama pun menurut, dan mengikuti Bharada menuju kamar yang dimaksud. Begitu pintu terbuka, terkuaklah sebuah dipan sederhana dengan empat tiang kelambu yang terpancang di tiap sisi. Pilarnya berbuat dari kayu jati dengan ukiran yang cantik.
"Baringkan di sini!" titah Bharada sembari menyibak kelambu yang menjuntai ke bawah.
Dengan hati-hati, Narotama membaringkan raga Sekar yang lunglai dengan tangan yang terkulai.
"Sudah, Empu." Narotama menarik tubuhnya dan mempersilakan Bharada untuk mengecek kondisinya.
Lelaki tua berjenggot putih nan panjang itu duduk di pinggir tempat tidur. Dia memeriksa nadi di leher Sekar seraya memejamkan mata. "Kamu apakan anak ini?"
Narotama menelan ludah kasar. Di hadapan Bharada, ia hanyalah anak muda yang labil dan mudah terombang-ambingkan oleh gejolak darah muda.
"Ampun, Empu!" Narotama seketika berlutut dan menumpukan telapak tangannya ke lantai yang dingin. "Hamba, hamba tidak sengaja! Sekar tidak sengaja terjena jurus Cakar Serigala Berbulu Domba."
Mata Bharada membeliak. Namun, bukan saatnya ia memarahi Narotama. Bila tidak segera ditangani, nyawa Sekar akan melayang dan jiwanya akan sirna.
Dengan menghela napas panjang, Bharada meraup udara sebanyak-banyaknya lalu melalui jari telunjuk dan jari tengah yang saling menempel sementara tiga jari lainnya terlipat, seberkas cahaya merah menyorot dan menyinari gadis yang pudar warna mukanya.
Badan Sekar bergetar hebat kala menerima sinar dari Bharada. Rasa panas yang merayap di sekujur tubuhnya, menciptakan nyeri luar biasa.
Dada Sekar membusung hingga tubuhnya melengkung. Lolongan keluar dari mulut untuk mengalihkan rasa perih di raga dan hati.
"Sakitttt!" Pekikan memilukan terdengar. Tubuh gadis itu tak mampu menahan rasa sakit yang seolah ingin mencabik-cabik raga.
"Bertahanlah, Sekar! Bila tidak bertahan, jiwamu akan sirna." Bharada masih menggerakkan tangan yang memancarkan sinar untuk memberi tenaga pada Sekar.
Sementara itu, Sekar hanya menggeleng karena ingin menyerah. Jantungnya terasa terbakar sehingga susah berdetak dan membuat paru-parunya pun tak bisa menampung udara dengan baik. Sekuat apapun gadis itu bernapas, tetap saja rasanya sesak. Dan, detik berikutnya cairan merah pekat menyembur dari mulut Sekar. Gadis itu benar-benar tak berdaya.
Narotama yang masih berlutut dengan posisi seperti merangkak, seketika mendongak dan memekik. "SEKAR!!"
Lelaki muda itu lantas bangkit dan berusaha mendekat. Namun, kain putih yang tersampir di bahu Bharada, tiba-tiba menyabet ulu hatinya dengan sangat keras hingga tubuhnya terlempar dan punggungnya menumbuk dinding berbata merah.
Narotama mengerang kala tubuhnya berhasil membuat cekungan di tembok. Tulang-tulangnya serasa patah sewaktu ia menggerakkan tubuh.
"Jangan mendekat!" sergah Bharada. "Sekar mengalami luka berat! Aku harus mengobatinya karena kalau terlambat tidak hanya jiwanya yang hilang, raganya pun akan hancur sehingga Putri Sekar akan terjebak di masa depan."
Bharada masih fokus memberi tenaga dalam kepada Sekar untuk mengobati luka dalamnya. Dia lalu membuka mata dan menyalakan api di atas suluh yang terendam minyak kelapa dengan jentikan jarinya.
"Jaga suluh itu jangan sampai padam dan terkulai. Kalau tidak, sukma Sekar akan menguap seiring nyala api yang padam!" titah Bharada. "Setelah ini, terimalah hukumanmu, Narotama!"
Tak mengindahkan nyeri yang seperti meremukkan tulang, Narotama lalu bangkit dan bersila menghadap lampu minyak. Sepanjang malam mulutnya komat-kamit merapal doa, berharap Sekar dapat selamat.
💕Dee_ane💕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro